Sunday 27 November 2016

Kenapa Saya Menolak Wahabi (3)



Kelompok Wahabi sering melontarkan tuduhan bid'ah, sesat, syirik, atau kafir kepada orang lain

Siapakah Muhammad bin Abdul Wahhab?

Kata “Wahabi” disandarkan kepada seseorang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab (dilahirkan pada tahun 1115 H atau 1701 M di Najd). Pada masa hidupnya, tidak ada ulama yang mengakui kualitas keilmuan Muhammad ibn Abdul Wahhab, artinya dia tidak diakui berkapasitas sebagai ulama oleh para ulama lainnya.  Namun, dengan kekurangan ilmunya itu, dia lancang mengeluarkan pendapat-pendapat sendiri di bidang agama yang berbeda dengan pemahaman para ulama sebelumnya sehingga akhirnya dia terjebak pada penyimpangan dan kesesatan di bidang agama.


Syekh Ahmad Zaini Dahlan mufti Makkah pada akhir era kesultanan Utsmaniyah dalam kitab Tarikh-nya pada pasal tentang Fitnah al Wahabiyah mengatakan: “Pada mulanya Muhammad ibn Abdul Wahhab adalah seorang pelajar di kota Madinah al Munawwarah. Ayahnya seorang muslim yang shalih dan alim, demikian juga saudaranya, Syekh Sulaiman.”

Seorang Mufti Makkah, Muhammad ibn Muhammad ibn Abdullah al Najdi mengatakan bahwa Muhammad ibn Abdul Wahhab dahulu dimarahi oleh ayahnya karena dia (Muhammad ibn Abdul Wahhab) tidak memperhatikan fiqih. Artinya, dia bukanlah ahli fiqih dan juga bukan ahli hadits. Tidak seorang ulama pun yang hidup pada abad 12 H yang menulis biografi Muhammad ibn Abdul Wahhab mengatakan bahwa ia adalah ahli fiqih atau ahli hadits.

Syekh Zaini Dahlan mengatakan: banyak guru Ibn Abdul Wahhab di Madinah yang berkata: “Orang ini akan sesat atau Allah akan menyesatkan dengannya orang yang terlaknat dan celaka”.

Ayah, saudara dan para gurunya telah berfirasat buruk pada Muhammad ibn Abdul Wahhab, karena mereka sering menyaksikan perkataan, perbuatan dan penyimpangannya dalam banyak masalah. Mereka memandangnya tidak baik dan mengingatkan masyarakat dari penyimpangan Muhammad ibn Abdul Wahhab. Allah menunjukkan kebenaran firasat mereka ketika dia (Muhammad ibn Abdul Wahhab) melakukan bid’ah yang sesat dan menyesatkan kaum awam dan bertentangan dengan para ulama agama.

Di antara bid’ah yang telah dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah:
1. Mengkafirkan umat Islam yang ziarah ke makam Nabi saw.
2. Mengkafirkan umat Islam yang tawassul dengan para nabi, para wali dan orang-orang shalih.
3. Mengkafirkan umat Islam yang ziarah ke makam orang-orang shalih untuk bertabarruk.
4. Mengkafirkan orang yang mengatakan: “obat ini bermanfaat bagiku”, meskipun maksud orang tersebut adalah kiasan.

Para ulama pada masanya, termasuk ayah dan saudaranya sendiri (yang bernama syekh Sulaiman), telah “mentahdzir”  (mengingatkan kesesatan) Muhammad bin Abdul Wahab dan menjelaskan penyimpangan dan kesesatannya itu. Saudaranya mengarang dua risalah dalam membantah Muhammad ibn Abdul Wahhab: yang pertama berjudul “Fashl al Khithab fi al raddi ‘ala Muhammad ibn Abdul Wahhab” , dan yang kedua berjudul “al Shawa’iq al-Ilahiyah fi al Raddi ‘ala al Wahabiyah”. Para gurunya juga ikut mentahdzir (mengingatkan kesesatan) dia seperti syekh Muhammad ibn Sulaiman al Kurdi dalam kitabnya al Fatawa. Di antara kalimat-kalimat bantahannya, sang guru berkata: “Wahai Ibn Abdul wahhab, aku menasehatimu agar kamu diam dan jangan menyesatkan umat Islam”.

