Thursday 4 June 2015

Kapan Mulai Puasa Romadhon, Kapan Idul Fitri, dan Kapan Idul Adha? Ikutilah Pemerintah!


Baik bagi orang awam, ataupun bagi orang yang cukup banyak dan dalam pengetahuannya tentang berbagai disiplin ilmu agama (lebih-lebih lagi bagi orang yang cukup tahu tentang ilmu ushul fiqh dan seluk-beluk ilmu fiqh dalam empat mazhab yang berbeda), mengikuti pemerintah dalam penentuan ketiga hal di atas adalah tindakan yang tepat dan tak ada salahnya selama pemerintah tersebut betul-betul serius, jujur, dan penuh tanggung jawab ilmiah di dalam melakukan penetapannya.
     Apa dasar kita mengatakan hal ini? Dasar dan alasan kita mengatakan hal ini adalah sebagai berikut:
1.)    Firman Allah SWT dalam surat Annisa’ ayat 59:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri (orang yang memegang urusan) di antara kamu”.

2.)    Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Al-Bukhori:

عليكم بِالسمع والطاعة وإن ولي عليكم عبد حبشي
“Kamu sekalian wajib taat dan patuh kepada pemimpin kalian, meskipun ia adalah seorang Budak Habsyi”
(H.R. Bukhori)

3.)    Penetapan awal Romadhon, awal Syawwal (Idul Fitri), dan Idul Adha adalah masalah ijtihadiyyah yang tentu saja berisi khilaf (perselisihan pendapat) di dalamnya. Sementara penetapan dalam hal-hal tersebut, amat berpengaruh terhadap kegiatan masyarakat banyak (kapan mereka boleh libur, kapan mereka harus mulai masuk kantor atau bekerja mencari nafkah, kapan mereka boleh atau bisa berkunjung bersilaturrahmi terhadap sanak saudara mereka, dan lain-lain). Maka amat diperlukan peran pemerintah sebagai hakim dalam masalah ini agar tidak terjadi keributan karenanya. Dan jika hakim—dalam hal ini, pemerintah—telah  memutuskan, maka keputusan itu bersifat ilzaamun (mengikat/wajib dipatuhi) serta yarfa’ul khilaf (mengangkat/menyelesaikan perbedaan pendapat). Hal ini didasarkan pada kaidah ushul fiqh berikut:

حُكْمُ الحَاكِمِ إِلْزَامٌ وَيَرْفَعُ الخِلَاف
“Keputusan  hakim (pemerintah)  itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menyelesaikan perbedaan pendapat”

4.)    Pemerintah kita telah melakukan ru’yah (melihat bulan) dalam menetapkan awal Romadhon dan Idul Fitri. Bahkan bukan hanya di satu titik, melainkan di puluhan titik yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia ini. Hal ini sudah amat sejalan dengan pendapat jumhur ulama, bahkan telah lebih dari cukup.

Menurut Jumhur Ulama (Hanafi, Maliki, dan Hambali), penetapan awal bulan qomariyyah, terutama awal Romadhon harus didasarkan ru’yah (melihat bulan). Menurut Hanafi dan Maliki, jika di suatu negara terjadi ru’yah maka ru’yah tersebut berlaku untuk seluruh wilayah (daerah) kekuasaan negara tersebut. Sedangkan menurut Hambali, ru’yah tersebut berlaku untuk seluruh Dunia Islam dengan pengertian, selama negara-negara Islam tersebut masih bertemu sebagian malamnya.

Ingatlah bahwa pendapat seorang ulama itu, apalagi banyak ulama, adalah muncul setelah ia melihat, menggali, dan menelaah berbagai dalil yang ada tentang masalah tersebut baik dari quran maupun sunnah, termasuk tentunya dalil yang telah Anda ketahui atau belum ketahui selama ini. Jadi jangan pernah meremehkan pendapat seorang ulama apalagi para ulama yang memang telah diakui segala kualitas keilmuan dan ketaqwaannya hanya karena Anda, barangkali, telah mengetahui satu atau dua buah dalil.
  
