“Sebutlah
kebaikan orang-orang yang telah meninggal di antara kamu, dan tahanlah dirimu
dari kejelekan mereka” (HR. Abu Daud)
Para
pendahulu kita yang telah meninggal dunia, pasti memiliki kebaikan dan juga
kesalahan. Kita dianjurkan untuk mengingat, menyebut, bahkan mengikuti
kebaikan-kebaikan mereka dan dilarang dari yang sebaliknya (dilarang dari
menyebut atau mengikuti kesalahan mereka).
Buya
Imam (nama asli dan gelar beliau adalah Mu’azzuddin, Tuangku Mandaro) adalah
salah-seorang pendahulu yang menurut saya layak untuk dikenang. Karena cukup
banyak pelajaran berharga yang bisa diambil dari sikap dan perbuatan beliau
semasa hidupnya.
Beliau
tergolong orang yang baik, insya Allah. Baik sebagai ayah. Baik sebagai mamak. Baik
sebagai kakak. Baik sebagai teman. Dan baik pula sebagai guru.
Orang-orang
Bungo Pasang, Padang, sebaiknya tidak melupakan beliau. Beliau telah lama
menjadi guru surau di Masjid Jami’ Bungo Pasang, Padang. Tepatnya dari tahun
1984/1985 sampai wafat tahun 2005 (berarti selama + 20 tahun).
Ya,
selama sekitar 20 tahun itulah beliau telah mengabdikan dirinya di Bungo
Pasang. Dengan waktu selama itu, tentu dimungkinkan
sudah sekian banyak jasa yang beliau tanam. Sudah sekian banyak kebaikan yang
beliau tebar. Sudah sekian banyak orang yang pernah belajar dan mendapatkan
manfaat dari ilmu dan amal beliau di wilayah tersebut.
Buya
Imam yang saya kenal, menurut saya, adalah sosok pribadi yang ikhlas dan
penyayang. Hangat, ramah, dan lapang. Seorang mamak yang patut dibanggakan. Seorang
guru yang arif dan berpendirian. Teman duduk yang menyenangkan. Setiap orang
pada umumnya akan betah berlama-lama dengan beliau.
Beliau
suka bercanda sehingga suasana menjadi hangat dan segar. Tak jarang, dalam
suasana yang segar itu, perbincangan mengarah kepada hal-hal yang mengandung
hikmah dan menambah keyakinan kita kepada Allah swt.
Keikhlasan
beliau bisa dilihat di antaranya dari kesediaan beliau mengabdi selama 20 tahun
itu tanpa digaji. Beliau menceritakan bahwa setelah para ninik mamak dan
masyarakat sekitar Masjid Jami’ Bungo Pasang mendudukkan beliau di sana sebagai
guru (guru surau), beliau didatangi oleh Bapak Lurah setempat. Pak Lurah
bertanya kepada beliau dengan ramah tentang berapa besar gaji yang diinginkan.
Beliau menjawab (tentu saja dalam bahasa Minang), “Tak usahlah saya ditentukan
gajinya. Yang penting, kalau tidak ada beras, berikan saya beras. Tidak ada
gula, berikan gula. Tidak ada uang, berikan uang, dsb”.
“Tetapi,
tahukah engkau apa yang terjadi?” tanya Buya Imam kepada saya waktu itu.
“Setiap kali pengurus masjid ke sini, mereka selalu melihat apa yang saya
butuhkan sudah ada. Beras ada. Gula ada. Uang ada. Jadi, apa lagi yang harus
dicukupi?” ucap beliau sambil tertawa.
Ratusan
anak ngaji di Bungo Pasang pada awal-awal masa tugas beliau, pernah beliau ajar
sendirian (demikian menurut cerita beliau). Beliau bagi trip, mulai dari pagi
sampai malam hari. Sehingga pernah ada orang yang ingin bertamu dan menemui
beliau terheran-heran, “Kapan Buya ini berhenti mengajarnya?” karena setiap
kali datang, ia selalu melihat Buya Imam sedang mengajar mengaji di masjid.
Tentang
keyakinan akan balasan Tuhan untuk orang-orang yang mengajar mengaji, beliau
berkata kepada saya: “Mengajar mengaji ini, amat besar gajinya”. Dalam pikiran
Anda mungkin muncul dugaan bahwa yang dimaksud dengan “gaji” di sini adalah
pahala di akhirat. Tak salah sih dugaan seperti itu. Tetapi sepanjang yang saya
pahami dari hasil pengalaman saya bersama beliau, ternyata hal itu tidak
dibatasi untuk masalah akhirat saja. Allah mencukupi kebutuhan orang-orang yang
benar-benar mengabdi dan bertawakkal kepada-Nya sehingga tidak perlu takut jika
tidak digaji oleh manusia. Allah lah yang akan mengatur kecukupan rezekinya
melalui jalan dan tangan-tangan yang dikehendaki-Nya [1].
