Saturday 22 April 2017

Mengenang Buya Imam (Mu'azzuddin, Tk. Mandaro)



“Sebutlah kebaikan orang-orang yang telah meninggal di antara kamu, dan tahanlah dirimu dari kejelekan mereka” (HR. Abu Daud)


Para pendahulu kita yang telah meninggal dunia, pasti memiliki kebaikan dan juga kesalahan. Kita dianjurkan untuk mengingat, menyebut, bahkan mengikuti kebaikan-kebaikan mereka dan dilarang dari yang sebaliknya (dilarang dari menyebut atau mengikuti kesalahan mereka).

Buya Imam (nama asli dan gelar beliau adalah Mu’azzuddin, Tuangku Mandaro) adalah salah-seorang pendahulu yang menurut saya layak untuk dikenang. Karena cukup banyak pelajaran berharga yang bisa diambil dari sikap dan perbuatan beliau semasa hidupnya.

Beliau tergolong orang yang baik, insya Allah. Baik sebagai ayah. Baik sebagai mamak. Baik sebagai kakak. Baik sebagai teman. Dan baik pula sebagai guru.

Orang-orang Bungo Pasang, Padang, sebaiknya tidak melupakan beliau. Beliau telah lama menjadi guru surau di Masjid Jami’ Bungo Pasang, Padang. Tepatnya dari tahun 1984/1985 sampai wafat tahun 2005 (berarti selama + 20 tahun).

Ya, selama sekitar 20 tahun itulah beliau telah mengabdikan dirinya di Bungo Pasang.  Dengan waktu selama itu, tentu dimungkinkan sudah sekian banyak jasa yang beliau tanam. Sudah sekian banyak kebaikan yang beliau tebar. Sudah sekian banyak orang yang pernah belajar dan mendapatkan manfaat dari ilmu dan amal beliau di wilayah tersebut.

Buya Imam yang saya kenal, menurut saya, adalah sosok pribadi yang ikhlas dan penyayang. Hangat, ramah, dan lapang. Seorang mamak yang patut dibanggakan. Seorang guru yang arif dan berpendirian. Teman duduk yang menyenangkan. Setiap orang pada umumnya akan betah berlama-lama dengan beliau.

Beliau suka bercanda sehingga suasana menjadi hangat dan segar. Tak jarang, dalam suasana yang segar itu, perbincangan mengarah kepada hal-hal yang mengandung hikmah dan menambah keyakinan kita kepada Allah swt.

Keikhlasan beliau bisa dilihat di antaranya dari kesediaan beliau mengabdi selama 20 tahun itu tanpa digaji. Beliau menceritakan bahwa setelah para ninik mamak dan masyarakat sekitar Masjid Jami’ Bungo Pasang mendudukkan beliau di sana sebagai guru (guru surau), beliau didatangi oleh Bapak Lurah setempat. Pak Lurah bertanya kepada beliau dengan ramah tentang berapa besar gaji yang diinginkan. Beliau menjawab (tentu saja dalam bahasa Minang), “Tak usahlah saya ditentukan gajinya. Yang penting, kalau tidak ada beras, berikan saya beras. Tidak ada gula, berikan gula. Tidak ada uang, berikan uang, dsb”.

“Tetapi, tahukah engkau apa yang terjadi?” tanya Buya Imam kepada saya waktu itu. “Setiap kali pengurus masjid ke sini, mereka selalu melihat apa yang saya butuhkan sudah ada. Beras ada. Gula ada. Uang ada. Jadi, apa lagi yang harus dicukupi?” ucap beliau sambil tertawa.

Ratusan anak ngaji di Bungo Pasang pada awal-awal masa tugas beliau, pernah beliau ajar sendirian (demikian menurut cerita beliau). Beliau bagi trip, mulai dari pagi sampai malam hari. Sehingga pernah ada orang yang ingin bertamu dan menemui beliau terheran-heran, “Kapan Buya ini berhenti mengajarnya?” karena setiap kali datang, ia selalu melihat Buya Imam sedang mengajar mengaji di masjid.

