Imam
Al-Ghazali adalah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i dan seorang pemikir
muslim yang handal. Nama beliau dikenal luas di seluruh dunia, tidak hanya di
kalangan kaum muslimin namun juga dikalangan tokoh-tokoh non muslim terutama
para orientalis Barat dan orang-orang yang bergelut dalam dunia teologi dan filsafat.
Kontribusinya
bagi dunia Islam amat besar. Tidak hanya di bidang teologi, namun juga dalam
dunia filsafat dan tasawuf. DR. Yusuf Qardhawi bahkan menokohkan beliau sebagai
Pembaru Islam dari abad ke-5 Hijriah.
Nama asli beliau adalah Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al-Thusi Al-Syafi’i Al-Ghazali. Beliau dilahirkan di Khurasan, Iran pada tahun 1058 M. Ia telah yatim (ditinggal mati ayahnya) sedari kecil. Namun berkat karunia Allah, ia tetap dapat mengenyam pendidikan yang tinggi. Nishapur dan Bagdad merupakan dua tempat berharga baginya dalam menimba ilmu. Guru utama beliau adalah Al-Juwaini. Darinya beliau belajar teologi dan filsafat. Berkat kecerdasannya, dalam waktu relatif singkat, Al-Ghazali berhasil meraih gelar guru besar dari Universitas Nizamiyah di Baghdad, suatu lembaga pendidikan terkemuka pada waktu itu.
Dalam kurun 1091-1095, Al-Ghazali mengajarkan yurisprudensi dan teologi
di perguruan tinggi tersebut. Namun pada tahun 1092, terjadi pembunuhan
terhadap Nizam Al-Mulk, Perdana Menteri dari Bani Saljuk sekaligus pendiri
Nizamiyah. Tak lama kemudian, Sultan Malik Syah, penguasa kekhalifahan Bagdad
mangkat. Dua peristiwa ini membuat Al-Ghazali meletakkan jabatannya, sedangkan
tugas mengajarnya diserahkan kepada adiknya, Ahmad.
Dalam karyanya yang berjudul Al-Munqizh min Al-Dhalal (Deliverance
From Error), Al-Ghazali menyatakan bahwa ia telah menekuni filsafat selama
tiga tahun. Dia mempelajari semua bidang kefilsafatan dan merenungkannya di
sela-sela kesibukannya mengajar 300 siswa Nizamiyah. Ia akhirnya mahir di
bidang ini. Kepiawaiannya di bidang ini dapat dibuktikan melalui beberapa
tulisannya: Maqashid Al-Falasifah (The Intentions of the
Philosophers: sebuah ringkasan yang jernih tentang filosofi Islam), Mi’yar
Al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge: pembahasan ringkas tentang
logika Aristotelian), Mizan Al-‘Amal (The Balance of Action: sebuah
eksposisi dari teori etika Al-Ghazali), dan Tahafut Al-Falasifah (The
Incoherence of the Philosophers: pembahasan Al-Ghazali mengenai
ketidakjelasan para filosof).
Dalam perjalanan hidupnya, Al-Ghazali didera kehausan yang sangat akan
hakikat kebenaran. Rasa haus itu antara lain terungkap dari pengakuannya
berikut ini:
“Kehausan
untuk memahami makna sejati dari segala sesuatu, benar-benar merupakan
kebiasaan dan keinginanku dari kecil dan pada masa-masa utama hidupku. Itu
sudah menjadi kecendrungan alamiah dan naluriah dalam penciptaanku oleh Allah
Yang Maha Tinggi, bukan sesuatu yang kupilih dan kurencanakan sendiri.
Akibatnya, sejak aku masih sangat muda, belenggu pengekangan terlepas dariku,
dan kepercayan-kepercayaan warisan kehilangan cekalannya terhadapku”.
Rasa haus itu membuat ia sering berfikir mendalam, bahkan amat dalam,
hingga akhirnya pernah membuat ia sampai tak bisa bicara dengan manusia. Kehausan
itu pula yang membuat ia mengambil keputusan untuk melakukan pengembaraan yang
cukup lama di masa hidupnya. Dalam pengembaraannya, Al-Ghazali melaksanakan
ibadah haji, kemudian pergi ke Damaskus, lalu ke Baitul Maqdis, dan kembali
lagi ke Damaskus untuk menetap selama beberapa tahun.
Dari usaha pencariannya itu, akhirnya ia tertarik pada dunia tasawwuf.
Bahkan menyimpulkan bahwa jalan yang tepat untuk mengetahui hakikat kebenaran
itu adalah jalan para sufi, bukan jalan para filosof. Sekian lama ia mengasah
diri di bidang tasawwuf, dengan ilmu dan pengamalannya. Hingga akhirnya ia
menguasai bidang itu bahkan menjadi salah satu tokoh terkemukanya di dunia. Ia
pun menelurkan karya-karyanya di bidang tasawwuf, yang di antaranya adalah Al-Asma’
Al-Husna dan Misykat Al-Anwar (The Niche of the Lights).
Di
antara seluruh karya tulisnya, yang paling fenomenal, monumental, dan
benar-benar melambungkan namanya di dunia adalah kitab Ihyaa’ Ulumiddin (The
Revival of the Religious Sciences). Kitab ini membendung serangan
materialisme dan ateisme yang dapat meruntuhkan agama dari fondasinya. Selain
itu kitab ini juga berhasil memadukan ilmu fiqh dan tasawwuf. Ia berhasil
memperlihatkan dan membuktikan pada dunia bahwa fiqh dan tasawwuf adalah
benar-benar ajaran Islam yang saling berhubungan dan tak boleh dipisahkan pengamalan
salah satunya dari yang lain oleh seorang hamba Allah jika hamba tersebut
benar-benar ingin selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum kemunculan
Al-Ghazali, dua bidang ilmu Islam ini sering dianggap sebagai dua hal yang
terpisah bahkan bertentangan satu sama lain. Sehingga seringkali orang memilih
salah-satunya saja dan membenci orang yang berpihak pada yang lainnya. Sering
terjadi ahli fiqh membenci dan menganggap sesat ahli tasawwuf, dan ahli
tasawwuf membenci dan menganggap binasa ahli fiqh. Dengan kemunculan Ihya’
Ulumiddin dua kelompok itu lambat-laun mulai tercerahkan. Lewat kitab itu
pula, Al-Ghazali berhasil menyingkap dan mengupas terminologi-terminologi Islam
yang sebelumnya masih samar bagi kebanyakan kaum muslimin seperti tentang apa
sebenarnya syukur itu, apa sebenarnya sabar, apa hakikat tawakkal,
dan lain sebagainya. Kitab yang ditulis menjelang akhir hayatnya inilah yang
akhirnya membuat ia digelar oleh dunia sebagai sang Hujjatul Islam.
Al-Ghazali wafat pada tahun 505 H atau 1111 M. Kepergiannya, banyak
meninggalkan warisan ilmiah yang amat berharga bagi khazanah Islam dalam
berbagai bidang. Selain teologi, filsafat, dan tasawwuf, Al-Ghazali juga
meninggalkan buah tangan dalam bidang lain seperti tafsir dan ushul fiqh. Namun
sayang, di antara karya-karya Al-Ghazali konon ada yang sudah tidak dapat
ditemukan lagi keberadaannya. (Jakarta, 7 Juni 2015/Dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...