Monday 26 June 2017

Membongkar Kesesatan Seorang Tokoh (Publik Figur) Bukanlah Ghibah Yang Diharamkan



Ketika seorang tokoh atau publik figur dikritik pedas di media sosial, sontak para pendukung tokoh tersebut tersulut. Mereka berusaha membela sang tokoh dengan berbagai alasan agar si tokoh tidak disalahkan.

Bahkan di antara mereka ada yang bersikap sok wara’ (sok suci) dan sok menasehati dengan berkata: “Sudahlah jangan dibahas di sini. Tak baik kita melakukan ghibah (bergunjing). Ghibah itu hukumnya haram”.

Benarkah memberitahukan kesesatan/kejahatan seorang tokoh atau publik figur kepada seseorang atau masyarakat luas itu hukumnya haram alias ghibah yang terlarang?

Jawabannya adalah: TIDAK BENAR!

Memberitahukan kesesatan/kejahatan seorang tokoh atau publik figur (apakah itu pemimpin, artis, ulama yang su’, atau lain sebagainya) kepada masyarakat luas dengan tujuan agar masyarakat luas tidak terpengaruh oleh kejahatan atau kesesatannya itu, adalah bukan ghibah (bergunjing) yang terlarang. Itu adalah ghibah yang diperbolehkan, bahkan bisa jadi malah dianjurkan (jika akibat kesesatan atau kejahatan dari si tokoh itu tergolong amat fatal atau besar bagi umat/masyarakat luas).

Rasulullah saw bersabda:
“Apakah kalian merasa waro’ dengan tidak menuturkan (kejahatan) orang yang jahat itu padahal sudah diketahui orang banyak? Sebutkanlah kejahatan orang jahat itu agar manusia menjauhinya” (As-Suyuthi, Al-Jami’us Shaghir hal.8, lihat juga Faidul Qadir, Al-Munawi).

Imam Syu’bah menyatakan:
“Mengadukan dan memberi peringatan akan kejahatan (kesesatan) seseorang bukanlah ghibah” (Kasyfil Khafa’, Al-Hafizh Al-Ajluniy, juz 2, hal 172).

Berkaitan jika yang sesat adalah seorang ulama atau seorang yang dipandang alim, ada sebuah hadits yang memperingatkan:

Dari sahabat Amr bin Auf radhiyallaahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اتَّقُوا زَلَّةَ الْعَالِمِ ، وَانْتَظِرُوا فَيْئَتَهُ
“Takutlah kalian terhadap kesalahan orang yang alim, dan tunggulah kembalinya”
(Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil juz 6 hlm 60, al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [20706], dan al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus [308])

Sebuah pepatah Arab tentang hal ini mengatakan:
زلة العَالِـمُ زلة العَالَـمُ
“Tergelincirnya orang alim (yang ditokohkan) adalah tergelincirnya alam (umat)”

Ini adalah pepatah yang benar dan terbukti kebenarannya. Ketika seseorang yang dinilai alim oleh masyarakat luas mengeluarkan sebuah pendapat atau pemikiran yang salah, maka orang awam menjadi terpengaruh dan mengikuti kesesatannya. Maka demi menghindarkan kesesatan ini menjalar lebih luas atau jauh, tidak ada jalan lain kecuali memang harus dengan membongkar kesesatan si alim itu kepada khalayak ramai sebatas yang diperlukan.

Selain itu, mengungkapkan kesalahan seorang tokoh yang fasik (suka berbuat dosa/durhaka kepada Allah) itu kadangkala menjadi penting agar orang banyak tidak memuja-muja tokoh tersebut. Sebab memuja-muja seorang yang fasik adalah hal yang dimurkai oleh Allah.

Di dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan Sahabat Anas ra dikatakan:

“Ketika orang fasik dipuja-puja, maka Allah akan murka” (HR. Abu Ya’la dan Ibnu Abid Dunya) [Fathul Bari 10/478]

Imam Al-Qurtubi berkata sebagaimana yang dikutip Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani:
“Hadits di atas menunjukkan bolehnya meng-ghibah orang fasik yang terang-terangan menampakkan kefasikan dan keburukannya serta hal-hal lain seperti menyelewengkan hukum dan mengajak orang lain mengerjakan bid’ah (maksudnya bid’ah yang jelek-Pen)” (Fathul Bari, Juz 10, hal 454)

Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata:
“Tiga orang yang jika disebut-sebut keburukannya tidak dihukumi ghibah: pemimpin yang jahat, orang fasik yang terang-terangan menampakkan kefasikannya, dan ahli bid’ah (maksudnya bid’ah yang jelek-Pen) yang mengajak orang lain mengikuti bid’ah nya”

Zaid bin Aslam berkata:
“Ghibah hanya (dibolehkan) bagi orang yang terang-terangan melakukan kemaksiatan”

Namun demikian kebolehan ini tentunya tidak secara mutlak. Artinya,  ada syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika melakukannya seperti tidak boleh berlebih-lebihan (harus sekedar yang diperlukan saja), bukan semata-mata karena ingin bergunjing,  tetap berupaya memilih kata-kata yang diucapkan (sebisa mungkin menghindari kata-kata kotor dan keji yang tidak diperlukan), niat lillahi Ta’ala demi menyelamatkan umat, dan lain sebagainya.

Mari berhati-hati terhadap pemimpin yang jahat (tidak amanah atau lain sebagainya). Artis-artis yang mengajak kepada kemaksiatan. Ulama-ulama yang pemikiran dan pemahamannya sudah rusak/tidak benar (tokoh-tokoh Liberal, Wahabi, atau Syi’ah yang sesat), dan publik-publik figur lainnya yang akan membawa kita kepada kemungkaran atau kesesatan.

Walhamdulillahi Robbil ‘alamin. (Maltusiro/Media Muslim) - 27 Juni 2017

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...