Lahirnya seorang anak merupakan nikmat dan
anugerah dari Allah SWT. Tidak semua orang bisa mendapatkannya. Tidak sedikit
pasangan di dunia ini yang sudah bertahun-tahun berumah tangga, namun belum
juga dikarunia seorang anak. Bahkan di antara para nabi dan rasul Allah SWT pun
ada pula yang mengalami hal ini. Sebut saja misalnya Nabi Ibrahim dan Nabi
Zakaria Alaihimas Salam. Keduanya diuji
dengan ketidakpunyaan anak selama bertahun-tahun sebelum akhirnya Allah
anugerahkan anak-anak yang saleh kepada mereka di masa tua. Hal ini diceritakan
Allah SWT di antaranya dalam ayat-ayat berikut:
Dia
(Zakariyya) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak, sedang aku
sudah sangat tua dan istriku pun mandul?” Dia Allah berfirman, “Demikianlah,
Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. (Q.S. Ali Imran: 40)
28.) Maka
dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu
takut,” dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang
anak yang alim (Ishak). 29.) Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu
menepuk wajahnya sendiri seraya berkata, “(aku ini) seorang perempuan tua yang
mandul. (Q.S.
Adz-Dzariyat: 28-29)
“Segala puji
bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Isma’il dan
Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa” (Q.S. Ibrahim: 39)
Orang-orang yang diuji Allah SWT dengan
ketidakpunyaan anak, maka dia harus bersabar. Sedangkan orang yang diuji dengan
kelahiran seorang anak maka dia harus bersyukur. Wujud syukur adalah dengan
mengikuti tuntunan-tuntunan Alah SWT dalam berbagai hal. Dalam hal kelahiran
seorang anak, ada beberapa tuntunan Allah SWT untuk diterapkan oleh para orang
tua yang bersangkutan, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.)
Mandi
pasca wiladah (melahirkan).
Bagi si ibu dianjurkan untuk mandi setelah
melahirkan apabila kondisinya telah dirasa kuat untuk mandi. Hukum mandi pasca wiladah
ini ada ulama yang mengatakan sunnah.
2.)
Mandi
pasca nifas.
Darah yang keluar dari farji (kemaluan)
wanita sehabis melahirkan anak, ataupun darah yang keluar sesudah keluarnya
sebagian besar anak, sekalipun hanya berupa anak yang keguguran asal sudah
nyata sebagian bentuknya, itu disebut darah nifas. Menurut mazhab Syafi’i masa
nifas umumnya adalah 40 hari dan paling lama adalah 60 hari. Setelah masa nifas
itu selesai, maka si ibu wajib untuk mandi. Dan juga wajib kembali
baginya untuk mengerjakan shalat lima waktu atau puasa Ramadhan.
3.)
Si
anak diazankan dan di-iqamatkan.
Hendaknya anak yang baru lahir tersebut
langsung diazankan di telinga kanannya dan diiqomatkan di telinga kirinya. Hal
ini hukumnya sunnah.
“Barangsiapa melahirkan seorang anak, lalu ia
kumandangkan azan di telinga kanan anak tersebut dan iqamat di telinga kirinya,
maka dia (anak itu) tidak akan dicelakakan oleh Ummu Shibyan” (H.R. Ibnu Sinni).
Ummu Shibyan adalah nama setan
yang suka mengganggu anak-anak kecil. Sebaiknya pengazanan dan peng-iqomatan
ini dilakukan oleh ayahnya. Namun bila ia tidak mampu atau berhalangan, maka
tak mengapa jika dilakukan oleh lelaki muslim yang mana saja.
4.)
Mentahnik
bayi tersebut.
Mentahnik
adalah mengoleskan buah kurma yang sudah dilumatkan pada langit-langit mulut
bayi. Hukumnya sunnah. Dari Abi Musa, ia berkata:
“Anakku telah lahir, lalu aku membawanya
kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau menamakannya Ibrahim dan mentahnik
mulutnya dengan sebutuir kurma, lalu mendoakannya agar mendapatkan barokah,
kemudian mengembalikannya kepadaku” (H.R. Al-Bukhori)
5.)
Meng-aqiqahkannya.
Meng-aqiqahkan anak adalah menyembelihkan
kambing atas kelahirannya. Untuk anak lelaki, dengan dua ekor kambing dan bagi
anak perempuan seekor saja. Dari Ummu Karaz Al-Ka’biyah, dia menceritakan, aku
pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Bagi anak lelaki dua ekor kambing yang
berdekatan (umur dan besarnya) dan bagi anak perempuan seekor kambing” (H.R. Ashabus Sunan)
Namun bagi yang tidak mampu, ia
boleh meng-aqiqahkan anak lelakinya dengan seekor kambing saja sebagaimana
Rasululah SAW telah mengaqiqahkan Al-Hasan dan Al-Husain masing-masingnya
dengan seekor domba (H.R. Abu Dawud).