Salah
satu pengalaman yang pernah beliau ceritakan adalah bahwa suatu saat beliau
pernah mengajar beberapa santri Batang Kabuang di surau Bungo Pasang itu. Entah
untuk berapa lama, Tetapi yang jelas, cerita ini menggambarkan tentang
keyakinan beliau akan jaminan rezeki dari Allah.
Beliau
menceritakan bahwa selain belajar kepada beliau, santri-santri ini juga menumpang
makan kepada beliau. Seakan-akan beliau adalah penanggung-jawab kebutuhan makan
mereka setiap hari. Buya Imam tidak memusingkan hal itu. Beliau biarkan saja
santri-santri itu terus mengaji dan menumpang makan dengan beliau selama mereka
mau.
Ternyata,
suatu saat, berita ini sampai kepada salah-seorang guru beliau di Batang
Kabuang. Berita ini membuat sang guru bertanya kepada beliau.
“Apa
benar santri-santri itu makannya bersamamu, Mam?” tanya sang guru.
“Betul,
Ungku. Memang kenapa, Ungku?” jawab Buya Imam.
“Apa
kau ingin membunuh anak-anak dan istrimu?” tanya sang guru serius dan penasaran
.
Buya
Imam tertawa mendengar hal itu, “Tidak, Ungku. Bagaimana mungkin saya mau
membunuh anak-anak dan istri saya. Yang mereka makan itu kan rezeki mereka
sendiri-sendiri. Bukankah setiap orang hanya akan memakan rezekinya masing-masing
dan tidak akan bisa mengambil rezeki orang lain? Bukankah begitu menurut ilmu yang
kita pelajari?” tanya Buya Imam mengingatkan sang guru kepada ilmu yang pernah
diketahuinya.
Keyakinan
semacam ini adalah keyakinan yang benar dan mulia. Tetapi belum tentu mudah dan
bisa dicapai oleh setiap orang. Banyak orang yang gagal di dalam meyakini
kepastian rezeki dari Allah. Sehingga membuat hidupnya gelisah, kikir, ataupun
tamak.
Buya
Imam termasuk orang yang beruntung di dalam hal ini. Beliau dikarunia keyakinan
terhadap jaminan rezeki dari Allah. Selain itu, beliau dikaruniai pula dengan
jiwa yang lapang. Dua hal ini setidaknya yang membuat beliau mampu menjadi
“tempat tumpangan” bagi sanak-saudara beliau yang pernah membutuhkannya.
Sudah
berapa kali beliau menjadi tempat tumpangan bagi adik-adik atau
kemenakan-kemenakan beliau. Semua beliau izinkan untuk tinggal dan makan
bersama beliau. Menikmati dan menggunakan segala fasilitas yang ada. Prinsipnya,
“Ado, samo dimakan. Indak ado, samo dinanti”.
Ya,
betul-betul “samo dinanti”. Sebagian orang kini kan ada yang menukar kalimat
itu dengan “Indak ado, samo DICARI”, karena merasa tidak cocok atau mungkin
merasa tidak sanggup jika hanya menanti dan tidak mencari. Terlepas dari kontroversi
tentang prinsip manakah sebetulnya yang benar, yang jelas saya merasakan bahwa
yang terjadi pada Buya Imam adalah memang yang seperti itu. Rezeki seolah
didatangkan kepada beliau. Beliau tidak mencari rezeki, tetapi menanti rezeki.
Ada
seseorang yang pernah membantah Buya Imam ketika Buya Imam bercerita tentang
bagaimana hebatnya kepastian rezeki dari Allah swt. Orang itu mengatakan: “Ah,
Imam. Pakaian Imam, Imam berikan ke orang. Mana mungkin cocok?!”
Buya
Imam menjawab, “Eh, siapa bilang itu pakaian saya. Itu pakaian semua orang.
Hanya saja, ada orang yang tidak mau memakainya”.
Saya
melihat wajah Buya Imam serius ketika melontarkan jawaban itu.
Sebagai
keterangan tambahan tentang menanti rezeki, Buya Imam pernah menerangkan bahwa
Buya Ali Imran (Guru Besar di Pesantren Nurul Yaqin, Ringan-Ringan) pernah
berkata: “Semua orang itu menanti rezeki. Bagaimana menanti rezekinya? Para
pedagang menanti terjualnya barang. Para petani menanti masaknya padi. Para
pegawai menanti datangnya gaji. Jadi, tidak ada yang mencari rezeki. Semua
hanya menanti rezeki”.