Tentang keyakinan akan balasan Tuhan untuk orang-orang yang mengajar mengaji, beliau berkata kepada saya: “Mengajar mengaji ini, amat besar gajinya”. Dalam pikiran Anda mungkin muncul dugaan bahwa yang dimaksud dengan “gaji” di sini adalah pahala di akhirat. Tak salah sih dugaan seperti itu. Tetapi sepanjang yang saya pahami dari hasil pengalaman saya bersama beliau, ternyata hal itu tidak dibatasi untuk masalah akhirat saja. Allah mencukupi kebutuhan orang-orang yang benar-benar mengabdi dan bertawakkal kepada-Nya sehingga tidak perlu takut jika tidak digaji oleh manusia. Allah lah yang akan mengatur kecukupan rezekinya melalui jalan dan tangan-tangan yang dikehendaki-Nya [1].

Salah satu pengalaman yang pernah beliau ceritakan adalah bahwa suatu saat beliau pernah mengajar beberapa santri Batang Kabuang di surau Bungo Pasang itu. Entah untuk berapa lama, Tetapi yang jelas, cerita ini menggambarkan tentang keyakinan beliau akan jaminan rezeki dari Allah.

Beliau menceritakan bahwa selain belajar kepada beliau, santri-santri ini juga menumpang makan kepada beliau. Seakan-akan beliau adalah penanggung-jawab kebutuhan makan mereka setiap hari. Buya Imam tidak memusingkan hal itu. Beliau biarkan saja santri-santri itu terus mengaji dan menumpang makan dengan beliau selama mereka mau.

Ternyata, suatu saat, berita ini sampai kepada salah-seorang guru beliau di Batang Kabuang. Berita ini membuat sang guru bertanya kepada beliau.

“Apa benar santri-santri itu makannya bersamamu, Mam?” tanya sang guru.
“Betul, Ungku. Memang kenapa, Ungku?” jawab Buya Imam.
“Apa kau ingin membunuh anak-anak dan istrimu?” tanya sang guru serius dan penasaran .

Buya Imam tertawa mendengar hal itu, “Tidak, Ungku. Bagaimana mungkin saya mau membunuh anak-anak dan istri saya. Yang mereka makan itu kan rezeki mereka sendiri-sendiri. Bukankah setiap orang hanya akan memakan rezekinya masing-masing dan tidak akan bisa mengambil rezeki orang lain? Bukankah begitu menurut ilmu yang kita pelajari?” tanya Buya Imam mengingatkan sang guru kepada ilmu yang pernah diketahuinya.

Keyakinan semacam ini adalah keyakinan yang benar dan mulia. Tetapi belum tentu mudah dan bisa dicapai oleh setiap orang. Banyak orang yang gagal di dalam meyakini kepastian rezeki dari Allah. Sehingga membuat hidupnya gelisah, kikir, ataupun tamak.

Buya Imam termasuk orang yang beruntung di dalam hal ini. Beliau dikarunia keyakinan terhadap jaminan rezeki dari Allah. Selain itu, beliau dikaruniai pula dengan jiwa yang lapang. Dua hal ini setidaknya yang membuat beliau mampu menjadi “tempat tumpangan” bagi sanak-saudara beliau yang pernah membutuhkannya.

Sudah berapa kali beliau menjadi tempat tumpangan bagi adik-adik atau kemenakan-kemenakan beliau. Semua beliau izinkan untuk tinggal dan makan bersama beliau. Menikmati dan menggunakan segala fasilitas yang ada. Prinsipnya, “Ado, samo dimakan. Indak ado, samo dinanti”.

Ya, betul-betul “samo dinanti”. Sebagian orang kini kan ada yang menukar kalimat itu dengan “Indak ado, samo DICARI”, karena merasa tidak cocok atau mungkin merasa tidak sanggup jika hanya menanti dan tidak mencari. Terlepas dari kontroversi tentang prinsip manakah sebetulnya yang benar, yang jelas saya merasakan bahwa yang terjadi pada Buya Imam adalah memang yang seperti itu. Rezeki seolah didatangkan kepada beliau. Beliau tidak mencari rezeki, tetapi menanti rezeki.

Ada seseorang yang pernah membantah Buya Imam ketika Buya Imam bercerita tentang bagaimana hebatnya kepastian rezeki dari Allah swt. Orang itu mengatakan: “Ah, Imam. Pakaian Imam, Imam berikan ke orang. Mana mungkin cocok?!”
Buya Imam menjawab, “Eh, siapa bilang itu pakaian saya. Itu pakaian semua orang. Hanya saja, ada orang yang tidak mau memakainya”.
Saya melihat wajah Buya Imam serius ketika melontarkan jawaban itu.

