Kami mengajak Anda untuk menyimak tulisan di bawah berikut ini. Kemudian
pertanyakanlah : Apakah penghapusan tujuh kata yang ada dalam Piagam Jakarta
dengan cara yang demikian itu adalah suatu hal yang sah dan dapat diterima
padahal untuk membentuk dan menyepakatinya telah membutuhkan waktu dan proses
yang tidak ringan? Tulisan di bawah ini kami dapatkan dari
http://www.salam-online.com. :
Penghapusan
Syariat Islam Dalam Piagam jakarta, Cermin Tirani Minoritas
(Redaksi
Salam-Online – Rabu, 30 Rajab 1433 H / 20 Juni 2012 16:00)
Kisah
di balik penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah bukti dari tirani
minoritas yang menelikung sebuah kesepakatan luhur bangsa ini.
Tanggal 22 Juni bagi umat Islam di Indonesia adalah hari yang sangat
bersejarah. Pada hari itu, sebuah gentlement agreement, perjanjian luhur
yang dibuat oleh tokoh-tokoh nasional, berhasil merumuskan
sebuah tonggak sejarah bagi cita-cita penegakan syariat Islam di Indonesia. Pada 22 Juni 1945, tokoh-tokoh nasional yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, A.A Maramis, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, dan KH Abdul Wahid Hasjim, menandatangani sebuah kesepakatan yang kemudian disebut dengan “Piagam Jakarta”.
sebuah tonggak sejarah bagi cita-cita penegakan syariat Islam di Indonesia. Pada 22 Juni 1945, tokoh-tokoh nasional yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, A.A Maramis, Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, dan KH Abdul Wahid Hasjim, menandatangani sebuah kesepakatan yang kemudian disebut dengan “Piagam Jakarta”.
Naskah Piagam Jakarta yang dilahirkan dari hasil konsensus bersama, dengan mencurahkan
segala pikiran dan tenaga, kemudian menjadi Mukaddimah (Preambule) dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Mukaddimah ini kemudian dibacakan oleh Soekarno pada
sidang paripurna, 10 Juli 1945. Berikut isi Mukaddimah UUD 1945 itu:
Pembukaan
“Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa
menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia,
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Setelah membacakan Mukaddimah yang mendasari UUD 1945 hasil rumusan sidang,
Soekarno mengatakan bahwa segenap pikiran para peserta sudah terpenuhi dengan
baik. “Masuk di dalamnya ketuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam
untuk menjalankan syariat Islam,” ujarnya sambil menyebut beberapa pikiran
tentang nasionalisme, persatuan, kemanusiaan, kemerdekaan dan keadilan sosial.
Karena itu, kata Seokarno, panitia sidang berkeyakinan bahwa inilah preambule
yang bisa menghubungkan dan mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan
anggota BPUPKI.
Allahyarham Mohammad Natsir menyebut
Piagam Jakarta sebagai tonggak sejarah tercapainya cita-cita Islam di bumi
Indonesia. Umat Islam ketika itu menyambutnya dengan suka cita, karena harapan
untuk bisa menjalankan syariat Islam yang diatur oleh negara akan bisa
terlaksana. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu: “Dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, adalah hadiah terbesar bagi
umat Islam yang memang memiliki cita-cita kemerdekaan dalam bingkai Islam.
Jenderal Abdul Haris Nasution, dalam sebuah pidatonya mengatakan, “Dengan
hikmah Piagam Jakarta itu pulalah, selamat sentosa menghantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur,” ujarnya. A.H Nasution adalah jenderal yang
cukup disegani di kalangan angkatan darat, dan pelaku sejarah yang banyak
berhubungan dengan tokoh-tokoh nasional.
Pada peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, 22 Juni 1963 di Jakarta, Jenderal
Nasution menceritakan latarbelakang perjalanan bagi terciptanya suatu
kesepakatan nasional, gentlement agreement (perjanjian luhur), yang
sesuai dengan cita-cita Islam. Jenderal Nasution mengatakan, Piagam Jakarta
muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat
berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang akan digunakan bagi
Indonesia merdeka. Surat yang dikirim oleh para ulama, dan tercatat dalam
arsip, ada sekitar 52 ribu surat dari seluruh Indonesia. Karena itu, Jenderal
Nasution mengatakan, “Bagaimanapun juga, Piagam Jakarta banyak mendapat ilham daripada
hikmah 52 ribu surat-surat dari alim ulama dan pemimpin-pemimpin Islam,” jelas
Nasution yang sudah mendapat gelar Jenderal Besar dari pemerintah.
Kalau kita melihat pada fakta sejarah, dimana santri dan kiai terlibat dalam
front-front jihad untuk mengusir penjajah, maka bisa dipastikan bahwa 52 ribu
isi surat yang dikirim oleh para alim ulama tersebut berisi aspirasi agar
negara yang nantinya merdeka, berdiri tegak dengan cita-cita dasar penegakan
syariat Islam. Apalagi, perjalanan hukum Islam di Nusantara bukan hal yang
baru. Banyak hukum-hukum adat pada masa lalu, yang mengadopsi syariat
Islam.