Demikianlah
sebagian di antara kenangan-kenangan indah saya bersama Buya Imam. Semoga Allah
selalu menyayangi beliau. Mengampuni segala dosa beliau. Dan menempatkan beliau
selalu di tempat yang sebaik-baiknya[2]. Amin ya Robbal ‘alamiin. Alfaaatihah!
(mohon dibaca surat Alfatihah hingga selesai).
Allohumma
sholli ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wasohbihi ajma’in.
Walhamdulillahi Robbil ‘alamiin.
(Buya
Amin/Media Muslim)
============
[1]
Meski demikian, saya tidak setuju jika pengurus suatu masjid menerapkan sistem
tidak memberikan gaji untuk guru surau yang didudukkannya. Sebab hal itu tidak
logis dan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kemanusiaan.
Gaji
per bulan itu adalah hal yang logis untuk dibayarkan karena sang guru telah
mengorbankan waktunya untuk menetapi suatu urusan yang membuat dia “terkekang”
atau terbatasi dari kemungkinan melakukan usaha-usaha ekonomi (silakan
dibuktikan. Tidak akan beres pekerjaan seorang guru surau apabila dia harus
disibukkan pula dengan kegiatan-kegiatan ekonomi).
Jadi,
gaji yang dibayarkan kepadanya itu bukanlah untuk membalas amal-ibadahnya yang
berupa meng-imami salat, mengajar ngaji, dan lain sebagainya itu. Tetapi sebagai
konsekuensi dari keharusan dia untuk tetap di surau dan mengerjakan tugas-tugas
harian di surau yang membuat dia menjadi sulit untuk melakukan kerja-kerja
ekonomi di luar.
Sedangkan
amal ibadahnya yang berupa mengimami salat berjama’ah lima waktu, mengajar
ngaji, memberikan wirid dan lain sebagainya itu, itu adalah tetap merupakan
amal-ibadahnya kepada Allah yang akan Allah balas sesuai dengan tingkat
keikhlasannya kepada Allah.
Artinya,
yang ingin saya tekankan di sini adalah, marilah kita sama-sama mengurus
tanggung-jawab kita masing-masing. Menggaji guru surau adalah tugas pengurus
masjid atau masyarakat sekitar. Jalankanlah kewajiban itu dan jangan
dikait-kaitkan dengan urusan ikhlas atau tidaknya sang guru.
Sementara
itu, keikhlasan dan keseriusan di dalam mengajar, meng-imami salat, dan lain
sebagainya itu, itu adalah urusan dan tanggung-jawab si guru kepada Allah.
Jangan sampai berkurang keikhlasan dan keseriusanmu di dalam melaksanakan
tugas-tugas dari Allah itu, wahai para guru surau, hanya karena masyarakat atau
pengurus masjid lalai dari mengantarkan gaji kepadamu. Insya Allah, kalau
engkau serius di dalam menjalankan tugas-tugasmu kepada Allah, meskipun
masyarakat lalai dari memperhatikanmu, Allah tetap akan memperhatikanmu dan
meng-amankan segala urusan dan kebutuhanmu.
إِنْ تَنْصُرُوْا اللهَ يـَنْصُرْكُمْ وَ يُـثَـبِّتْ اَقْدَامَكُمْ
“Jika kamu
menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”
(QS. Muhammad/47: 7)
Itulah janji Allah kepadamu. Dan juga ayat berikut
ini:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
akan memberikan jalan keluar baginya (dari segala kesulitan) dan memberikannya
rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada
Allah, niscaya Allah akan mencukupi (segala kebutuhan) nya” (QS. Ath-Thalaq/65:
2-3)
Kebenaran ayat-ayat tersebut telah teruji dan
dirasakan kemanisannya oleh orang-orang yang yakin dan mau mengamalkannya.
[2]
Buya Imam meninggal pada Jum’at malam, 22 April 2005. Bertepatan dengan 12
Rabiul Awwal 1426 H. Dimakamkan di Surau Gobah Tuangku Shalih, Kampuang Pondok,
Lubuak Aluang, Pariaman, Sumbar.
Di
KTP beliau yang pernah saya lihat, tertulis tanggal kelahiran beliau adalah 2
Februari 1957. Jika ini benar, berarti beliau meninggal dalam usia
48
tahun. Wallohu a’lam.
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...