Artikel berikut ini, kami dapatkan dari situs Rumah FiQh Indonesia. Kami cantumkan tulisan ini di blog ini karena kami rasa tulisan ini cukup bijak berbicara tentang Nisyfu Sya'ban. Silakan dibaca:
Hadits Tentang Nisfu Sya'ban dan Dalil-Dalilnya
Oleh: Ahmad Sarwat, L.C.
Sebenarnya kalau dilihat dari kaca mata para ahli
hadits, praktek ibadah ritual yang dilakukan oleh sebagian saudara kita di
malam ke-15 bulan Sya'ban (nisfu sya'ban), tidak didukung dengan hadits yang mencapai derajat shahih kepada
Rasulullah SAW.
Namun bukan berarti apa yang dikerjakan itu otomatis
menjadi haram atau kemungkaran yang harus diperangi. Sebab ternyata kita
menemukan dalil-dalil yang meski tidak sampai derajat shahih, tetapi juga tidak
sampai dhaif apalagi palsu. Hadits-hadits itu mencapai derajat hasan. Setidaknya,
kesimpulan kita adalah bahwa derajat kekuatan tiap hadits itu memang jadi
perbedaan pandangan kalangan ahli hadits.
Walhasil, perkara ini memang menjadi wilayah khilaf di
kalangan ulama. Sebagian mentsabatkan hal itu namun sebagian tidak. Dan selama
suatu masalah masih menjadi khilaf ulama, setidaknya kita tidak perlu langsung
menghujat apa yang dilakukan oleh saudara kita bila ternyata tidak sama dengan
apa yang kita yakini.
Dalil Tentang
Keutamaan Bulan Sya'ban dan Khususnya Nisfu Sya'ban
Dalil-dalil yang diperselisihkan oleh para ulama
tentang level keshahihannya itu antara lain adalah hadits-hadits berikut ini:
Sesungguhnya
Allah 'Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya'ban dan
mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu
kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani
dan Ahmad)
Namun Al-Imam At-Tirmizy menyatakan bahwa riwayat ini
didhaifkan oleh Al-Bukhari.
Selain hadits di atas, juga ada hadits lainnya yang
meski tidak sampai derajat shahih, namun oleh para ulama diterima juga.
Dari Aisyah
radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan
shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil.
Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya,
beliau berkata, "Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira'), apakah kamu
menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?" Aku menjawab,
"Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah
karena sujud Anda lama sekali." Rasulullah SAW bersabda, "Tahukah
kamu malam apa ini?" Aku menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih
mengetahui." Beliau bersabda, "Ini adalah malam nisfu sya'ban
(pertengahan bulan sya'ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam
nisfu sya'ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta
dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka." (HR Al-Baihaqi)
Al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini lewat jalur
Al-'Alaa' bin Al-Harits dan menyatakan bahwa hadits ini mursal jayyid. Hal itu
karena Al-'Alaa' tidak mendengar langsung dari Aisyah ra.
Ditambah lagi dengan satu hadits yang menyebutkan
bahwa pada bulan Sya'ban amal-amal manusia dilaporkan ke langit. Namun hadits
ini tidak secara spesifik menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada malam nisfu
sya'ban.
Dari Usamah bin
Zaid ra bahwa beliau bertanya kepada nabi SAW, "Saya tidak melihat
Andaberpuasa (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya'ban." Beliau menjawab,
"Bulan sya'ban adalah bulan yang sering dilupakan orang dan terdapat di
antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal
kepada rabbul-alamin. Aku senang bila amalku diangkat sedangkan aku dalam
keadaan berpuasa." (HR An-Nasai)
Dari tiga hadits di atas, kita bisa menerima sebuah
gambaran para para ahli hadits memang berbeda pendapat. Dan apakah kita bisa
menerima sebuah riwayat yang dhaif, juga menjadi ajang perbedaan pendapat lagi.
Sebab sebagian ulama membolehkan kita menggunakan hadits dhaif (asal tidak
parah), khususnya untuk masalah fadhailul a'mal, bukan masalah aqidah asasiyah
dan hukum halam dan haram.