5.)    Memang ada ulama mazhab Syafi’i yang berpendapat bahwa jika di suatu negara terjadi ru’yah maka ru’yah tersebut hanya berlaku untuk daerah (wilayah) tersebut dan daerah (wilayah) yang dekat yang satu mathla’ (satu waktu terbit matahari) dengan daerah (wilayah) tersebut. Akan tetapi, jika ru’yah itu dilakukan oleh pemerintah, dan pemerintah telah menetapkan keputusannya, maka para ulama mazhab Syafi’i telah konsensus bahwa umat Islam harus mengikuti keputusan tersebut. Jika pemerintah telah menetapkan awal Romadhon, maka seluruh umat Islam wajib berpuasa. Apabila pemerintah telah menetapkan Idul Fitri, maka seluruh umat Islam wajib mengakhiri puasanya. Sebagaimana disebutkan  di dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah Jilid I halaman 552 yang artinya sebagai berikut:

“Para ulama mazhab Syafi’i berkata bahwa untuk memastikan adanya hilal dan wajibnya berpuasa atas umat manusia, disyaratkan adanya keputusan hakim (pemerintah). Jika pemerintah telah memutuskannya, maka umat manusia wajib berpuasa, meskipun keputusan tersebut didasarkan atas persaksian satu orang yang adil”.

Bahkan di halaman yang sama juga ada disebutkan keterangan yang artinya:

“Akan tetapi, jika pemerintah telah memutuskan adanya hilal berdasarkan metode apapun dalam mazhabnya, maka seluruh umat Islam wajib berpuasa, meskipun mazhab pemerintah berbeda dengan mazhab sebagian di antara mereka. Karena keputusan pemerintah menghapuskan (menyelesaikan) perbedaan pendapat. Hal ini telah disepakati oleh para ulama”.

Keterangan senada juga dapat ditemukan dalam Kitab Tuhfah jilid III halaman 383 dan I’anatu al-Tholibin jilid II halaman 220.

     Demikianlah di antara dasar, dalil, atau alasan yang dapat kita kemukakan dalam masalah ini. Dan dasar-dasar tersebut adalah dasar yang kuat, yang sudah cukup kiranya bagi kita untuk berpegangan dengannya. Ingatlah, janganlah Anda mengatakan bahwa tulisan sederhana ini hanya berdasarkan satu ayat atau satu hadits saja karena pendapat para ulama yang kami kemukakan di atas itu sesungguhnya mengandung banyak ayat quran atau hadits yang mendasarinya, yang mana kalau kita mau mentelaah dalil-dalil tersebut satu persatu, kadang-kadang dapat membuat kita lelah karena banyak atau peliknya.
     Jadi, mulai sekarang hilangkanlah keraguan Anda untuk mengikuti keputusan pemerintah kita dalam penetapan awal Romadhon, Idul Fitri, dan Idul Adha. Karena kalau kita perhatikan, mereka (pemerintah) telah melakukannya sesuai dengan aturan hukum Islam yang diakui oleh para ulama kebenarannya. Dan mereka dalam melakukan dan menetapkannya juga diawasi, dikawal, dan dibantu oleh orang-orang yang berilmu di bidangnya masing-masing, baik di bidang ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum yang mendukung seperti ilmu astronomi dan lain sebagainya.
     Ikutilah keputusan mereka sebagai bentuk kepatuhan kita terhadap hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan juga sebagai wujud rasa syukur kita kepada-Nya. Karena keberadaan pemerintah yang peduli terhadap urusan agama ummatnya adalah suatu bentuk nikmat-Nya yang tak boleh kita anggap remeh begitu saja. Demikian tulisan sederhana ini. semoga bermanfaat. (Jakarta, 4 Juni 2015).

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...