Sebagai keterangan tambahan tentang menanti rezeki, Buya Imam pernah menerangkan bahwa Buya Ali Imran (Guru Besar di Pesantren Nurul Yaqin, Ringan-Ringan) pernah berkata: “Semua orang itu menanti rezeki. Bagaimana menanti rezekinya? Para pedagang menanti terjualnya barang. Para petani menanti masaknya padi. Para pegawai menanti datangnya gaji. Jadi, tidak ada yang mencari rezeki. Semua hanya menanti rezeki”.

Demikianlah sebagian di antara kenangan-kenangan indah saya bersama Buya Imam. Semoga Allah selalu menyayangi beliau. Mengampuni segala dosa beliau. Dan menempatkan beliau selalu di tempat yang sebaik-baiknya[2]. Amin ya Robbal ‘alamiin. Alfaaatihah! (mohon dibaca surat Alfatihah hingga selesai).

Allohumma sholli ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wasohbihi ajma’in. Walhamdulillahi Robbil ‘alamiin.

(Buya Amin/Media Muslim)

============
[1] Meski demikian, saya tidak setuju jika pengurus suatu masjid menerapkan sistem tidak memberikan gaji untuk guru surau yang didudukkannya. Sebab hal itu tidak logis dan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kemanusiaan.

Gaji per bulan itu adalah hal yang logis untuk dibayarkan karena sang guru telah mengorbankan waktunya untuk menetapi suatu urusan yang membuat dia “terkekang” atau terbatasi dari kemungkinan melakukan usaha-usaha ekonomi (silakan dibuktikan. Tidak akan beres pekerjaan seorang guru surau apabila dia harus disibukkan pula dengan kegiatan-kegiatan ekonomi).

Jadi, gaji yang dibayarkan kepadanya itu bukanlah untuk membalas amal-ibadahnya yang berupa meng-imami salat, mengajar ngaji, dan lain sebagainya itu. Tetapi sebagai konsekuensi dari keharusan dia untuk tetap di surau dan mengerjakan tugas-tugas harian di surau yang membuat dia menjadi sulit untuk melakukan kerja-kerja ekonomi di luar.

Sedangkan amal ibadahnya yang berupa mengimami salat berjama’ah lima waktu, mengajar ngaji, memberikan wirid dan lain sebagainya itu, itu adalah tetap merupakan amal-ibadahnya kepada Allah yang akan Allah balas sesuai dengan tingkat keikhlasannya kepada Allah.

Artinya, yang ingin saya tekankan di sini adalah, marilah kita sama-sama mengurus tanggung-jawab kita masing-masing. Menggaji guru surau adalah tugas pengurus masjid atau masyarakat sekitar. Jalankanlah kewajiban itu dan jangan dikait-kaitkan dengan urusan ikhlas atau tidaknya sang guru.

Sementara itu, keikhlasan dan keseriusan di dalam mengajar, meng-imami salat, dan lain sebagainya itu, itu adalah urusan dan tanggung-jawab si guru kepada Allah. Jangan sampai berkurang keikhlasan dan keseriusanmu di dalam melaksanakan tugas-tugas dari Allah itu, wahai para guru surau, hanya karena masyarakat atau pengurus masjid lalai dari mengantarkan gaji kepadamu. Insya Allah, kalau engkau serius di dalam menjalankan tugas-tugasmu kepada Allah, meskipun masyarakat lalai dari memperhatikanmu, Allah tetap akan memperhatikanmu dan meng-amankan segala urusan dan kebutuhanmu.

إِنْ تَنْصُرُوْا اللهَ يـَنْصُرْكُمْ وَ يُـثَـبِّتْ اَقْدَامَكُمْ
 “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad/47: 7)

Itulah janji Allah kepadamu. Dan juga ayat berikut ini:

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar baginya (dari segala kesulitan) dan memberikannya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (segala kebutuhan) nya” (QS. Ath-Thalaq/65: 2-3)

Kebenaran ayat-ayat tersebut telah teruji dan dirasakan kemanisannya oleh orang-orang yang yakin dan mau mengamalkannya.

[2] Buya Imam meninggal pada Jum’at malam, 22 April 2005. Bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1426 H. Dimakamkan di Surau Gobah Tuangku Shalih, Kampuang Pondok, Lubuak Aluang, Pariaman, Sumbar.

Di KTP beliau yang pernah saya lihat, tertulis tanggal kelahiran beliau adalah 2 Februari 1957. Jika ini benar, berarti beliau meninggal dalam usia
48 tahun. Wallohu a’lam.

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...