Kalau mampu hendaknya dilakukan pada
hari ketujuh dari kelahiran si anak, atau hari ke empat belas, atau hari ke dua
puluh satu (sesuai hadits riwayat Baihaqi). Kalau belum mampu juga di hari-hari
tersebut, maka boleh kapan saja ketika orang tua tersebut telah mampu. Bahkan
dalam kitab I’anatut Tholibin (Syarah dari kitab Fathul Mu’in juz 2 halaman
336) disebutkan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan aqiqah untuk dirinya
sendiri sesudah beliau diangkat menjadi nabi, yakni pada usia 40 tahun.
Hukum aqiqah ini mayoritas ulama
berpendapat sunnah muakkadah (sunnat yang sangat dianjurkan, mendekati wajib).
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya”
(H.R. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ahmad)
Menurut Imam Ahmad maksud dari kata-kata
“anak-anak itu tergadai dengan aqiqahnya” adalah bahwa pertumbuhan anak itu,
baik badan maupun kecerdasan otaknya, atau pembelaannya terhadap orang tuanya
pada hari kiamat akan tertahan jika ibu-bapaknya tidak melaksanakan aqiqah
baginya. Bahkan Ibnu Qayyim menegaskan bahwa aqiqah itu berfungsi untuk
melepaskan bayi yang bersangkutan dari godaan setan.
Kambing yang boleh untuk aqiqah adalah
kambing yang telah berumur satu tahun lebih dan tidak cacat sebagaimana yang
berlaku pada ketentuan hewan kurban. Daging kambing tersebut hendaknya
dibagi-bagikan dalam keadaan masak baik kepada fakir miskin atau pun kepada
orang-orang kaya.
6.)
Memberikan
nama untuknya.
Wajib memberikan
nama kepada anak dengan nama yang bagus yang tidak diharamkan.
“Sesungguhnya kalian pada hari kiamat akan
dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian, maka baguskanlah
nama kalian”
(H.R. Abu Dawud)
Sesuai hadits Nabi SAW, nama yang paling
disukai Allah adalah “Abdullah” dan “Abdurrahman” (H.R. Muslim). Boleh dan
bagus pula menamai anak dengan nama para nabi, nama para malaikat, nama
orang-orang saleh sebelumnya, dan juga nama-nama yang baik yang ada dalam
Al-Quran seperti “Thaha” atau “Yasin”.
Sedangkan nama yang diharamkan misalnya adalah
nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah seperti “Abdul ‘Uzza”,
“Abdul Ka’bah” dsb, atau nama yang hanya layak untuk Allah saja seperti “Malikul
Amlak” (Maha Raja Diraja), “Ar-rahman”, “Robbul ‘Alamiin” dsb.
Ada pula nama yang dilarang oleh Nabi SAW
(ada yang berpendapat makruh), yaitu nama: Yasar, Robah, Najih, dan Aflah. Juga
tak boleh memberi nama dengan nama yang bermakna keburukan seperti “Ashiyah”
(orang yang durhaka), atau nama yang bermakna mensucikan diri sendiri seperti
“Barrah” (orang yang suci, atau orang yang berbakti).
7.)
Mencukur
rambutnya dan bersedekah emas atau perak kepada fakir miskin seukuran berat
rambut tersebut. Hukumnya sunnah.
Rasulullah SAW berkata kepada Fatimah ketika
melahirkan Hasan, “Cukurlah rambutnya dan keluarkan sedekah perak seberat
rambutnya kepada orang-orang miskin” (HR. Ahmad)
“Fatimah pernah menimbang rambut Hasan,
Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum lalu mengeluarkan sedekah perak seberat rambut
tersebut” (HR. Malik)
8.)
Mengkhitan
anak tersebut.
Banyak ulama yang mewajibkan khitan.
Mereka di antaranya adalah Imam Asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad,
Asy-Sya’abi, Rubai’ah, dan Al-Auza’i. Hanya saja menurut Imam Malik, khitan itu
bagi wanita hanya mandub saja. Pendapatnya ini berdasarkan hadits berikut:
“Khitan adalah sunnah bagi kaum lelaki dan
merupakan kebaikan bagi kaum wanita”
(HR.
Thabrani)
Mengenai waktu khitan pun terdapat perbedaan
pendapat. Namun yang jelas, ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah
SAW telah mengkhitan Hasan dan Husain pada umur tujuh hari (HR. Abu Asy-Syaikh
dan Al-Baihaqi).
Dalam kitab “Al-Mudkhil”, Ibnu al-Haj
mengatakan: “Sunnah yang sudah berlaku ialah, bahwa khitannya anak lelaki
diumumkan, sedangkan khitannya anak perempuan dirahasiakan”.
Semoga
Allah SWT selalu membantu kita untuk dapat mengikuti segala tuntunan dan
ajaran-Nya dalam kehidupan ini. Aamiin. (Jakarta, Kamis, 18 Juni 2015/1
Ramadhan 1436 H).
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...