Pengertian Bid’ah
Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada
contoh sebelumnya”.
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ
الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak
terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam
hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn
al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ
لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ
البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا
إِلَى الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau
Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara
bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dolalah. Disebut pula dengan Bid’ah
Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan
Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan
Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan
dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ :
أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا
أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا
أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ
مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi
menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa
ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah
bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an,
Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”.
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib
asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, Jilid 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ
وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا
خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah
yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan
bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh
Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini
disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat
madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di
antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam,
an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari
kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir,
al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain.
Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi,
az-Zabidi dan lainnya.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath
al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا
تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ
مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang
hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru
tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk
bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk
bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami
antara lain dari sabda Rasulullah saw berikut:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ
فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa berbuat sesuatu
yang baru dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia
tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa
Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak
adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak
bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Setiap ilmu itu ada ahlinya. Dan ahlinya ilmu agama
itu adalah para ulama. Jadi kalau mau mendapat pemahaman yang benar dalam
masalah agama, jangan buat pemahaman sendiri. Bisa kacau agama ini kalau semua
orang dibolehkan untuk membuat pemahaman sendiri-sendiri.
Kalau ada ayat atau hadits, lihat dulu, bagaimana
penjelasan para ulama tentangnya. Termasuk tentang masalah bid’ah. Para ulama
sudah memberikan penjelasan tentang hal itu. Dan mereka bukan sembarangan
ulama, melainkan ulama yang teruji kualitas keilmuan dan ketaqwaannya kepada
Allah.
Siapa yang tidak kenal dengan Imam Syafi’i, Imam
An-Nawawi, Imam Ibnu Hajar dan lain-lain itu? Mereka telah menerangkan bahwa
bid’ah itu terbagi dua: ada yang baik dan ada yang buruk. Bid’ah yang baik itu
dibolehkan dan bahkan bisa berpahala. Sedangkan bid’ah yang buruk, itulah
bid’ah yang sesat yang diancam dengan neraka (itu pun kalau keburukannya sampai
ke tingkat haram, karena ada juga, menurut ulama, bid’ah buruk yang hukumnya
makruh).
Kalau dikatakan bahwa ajaran Islam itu sudah sempurna,
sehingga tidak perlu ditambah-tambah, maka pemahaman yang benar (berdasarkan
banyak dalil dan pembahasan para ulama) adalah bahwa “adanya dan dibolehkannya
bid’ah yang hasanah itu adalah bagian dari kesempurnaan Islam itu sendiri”.
Saya ulangi, “Adanya dan dibolehkannya bid’ah yang
hasanah itu adalah bagian dari kesempurnaan Islam itu sendiri”.
Umar bin Khattab mengumpulkan semua jama’ah salat
Tarawih dalam satu imam. Kemudian beliau berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah
ini” (HR. Bukhari)
Abdullah ibn ‘Umar menganggap shalat Duha itu bid’ah,
karena—menurut dia—Rasulullah tidak pernah melakukannya. Meski demikian, ia
mengakui bahwa itu adalah bid’ah yang baik sehingga tidak boleh dilarang.
Faedah yang harus dicamkan adalah bahwa para sahabat
mengakui adanya dan dibolehkannya bid’ah yang baik.
Berikut ini ucapan Abdullah ibn Umar tentang shalat
Duha:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا
أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal
itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR.
Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang shalat Duha ini sahabat
‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah
sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat tentang ucapan Abdullah bin Umar
tersebut dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan
sanad yang shahih.
Lalu bagaimana dengan hadits yang mengatakan:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
“Setiap bid’ah itu sesat” (HR. Abu Dawud)
Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim
menerangkan bahwa hadits tersebut adalah bersifat 'Amm Makhshush;
artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan (diberikan pengecualian) kepada sebagian maknanya. Sehingga maksud
hadits tersebut adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak
semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j.
6, hlm. 154).
Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah
aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang
telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa
dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn
al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (shalat Tarawih
berjama’ah di masjid dengan satu imam) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Kenapa hadits tersebut oleh Imam Nawawi dinilai
sebagai hadits umum yang telah dikhususkan atau diberikan pengecualian? Karena adanya dalil, bahkan banyak
dalil, yang jelas-jelas menunjukkan dibolehkannya bid’ah yang baik. Di
antaranya adalah dalil-dalil yang telah disebutkan di atas tadi, yaitu:
1.
Sabda
Rasulullah saw:
“Barang siapa berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at
ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
2.
Ucapan
Umar bin Khattab: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” (HR. Bukhari)
3.
Ucapan-ucapan
Abdullah bin Umar tentang salat Duha di atas
4.
Dan
masih banyak lagi.
Marilah kita beragama Islam secara benar. Agar benar,
ikutilah pendapat para ulama, karena merekalah yang mengerti tentang
seluk-beluk agama ini. Merekalah ahlinya di bidang ilmu agama.
Adanya kelompok yang menganggap bahwa semua bid’ah itu
sesat tanpa pengecualian sehingga sering menganggap sesat kelompok lain dengan
alasan bid’ah tersebut adalah gambaran dari kacaunya pemahaman Islam mereka
karena tidak mau memperhatikan dan menerima pendapat dari para ulama terdahulu (ulama salaf) yang sudah teruji kualitas keilmuan dan ketaqwaannya kepada Allah swt.
Quote Super:
“Kalau dikatakan bahwa ajaran Islam itu sudah
sempurna,
maka adanya dan dibolehkannya bid’ah yang hasanah itu
sesungguhnya
adalah bagian dari kesempurnaan Islam itu sendiri”
“Setiap ilmu itu ada ahlinya.
Dan ahlinya ilmu agama itu adalah para ulama.
Kalau mau benar pemahaman agama kita,
maka perhatikanlah pendapat para ulama”
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...