Setelah Soekarno membacakan Mukaddimah UUD 1945, yang di antaranya berisi, “Dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“, upaya-upaya
untuk menghapus kata-kata tersebut terus berdatangan dari kelompok non-Muslim.
Salah satunya dari tokoh Kristen asal Maluku, Latuharhary, yang menyatakan
bahwa kalimat tersebut mengkhawatirkan bagi pemeluk agama lain. Kekhawatiran
Latuharhary disampaikan hanya selang sehari setelah Soekarno membacakan
Mukaddimah UUD 1945 tersebut. Soekarno kemudian mengingatkan pada anggota
sidang bahwa Preambule (Mukaddimah) itu adalah suatu jerih payah antara
golongan Islam dan kebangsaan. “Kalau kalimat itu tidak dimasukkan, tidak bisa
diterima oleh kaum Islam,” kata Soekarno.
Selain Latuharhary, seorang anggota Panitia Hukum Dasar yang menganut ajaran
kebatinan, Wongsonagoro dan Hoesein Djadjadiningrat, juga memprotes soal
kalimat yang memasukkan kewajiban syariat Islam tersebut. Mereka mengatakan,
kalimat tersebut seolah-olah adalah paksaan dari negara bagi umat Islam untuk
menjalankan syariat Islam. Protes mereka kemudian dipatahkan oleh Soekarno,
dengan menegaskan, “Anak kalimat itu merupakan kompromi antara golongan Islam
dan golongan kebangsaan, yang hanya didapat dengan susah payah.”
Pada 15 Juli 1945, KH Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur) mengusulkan agar presiden
wajib beragama Islam. Usulan tersebut mendapat sambutan dari KH Masjkur, yang
mengatakan, jika ada kewajiban menjalankan syariat Islam, maka presiden
haruslah seorang Muslim. Usul ini awalnya ditolak oleh Soekarno, dengan alasan
bisa merusak kesepakatan yang sudah ditandatangani pada 22 Juni tersebut.
Penolakan oleh Soekarno membuat Abdul Kahar Muzakkir, salah seorang
penandatangan Piagam Jakarta berang. Sambil menggebrak meja, ia mengatakan,
“Supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka sampai kepada pasal di
dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut-nyebut agama Islam atau apa saja,
dicoret sama sekali, jangan ada hal itu!” sindirnya.
Selain Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo yang merupakan tokoh Muhammadiyah juga
menyemprot Soekarno karena menolak usulan “presiden wajib beragama Islam”. Ki
Bagus mengatakan, ”Saya berlindung kepada Allah dari setan yang merusak.
Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerapkali diterangkan di sini, bahwa Islam itu
mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi
saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi. Kalau ideologi Islam tidak
diterima, tidak diterima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri di atas Islam dan
negara akan netral,” tegasnya.
Perdebatan hari itu berlangsung buntu. Sampai keesokan harinya, Soekarno yang
mengaku tak bisa tidur lantaran itu, meminta kepada kalangan Kristen untuk
menerima usulan dari tokoh-tokoh Islam. ”Saya minta dengan rasa menangis, rasa
menangis, supaya sukalah saudara-saudara (kalangan Kristen, pen)
menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita,” pinta Soekarno
sambil mengatakan bahwa hal ini mungkin sangat berat bagi orang Kristen, karena
mengorbankan keyakinan mereka. Kesepakatan akhirnya dicapai bulat. Diterima
semua pihak. Usul agar presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam
dan kewajiban menjalankan syariat Islam disepakati.
Namun, upaya menghapus keyakinan Islam dalam Mukaddimah UUD 1945 terus
dilakukan. Kelompok Kristen nampaknya masih terus keberatan dengan naskah
Piagam Jakarta. Mereka kasak-kusuk mencari dukungan, agar tujuh kata dalam
Piagam Jakarta yang berisi kewajiban menjalankan syariat Islam, bisa
dihapuskan. Mereka terus melakukan lobi-lobi politik, sampai-sampai tak ada
satu pun dari mereka (kalangan Kristen) hadir di Jalan Pegangsaan 56, ketika
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1945, dibacakan.
Banyak yang tak tahu, bahwa sebelum Soekarno membacakan naskah proklamasi,
terlebih dulu dibacakan Piagam Jakarta. Naskah Piagam Jakarta dibacakan oleh Dr
Moewardi.
Tokoh-tokoh yang hadir ketika Proklamasi Republik Indonesia dibacakan, adalah:
Mohammad Hatta, KH A Wahid Hasyim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Soekarjo
Wirjopranoto, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman Wedyoningrat, Soewirjo,
Ny. Fatmawati, Ny. SK Trimurti, Abdul Kadir (PETA), Daan Jahja (PETA), Latif Hendraningrat
(PETA), Dr. Sutjipto (PETA), Kemal Idris (PETA), Arifin Abdurrahman (PETA),
Singgih (PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi, Soediro Soehoed Sastrokoesoemo,
Djohar Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), S.F Mendoer (Pers), Sjahrudin (Pers).
