Baik
bagi orang awam, ataupun bagi orang yang cukup banyak dan dalam pengetahuannya
tentang berbagai disiplin ilmu agama (lebih-lebih lagi bagi orang yang cukup
tahu tentang ilmu ushul fiqh dan seluk-beluk ilmu fiqh dalam empat mazhab yang
berbeda), mengikuti pemerintah dalam penentuan ketiga hal di atas adalah
tindakan yang tepat dan tak ada salahnya selama pemerintah tersebut betul-betul
serius, jujur, dan penuh tanggung jawab ilmiah di dalam melakukan penetapannya.
Apa dasar kita mengatakan hal ini? Dasar
dan alasan kita mengatakan hal ini adalah sebagai berikut:
1.)
Firman
Allah SWT dalam surat Annisa’ ayat 59:
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri
(orang yang memegang urusan) di antara kamu”.
2.)
Sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Al-Bukhori:
عليكم بِالسمع والطاعة وإن ولي عليكم عبد حبشي
“Kamu
sekalian wajib taat dan patuh kepada pemimpin kalian, meskipun ia adalah
seorang Budak Habsyi”
(H.R. Bukhori)
3.)
Penetapan
awal Romadhon, awal Syawwal (Idul Fitri), dan Idul Adha adalah masalah
ijtihadiyyah yang tentu saja berisi khilaf (perselisihan pendapat) di dalamnya.
Sementara penetapan dalam hal-hal tersebut, amat berpengaruh terhadap kegiatan
masyarakat banyak (kapan mereka boleh libur, kapan mereka harus mulai masuk
kantor atau bekerja mencari nafkah, kapan mereka boleh atau bisa berkunjung
bersilaturrahmi terhadap sanak saudara mereka, dan lain-lain). Maka amat diperlukan
peran pemerintah sebagai hakim dalam masalah ini agar tidak terjadi keributan
karenanya. Dan jika hakim—dalam hal ini, pemerintah—telah memutuskan, maka keputusan itu bersifat ilzaamun (mengikat/wajib dipatuhi) serta
yarfa’ul khilaf (mengangkat/menyelesaikan
perbedaan pendapat). Hal ini didasarkan pada kaidah ushul fiqh berikut:
حُكْمُ الحَاكِمِ إِلْزَامٌ وَيَرْفَعُ الخِلَاف
“Keputusan hakim (pemerintah) itu mengikat (wajib dipatuhi) dan
menyelesaikan perbedaan pendapat”
4.)
Pemerintah
kita telah melakukan ru’yah (melihat
bulan) dalam menetapkan awal Romadhon dan Idul Fitri. Bahkan bukan hanya di
satu titik, melainkan di puluhan titik yang tersebar di berbagai wilayah di
Indonesia ini. Hal ini sudah amat sejalan dengan pendapat jumhur ulama, bahkan
telah lebih dari cukup.
Menurut Jumhur Ulama (Hanafi, Maliki,
dan Hambali), penetapan awal bulan qomariyyah, terutama awal Romadhon harus
didasarkan ru’yah (melihat bulan).
Menurut Hanafi dan Maliki, jika di suatu negara terjadi ru’yah maka ru’yah
tersebut berlaku untuk seluruh wilayah (daerah) kekuasaan negara tersebut.
Sedangkan menurut Hambali, ru’yah tersebut berlaku untuk seluruh Dunia Islam
dengan pengertian, selama negara-negara Islam tersebut masih bertemu sebagian
malamnya.
Ingatlah bahwa pendapat seorang ulama
itu, apalagi banyak ulama, adalah muncul setelah ia melihat, menggali, dan
menelaah berbagai dalil yang ada tentang masalah tersebut baik dari quran
maupun sunnah, termasuk tentunya dalil yang telah Anda ketahui atau belum
ketahui selama ini. Jadi jangan pernah meremehkan pendapat seorang ulama apalagi
para ulama yang memang telah diakui segala kualitas keilmuan dan ketaqwaannya
hanya karena Anda, barangkali, telah mengetahui satu atau dua buah dalil.
