Thursday 18 June 2015

Seri Mendidik Anak (bag.4): Tuntunan Islam Bagi Orang Tua Berkaitan Dengan Kelahiran Anak

Lahirnya seorang anak merupakan nikmat dan anugerah dari Allah SWT. Tidak semua orang bisa mendapatkannya. Tidak sedikit pasangan di dunia ini yang sudah bertahun-tahun berumah tangga, namun belum juga dikarunia seorang anak. Bahkan di antara para nabi dan rasul Allah SWT pun ada pula yang mengalami hal ini. Sebut saja misalnya Nabi Ibrahim dan Nabi Zakaria Alaihimas Salam.  Keduanya diuji dengan ketidakpunyaan anak selama bertahun-tahun sebelum akhirnya Allah anugerahkan anak-anak yang saleh kepada mereka di masa tua. Hal ini diceritakan Allah SWT di antaranya dalam ayat-ayat berikut:
Dia (Zakariyya) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak, sedang aku sudah sangat tua dan istriku pun mandul?” Dia Allah berfirman, “Demikianlah, Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. (Q.S. Ali Imran: 40)
28.) Maka dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut,” dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). 29.) Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata, “(aku ini) seorang perempuan tua yang mandul. (Q.S. Adz-Dzariyat: 28-29)
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Isma’il dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa” (Q.S. Ibrahim: 39)
     Orang-orang yang diuji Allah SWT dengan ketidakpunyaan anak, maka dia harus bersabar. Sedangkan orang yang diuji dengan kelahiran seorang anak maka dia harus bersyukur. Wujud syukur adalah dengan mengikuti tuntunan-tuntunan Alah SWT dalam berbagai hal. Dalam hal kelahiran seorang anak, ada beberapa tuntunan Allah SWT untuk diterapkan oleh para orang tua yang bersangkutan, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.)   Mandi pasca wiladah (melahirkan).
     Bagi si ibu dianjurkan untuk mandi setelah melahirkan apabila kondisinya telah dirasa kuat untuk mandi. Hukum mandi pasca wiladah ini ada ulama yang mengatakan sunnah.
2.)   Mandi pasca nifas.
     Darah yang keluar dari farji (kemaluan) wanita sehabis melahirkan anak, ataupun darah yang keluar sesudah keluarnya sebagian besar anak, sekalipun hanya berupa anak yang keguguran asal sudah nyata sebagian bentuknya, itu disebut darah nifas. Menurut mazhab Syafi’i masa nifas umumnya adalah 40 hari dan paling lama adalah 60 hari. Setelah masa nifas itu selesai, maka si ibu wajib untuk mandi. Dan juga wajib kembali baginya untuk mengerjakan shalat lima waktu atau puasa Ramadhan.  
3.)   Si anak diazankan dan di-iqamatkan.
     Hendaknya anak yang baru lahir tersebut langsung diazankan di telinga kanannya dan diiqomatkan di telinga kirinya. Hal ini hukumnya sunnah.
“Barangsiapa melahirkan seorang anak, lalu ia kumandangkan azan di telinga kanan anak tersebut dan iqamat di telinga kirinya, maka dia (anak itu) tidak akan dicelakakan oleh Ummu Shibyan” (H.R. Ibnu Sinni).
Ummu Shibyan adalah nama setan yang suka mengganggu anak-anak kecil. Sebaiknya pengazanan dan peng-iqomatan ini dilakukan oleh ayahnya. Namun bila ia tidak mampu atau berhalangan, maka tak mengapa jika dilakukan oleh lelaki muslim yang mana saja.
4.)   Mentahnik bayi tersebut.
     Mentahnik adalah mengoleskan buah kurma yang sudah dilumatkan pada langit-langit mulut bayi. Hukumnya sunnah. Dari Abi Musa, ia berkata:
“Anakku telah lahir, lalu aku membawanya kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau menamakannya Ibrahim dan mentahnik mulutnya dengan sebutuir kurma, lalu mendoakannya agar mendapatkan barokah, kemudian mengembalikannya kepadaku” (H.R. Al-Bukhori)
5.)   Meng-aqiqahkannya.
     Meng-aqiqahkan anak adalah menyembelihkan kambing atas kelahirannya. Untuk anak lelaki, dengan dua ekor kambing dan bagi anak perempuan seekor saja. Dari Ummu Karaz Al-Ka’biyah, dia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

“Bagi anak lelaki dua ekor kambing yang berdekatan (umur dan besarnya) dan bagi anak perempuan seekor kambing” (H.R. Ashabus Sunan)