Sekali lagi, tak ada dari kelompok Kristen yang hadir. Seharusnya, dalam
suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, kalangan Kristen
hadir dalam pembacaan naskah proklamasi tersebut. Apalagi, proklamasi itu
disiarkan ke seluruh pelosok negeri, bahkan ke luar negeri.
Belakangan diketahui, para aktivis Kristen tidak hadir karena sibuk kasak-kusuk
melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta penghapusan tujuh
kata dalam Piagam Jakarta. Berkat lobi-lobi politik kepada Mohammad Hatta dan
pendekatan kepada tokoh-tokoh Islam yang dikenal tegas seperti Ki Bagus
Hadikusumo, dan sedikit ancaman bahwa rakyat Indonesia Timur akan melepaskan
diri jika kalimat dalam Piagam Jakarta itu tetap ada, akhirnya kalimat
“Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
dihapuskan. Penghapusan itu terjadi hanya selang sehari setelah proklamasi
kemerdekaan dibacakan, yaitu pada 18 Agustus 1945.
Dalam hitungan kurang dari 15 menit
seperti diceritakan oleh Hatta, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus.
Setelah itu Hatta masuk ke dalam ruang sidang Panitia Persiapan kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dan membacakan empat perubahan dari hasil lobi tersebut.
Berikut hasil perubahan kemudian disepakati sebagai preambule dan batang tubuh
UUD1945 yang saat ini biasa disebut dengan UUD 45:
Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah,
diganti dengan kata “Pembukaan”.
Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD,
diganti dengan, ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah
orang Indonesia asli dan beragama Islam seperti
tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata
“dan beragama Islam.”
Keempat, terkait perubahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1 berbunyi,
“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai ganti dari, “Negara
berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.”
Kesepakatan yang
dihasilkan dari hasil peras otak dan pengorbanan tenaga serta waktu dari para
tokoh nasional, akhirnya bisa diubah hanya dalam tempo singkat, 15 menit.
Padahal, Jakarta Charter atau Piagam Jakarta adalah keinginan mayoritas umat
Islam, dan telah disepakati sebelumnya pada 22 Juni 1945 oleh perwakikan
tokoh-tokoh nasional sebagai gentlement agreement. Inilah yang disebut
dengan makar jahat kelompok sekular dalam menghapus tujuh kata dalam Piagam
Jakarta. Padahal, Piagam Jakarta inilah tonggak awal dari upaya menegakkan
syariat Islam di Indonesia.
Inilah musibah terbesar bagi umat Islam di
negeri ini. Ketua Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito, saat itu dengan sedih
dan perih mengatakan, ”Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah,
dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa
ini, kemudian di dalam rapat ”Panitia Persiapan Kemerdekan” pada tanggal 18
Agustus 1945 dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya?
Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?”
Tokoh Masyumi lainnya seperti KH M. Isa Anshari dan Mohammad Natsir juga
merasakan keperihan serupa. Isa Anshari menyebut peristiwa itu sebagai kejadian
yang mencolok mata, yang dirasakan seperti ”permainan sulap” dan “pat-gulipat
politik” yang diliputi kabut rahasia. Sementara Natsir mengatakan, penghapusan
tujuh kata tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak saja
ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang baru 24
jam diproklamirkan. Natsir menegaskan, peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 adalah
peristiwa sejarah yang tak bisa dilupakan. ”Menyambut proklamasi tanggal 17
Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal 18 Agustus, kita istighfar.
Insya Allah umat Islam tidak akan lupa,” kata Natsir.
Kisah di balik penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah bukti dari
tirani minoritas, yang menelikung sebuah kesepakatan luhur bangsa ini. Aksi
telikung menelikung dan pat-gulipat politik, terus mereka lakukan sampai hari
ini, ketika umat Islam berusaha memperjuangkan aspirasi penegakan syariat
Islam. (AW/salam-online.com)
Demikianlah isi tulisan tersebut. Sekarang kita telah berada kembali di tanggal
22 Juni. Mari kita kenang kembali peristiwa bersejarah 22 Juni 1945 tersebut
untuk kita ambil segala hikmah dan pelajaran yang terdapat di dalamnya demi
kejayaan Islam dan kaum Muslimin di masa datang. Semangat untuk menegakkan
kebenaran dan hukum-hukum Allah SWT, Sang Pencipta dan Pemilik tanah air kita
ini, hendaknya terus dijaga dan tidak akan pernah padam. Semoga Allah SWT
selalu membantu dan melindungi kita untuk istiqamah di jalan-Nya, aamiin. (Jakarta
22 Juni 2015)
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...