Anggaplah kita meminjam pendapat yang menerima
hadits-hadits di atas, maka kita akan mendapati bahwa memang ada kekhususan di
bulan sya'ban khususnya malam nisfu sya'ban. Di antaranya adalah Allah SWT
mengampuni dosa-dosa yang minta ampun. Dan bahwa Rasulullah SAW melakukan
shalat di malam itu dan memperlama shalatnya. Dan bahwa bulan Sya'ban adalah
bulan diangkatnya amal-amal manusia.
Namun semua dalil di atas belum sampai kepada
bagaimana bentuk teknis untuk mengisi malam nisfu sya'ban itu.
Ritual Khusus Malam
Nisfu Sya'ban
Yang menjadi pertanyaan, adakah anjuran untuk
berkumpul di masjid-masjid membaca doa-doa khusus di malam itu? Dan sudahkah
hal itu dilakukan di zaman nabi SAW? Ataukah ada ulama di masa lalu yang
melakukannya di masjid-masjid sebagaimana yang sering kita saksikan sekarang
ini?
Anjuran untuk berkumpul di malam nisfu sya'ban memang
ada, namun dari segi dalilnya, apakah terkoneksi hingga Rasulullah SAW, para
ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil itudhaif. Di antaranya hadits berikut
ini:
Dari Ali bin
Abi Thalib secara marfu' bahwa Rasululah SAW bersabda, "Bila datang malam
nisfu sya'ban, maka bangunlah pada malamnya dan berpuasa lah siangnya.
Sesungguhnya Allah SWT turunpada malam itu sejak terbenamnya matahari kelangit
dunia dan berkata, "Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya.
Adakah yang minta rizki, Aku akan memberinya riki.Adakah orang sakit, maka Aku
akan menyembuhkannya, hingga terbit fajar. (HR Ibnu Majah
dengan sanad yang dhaif)
Sedangkan pemandangan yang seperti yang kita lihat
sekarang ini di mana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di
malam nisfu sya'ban di masjid-masjid, belum kita temui di zaman Rasulullah SAW
maupun di zaman shahabat. Kita baru menemukannya di zaman tabi'in, satu lapis
generasi setelah generasi para shahabat.
Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti
Khalid bin Mi'dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya'ban.
Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan. Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari
mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari
hijaz, seperti Atho' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang
mengatakan bahwa hal itu bid'ah.
Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya
bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam
nisfu sya'ban.
1. Bentuk
Pertama
Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah.
Ini adalah pandangan Khalid bin Mi'dan, Luqman bin 'Amir. Dianjurkan pada malam
itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai
celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.
Praktek sepertiini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih
dan beliau berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan
bid'ah." Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam
kitabnya.
2. Bentuk kedua
Pendapat ini didukung oleh Al-Auza'i dan para ulama
Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di
rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik
dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu
yang tidak dianjurkan.
Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah
khusus di malam nisfu sya'ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.
Al-Imam
An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi'i yang
punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia
Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin,
arba'in an-nawawiyah, al-majmu'), punya
pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya'ban.
Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang
bid'ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid'ah. Sama
dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga
shalat bid'ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW.
Beliau mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan
dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitabIhya' Ulumiddin karya
Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.
Ustadz 'Athiyah
Shaqr
Beliau adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di
masa lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita
melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya'ban antara Maghri dan Isya' demi
untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga
dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun kepada
Alla. Semua itu memang dianjurkan.
Namun lafadz doa panjang umur dan sejenisnya, semua
itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah SAW.
Dr. Yusuf
al-Qaradawi
Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis
dakwah berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya'ban bahwa tidak pernah
diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid
untuk menghidupkan malam nisfu Sya'ban, membaca doa tertentu dan shalat
tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.
Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin,
shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan
niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak
pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in).
Kesimpulan
Dan memang masalah ini adalah mahallun-khilaf' sepajang
zaman. Tidak akan ada penyelesaiannya, karena masing-masing pihak berangkat
dengan ijtihad dan dalil masing-masing, di mana kita pun berhusnudzdzhan bahwa
mereka punya niat yang baik serta mereka memiliki kapasitas dan otoritas dalam
berijtihad.
Lepas dari keyakinan kita masing-masing yang merupakan
hak kita untuk mengikutinya, namun hak kita dibatasi oleh adanya hak saudara
kita dalam kebebasan berekspresi dalam ijtihad mereka, selama masih dalam
koridor manhaj yang benar.
Wallahu a'lam
bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...