Namun, meski telah dibantah oleh banyak ulama di masanya, Muhammad bin Abdul Wahab tetap merasa benar dan menyebarkan pemahaman-pemahamannya itu. Dengan pemahaman bid’ah dan tauhidnya yang keliru, dia telah menganggap sesat dan kafir sekian banyak kaum muslimin. Yang parahnya, tidak sampai di situ, dia juga memerintahkan para pengikutnya untuk memerangi dan membunuh orang-orang Islam yang telah dia anggap sesat dan kafir itu. Mereka menganggap hal itu sebagai jihad dan berpahala besar.

Muhammad ibn Abdul Wahhahab berkata:
“Barang siapa yang masuk dalam dakwah kita, maka baginya hak sebagaimana hak kita, dan barang siapa yang tidak masuk dalam dakwah kita, maka dia kafir, halal darah dan hartanya”.
(Muhammad ibn Abdul Wahhab, Kasyfu al Syubuhat, [Saudi Arabia: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam], hal. 7)

Dia juga berkata:
“Sesungguhnya aku mengajak kalian pada tauhid dan meninggalkan syirik pada Allah. Semua orang yang berada di bawah langit yang tujuh seluruhnya musyrik secara mutlak, sedangkan orang yang membunuh seorang musyrik maka ia akan mendapatkan surga”.
(lihat al Duraru al Sunniyah fi al Raddi ‘ala al-Wahhabiyah , karya Syeikh Ahmad Zaini Dahlan [Kairo: Musthafa al Babi al-Halabi], hal.46)

Sejarah telah membuktikan pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Di antara bukti sejarah itu adalah mereka menyerbu Yordania bagian timur dan menyembelih orang-orang di sana yang mereka temui sehingga total korban berjumlah 2750 orang. Perang ini dikenal dengan sebutan perang al Khuya (Koran al Shafa, terbitan 12 Juni 1934 edisi 906).

Muhammad ibn Abdul Wahhab mengklaim bahwa madzhab barunya dibuat untuk memurnikan tauhid dan membebaskan manusia dari kesyirikan. Dia katakan manusia dalam kemusyrikan sejak 600 tahun dan dia datang untuk memperbaharui agama mereka.

Dengan klaimnya itu, para pengikut Wahabi merasa benar untuk memerangi dan membunuh banyak kaum muslimin yang telah mereka anggap sesat atau musyrik. Mereka merasa benar menghancurkan makam-makam para sahabat, para ulama, dan orang-orang salih yang banyak diziarahi oleh manusia. Mereka anggap bid’ah atau syirik sekian banyak amal saleh umat Islam.

Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah pemahaman Islam merekalah yang telah keliru dan sesat. Bukan sinar matahari yang kelam, wahai Wahabi, tapi mata kalianlah yang terhalang oleh sebuah kacamata hitam yang berdebu. Tanggalkanlah kacamata itu, maka akan kalian lihat bahwa sesungguhnya sinar matahari itu amatlah terang benderang.

Bukan wajah-wajah kaum muslimin yang gelap wahai Wahabi, tapi kacamata hitam kalian itulah penyebabnya. Tanggalkanlah kacamata hitam itu, maka akan kalian dapati bahwa wajah-wajah kaum muslimin itu sesungguhnya bersih penuh cahaya.

Dengan kata lain, secara gampangnya, bukan kaum muslimin yang mengadakan maulid Nabi itu yang bid’ah. Tapi kaum Wahabi lah yang telah keliru pemahaman bid’ahnya. Bukan orang yang ziarah ke makam Nabi saw yang syirik, tapi pemahaman syirik versi Wahabi lah yang telah salah.

