Apakah suntikan atau injeksi (termasuk infus) itu membatalkan puasa? Para ulama berbeda
pendapat tentang hal ini.
Menurut Ulama Klasik
Para ulama klasik berpendapat bahwa
suntikan itu membatalkan puasa, baik yang dimasukkan melalui suntikan itu
adalah suatu obat, suatu zat makanan, atau minuman. Karena pada hakikatnya,
suntikan adalah memasukkan suatu benda ke dalam tubuh, meskipun tidak melalui
lobang badan yang lazim seperti mulut, hidung, telinga, dan sebagainya. Hal ini
dapat dibaca dalam berbagai kitab fiqih klasik, di antaranya adalah kitab
“Al-Muhadzzab Fi Fiqhi al-Imam al-Syafi’i” karya Al-Fairuzzabadi juz I Halaman
182:
وإن
احتـقن بطل صومه لأنه إذا بطل بما يصل إلى الدّماغ بالسعـوط فلأن يـبطل بما يصل إلى
الجوف بالحقـنة أولَى
“Jika orang
yang berpuasa melakukan suntikan, maka batallah puasanya. Karena jika puasa
seseorang menjadi batal disebabkan oleh sesuatu yang masuk ke dalam otaknya
melalui hidung, maka tentu sesuatu yang masuk ke dalam tubuh melalui suntikan
lebih membatalkan puasanya”.
Menurut
Ulama Modern
Para ulama modern seperti Sayyid Sabiq dan
Syekh Ibrahim Abu Yusuf berpendapat bahwa suntikan itu tidak membatalkan puasa,
karena suntikan itu adalah memasukkan obat atau lain sebagainya ke dalam tubuh
melalui lobang tubuh yang tidak lazim. Dalam “Fiqh al-Sunnah” juz I halaman 528
disebutkan:
وممّا
يـباح في الصيام الحقنة مطلقا سواء أكانت للتغدية أم لغيرها و سواء أكانت في العروق
أو تحت الجلد فإنها وإن وصلت إلى الجوف فإنها تصل إليه من غير المنفذ المعتاد
“Di antara sesuatu yang boleh dilakukan dalam
berpuasa adalah suntikan secara mutlak, baik dengan tujuan untuk memasukkan
makanan atau tujuan lain, dan baik dilakukan di otot atau di bawah kulit,
karena meskipun sesuatu yang dimasukkan melalui suntikan tersebut masuk ke
dalam tubuh, tetapi hal itu dilakukan melalui lubang yang tidak lazim”
Pilih Pendapat Yang Mana?
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Propinsi DKI Jakarta tahun 2001 memilih pendapat para ulama klasik yang
menyatakan bahwa suntikan itu membatalkan puasa. Hal ini—sebagaimana yang
ditulis oleh Komisi Fatwa tersebut—didasarkan pada pertimbangan berhati-hati (إختياط) dalam beribadah kepada Allah SWT. Di samping itu juga atas
dasar pertimbangan substansial, di mana substansinya, obat-obatan yang
disuntikkan atau sari makanan dan minuman yang diinfuskan adalah tidak berbeda
dengan obat-obatan, makanan atau minuman yang dimasukkan melalui mulut, yaitu
sama-sama masuk ke dalam tubuh dan sama-sama dapat mempengaruhi fisik atau
psychis orang yang bersangkutan. Perbedaannya hanya terletak pada cara
memasukkannya saja.
Saran
Penulis
Ada kaidah ushul fiqh yang menyatakan
bahwa “keluar dari perbedaan pendapat itu disukai” (الخروج من الخلاف مستحبّ). Maka berdasarkan kaidah tersebut, penulis menyarankan kepada
semua kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah puasa Ramadhan, agar
menghindari tindakan injeksi apapun selama berpuasa selagi hal itu masih
mungkin untuk dilakukan. Anda bisa menunda tindakan injeksi atau infus terhadap
tubuh Anda itu hingga datangnya waktu berbuka.
Namun jika Anda sedang dalam kondisi sakit
gawat yang memang betul-betul membutuhkan tindakan injeksi atau infus, maka
jangankan hanya sekedar injeksi, bahkan tidak-berpuasa pun—jika memang berpuasa itu
tidak mungkin atau malah membahayakan bagi Anda—sudah jelas dibolehkan oleh
Islam tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Tapi ingat ya, kalau
sudah sehat nanti, puasa yang telah ditinggalkan itu wajib Anda ganti. Demikian
tulisan singkat ini, semoga bermanfaat. (Jakarta, Minggu, 21 Juni 2015).
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...