5.)
Memang
ada ulama mazhab Syafi’i yang berpendapat bahwa jika di suatu negara terjadi
ru’yah maka ru’yah tersebut hanya berlaku untuk daerah (wilayah) tersebut dan
daerah (wilayah) yang dekat yang satu mathla’ (satu waktu terbit matahari)
dengan daerah (wilayah) tersebut. Akan tetapi, jika ru’yah itu dilakukan oleh
pemerintah, dan pemerintah telah menetapkan keputusannya, maka para ulama
mazhab Syafi’i telah konsensus bahwa umat Islam harus mengikuti keputusan
tersebut. Jika pemerintah telah menetapkan awal Romadhon, maka seluruh umat
Islam wajib berpuasa. Apabila pemerintah telah menetapkan Idul Fitri, maka
seluruh umat Islam wajib mengakhiri puasanya. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib
al-Arba’ah Jilid I halaman 552 yang artinya sebagai berikut:
“Para ulama
mazhab Syafi’i berkata bahwa untuk memastikan adanya hilal dan wajibnya
berpuasa atas umat manusia, disyaratkan adanya keputusan hakim (pemerintah).
Jika pemerintah telah memutuskannya, maka umat manusia wajib berpuasa, meskipun
keputusan tersebut didasarkan atas persaksian satu orang yang adil”.
Bahkan di halaman yang sama juga ada
disebutkan keterangan yang artinya:
“Akan tetapi,
jika pemerintah telah memutuskan adanya hilal berdasarkan metode apapun dalam
mazhabnya, maka seluruh umat Islam wajib berpuasa, meskipun mazhab pemerintah
berbeda dengan mazhab sebagian di antara mereka. Karena keputusan pemerintah
menghapuskan (menyelesaikan) perbedaan pendapat. Hal ini telah disepakati oleh
para ulama”.
Keterangan senada juga dapat ditemukan
dalam Kitab Tuhfah jilid III halaman 383 dan I’anatu al-Tholibin jilid II
halaman 220.
Demikianlah di antara dasar, dalil, atau
alasan yang dapat kita kemukakan dalam masalah ini. Dan dasar-dasar tersebut
adalah dasar yang kuat, yang sudah cukup kiranya bagi kita untuk berpegangan
dengannya. Ingatlah, janganlah Anda mengatakan bahwa tulisan sederhana ini
hanya berdasarkan satu ayat atau satu hadits saja karena pendapat para ulama
yang kami kemukakan di atas itu sesungguhnya mengandung banyak ayat quran atau
hadits yang mendasarinya, yang mana kalau kita mau mentelaah dalil-dalil
tersebut satu persatu, kadang-kadang dapat membuat kita lelah karena banyak
atau peliknya.
Jadi, mulai sekarang hilangkanlah keraguan
Anda untuk mengikuti keputusan pemerintah kita dalam penetapan awal Romadhon,
Idul Fitri, dan Idul Adha. Karena kalau kita perhatikan, mereka (pemerintah)
telah melakukannya sesuai dengan aturan hukum Islam yang diakui oleh para ulama
kebenarannya. Dan mereka dalam melakukan dan menetapkannya juga diawasi,
dikawal, dan dibantu oleh orang-orang yang berilmu di bidangnya masing-masing,
baik di bidang ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum yang mendukung seperti ilmu
astronomi dan lain sebagainya.
Ikutilah keputusan mereka sebagai bentuk kepatuhan
kita terhadap hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Dan juga sebagai wujud rasa syukur
kita kepada-Nya. Karena keberadaan pemerintah yang peduli terhadap urusan agama
ummatnya adalah suatu bentuk nikmat-Nya yang tak boleh kita anggap remeh begitu
saja. Demikian tulisan sederhana ini. semoga bermanfaat. (Jakarta, 4 Juni
2015).
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...