Seiring bergulirnya waktu, pemahaman Wahabi yang keliru itu terus saja mengalir dan ada pengikutnya. Orang-orang awam yang tidak pernah mempelajari betul kitab-kitab para ulama terdahulu dan aneka disiplin ilmu keagamaan seperti ushul fiqh dan lain-lain akan amat mudah sekali terbawa oleh kelompok ini. Mereka terkagum-kagum karena kelompok Wahabi ini selalu menyertakan ayat atau hadits dalam setiap pendapat-pendapatnya, seakan-akan kelompok ini betul-betul berpegang teguh kepada Alquran dan sunnah. Padahal, mereka (orang-orang awam itu) tidak tahu bahwa seringkali ayat atau hadits itu digunakan atau ditafsirkan secara sepihak saja oleh kelompok Wahabi. Mereka seringkali tidak memperdulikan bagaimana pendapat para ulama terdahulu tentang maksud dari ayat atau hadits tersebut. Mereka memahaminya sesuai dengan akal pikiran sendiri saja atau ayat dan hadits tersebut digunakan secara tidak pada tempatnya.

Mereka sering mencampur-baurkan yang hak dengan yang batil, tapi hanya orang-orang berilmu sajalah yang dapat mengetahui di mana letak campur-baurnya pemahaman Wahabi tersebut.  

Pentolan-pentolan ulama wahabi yang dapat kita sebutkan di sini antara lain adalah: Abdullah bin Baz, Nashiruddin Al-Albani, Shalih Ibn Fauzan,  dan lain-lain. Mereka biasanya amat mengagumi pendapat-pendapat Ibnu Taimiyyah.

Ciri pemahaman kelompok Wahabi yang paling utama setidaknya ada tiga:
1.) Tidak menerima adanya bid’ah hasanah; kalau pun menerima, itu hanya pengelabuan saja, karena mereka tetap saja mendefinisikan bid’ah tersebut sesuai dengan pemahaman mereka yang menyalahi pendapat mayoritas ulama. Contoh konkretnya, mereka tetap saja tidak membenarkan acara Maulid Nabi saw padahal para ulama Ahlus Sunnah membenarkan Maulid Nabi.
2.) Menganggap syirik terhadap ziarah kubur, tawassul, tabarruk dengan benda-benda orang saleh, dll. Banyak sekali hal yang mereka anggap syirik padahal para ulama terdahulu tidak menganggap seperti itu.
3.) Menolak sama sekali hadits dho’if, padahal para ulama terdahulu tidak seperti itu. Para ulama terdahulu tetap menerima hadits dho’if, hanya saja mereka menempatkan hadits-hadits tersebut sesuai dengan tempatnya masing-masing.


Mereka bisa saja berganti nama menjadi Salafi dan lain-lain, atau mengaku-ngaku sebagai Ahlus Sunnah Waljama’ah, tapi kalau 3 ciri di atas itu ada pada mereka, sesungguhnya mereka adalah Wahabi. Ahlus Sunnah Waljama’ah yang sebenarnya, tidak memiliki tiga ciri di atas.    

Semakin saya mempelajari pendapat-pendapat keagamaan orang-orang Wahabi yang berbeda dengan pendapat para ulama Ahlussunah yang terdahulu, semakin saya menyadari dan setuju dengan ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang dibawa oleh kelompok Wahabi bukanlah Islam. Yang mereka bawa sesungguhnya adalah agama baru, karena banyak sekali hal-hal fundamental dan mendasar dari ajaran Islam ini yang mereka pahami secara berbeda dengan para ulama terdahulu. Mereka telah membikin pemahaman tersendiri. Mereka telah membuat agama tersendiri. Sebuah agama yang tetap memakai Alquran dan hadits, tapi Alquran dan hadits yang telah dipahami dan diperlakukan secara berbeda jika dibandingkan dengan pemahaman para ulama sebelumnya. Masih layakkah kelompok ini diikuti? Semoga Allah selalu menjauhkan kita dari kesesatan. (Media Muslim)

Rujukan Utama: Buku Radikalisme Sekte Wahabiyah karya Syekh Fathi Al Mishri Al Azhari.

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...