Namun bagi yang tidak mampu, ia boleh meng-aqiqahkan anak lelakinya dengan seekor kambing saja sebagaimana Rasululah SAW telah mengaqiqahkan Al-Hasan dan Al-Husain masing-masingnya dengan seekor domba (H.R. Abu Dawud).
       Kalau mampu hendaknya dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran si anak, atau hari ke empat belas, atau hari ke dua puluh satu (sesuai hadits riwayat Baihaqi). Kalau belum mampu juga di hari-hari tersebut, maka boleh kapan saja ketika orang tua tersebut telah mampu. Bahkan dalam kitab I’anatut Tholibin (Syarah dari kitab Fathul Mu’in juz 2 halaman 336) disebutkan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan aqiqah untuk dirinya sendiri sesudah beliau diangkat menjadi nabi, yakni pada usia 40 tahun.
     Hukum aqiqah ini mayoritas ulama berpendapat sunnah muakkadah (sunnat yang sangat dianjurkan, mendekati wajib).
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya”
(H.R. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ahmad)

     Menurut Imam Ahmad maksud dari kata-kata “anak-anak itu tergadai dengan aqiqahnya” adalah bahwa pertumbuhan anak itu, baik badan maupun kecerdasan otaknya, atau pembelaannya terhadap orang tuanya pada hari kiamat akan tertahan jika ibu-bapaknya tidak melaksanakan aqiqah baginya. Bahkan Ibnu Qayyim menegaskan bahwa aqiqah itu berfungsi untuk melepaskan bayi yang bersangkutan dari godaan setan.
    
     Kambing yang boleh untuk aqiqah adalah kambing yang telah berumur satu tahun lebih dan tidak cacat sebagaimana yang berlaku pada ketentuan hewan kurban. Daging kambing tersebut hendaknya dibagi-bagikan dalam keadaan masak baik kepada fakir miskin atau pun kepada orang-orang kaya.

6.)   Memberikan nama untuknya.
     Wajib memberikan nama kepada anak dengan nama yang bagus yang tidak diharamkan.

“Sesungguhnya kalian pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian, maka baguskanlah nama kalian”
(H.R. Abu Dawud)

     Sesuai hadits Nabi SAW, nama yang paling disukai Allah adalah “Abdullah” dan “Abdurrahman” (H.R. Muslim). Boleh dan bagus pula menamai anak dengan nama para nabi, nama para malaikat, nama orang-orang saleh sebelumnya, dan juga nama-nama yang baik yang ada dalam Al-Quran seperti “Thaha” atau “Yasin”.
     Sedangkan nama yang diharamkan misalnya adalah nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah seperti “Abdul ‘Uzza”, “Abdul Ka’bah” dsb, atau nama yang hanya layak untuk Allah saja seperti “Malikul Amlak” (Maha Raja Diraja), “Ar-rahman”, “Robbul ‘Alamiin” dsb.
     Ada pula nama yang dilarang oleh Nabi SAW (ada yang berpendapat makruh), yaitu nama: Yasar, Robah, Najih, dan Aflah. Juga tak boleh memberi nama dengan nama yang bermakna keburukan seperti “Ashiyah” (orang yang durhaka), atau nama yang bermakna mensucikan diri sendiri seperti “Barrah” (orang yang suci, atau orang yang berbakti).
7.)   Mencukur rambutnya dan bersedekah emas atau perak kepada fakir miskin seukuran berat rambut tersebut. Hukumnya sunnah.

Rasulullah SAW berkata kepada Fatimah ketika melahirkan Hasan, “Cukurlah rambutnya dan keluarkan sedekah perak seberat rambutnya kepada orang-orang miskin” (HR. Ahmad)

“Fatimah pernah menimbang rambut Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum lalu mengeluarkan sedekah perak seberat rambut tersebut” (HR. Malik)
8.)   Mengkhitan anak tersebut.
     Banyak ulama yang mewajibkan khitan. Mereka di antaranya adalah Imam Asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, Asy-Sya’abi, Rubai’ah, dan Al-Auza’i. Hanya saja menurut Imam Malik, khitan itu bagi wanita hanya mandub saja. Pendapatnya ini berdasarkan hadits berikut:

“Khitan adalah sunnah bagi kaum lelaki dan merupakan kebaikan bagi kaum wanita”  
(HR. Thabrani)
     Mengenai waktu khitan pun terdapat perbedaan pendapat. Namun yang jelas, ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW telah mengkhitan Hasan dan Husain pada umur tujuh hari (HR. Abu Asy-Syaikh dan Al-Baihaqi).
     Dalam kitab “Al-Mudkhil”, Ibnu al-Haj mengatakan: “Sunnah yang sudah berlaku ialah, bahwa khitannya anak lelaki diumumkan, sedangkan khitannya anak perempuan dirahasiakan”.
     Semoga Allah SWT selalu membantu kita untuk dapat mengikuti segala tuntunan dan ajaran-Nya dalam kehidupan ini. Aamiin. (Jakarta, Kamis, 18 Juni 2015/1 Ramadhan 1436 H).

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...