Thursday, 17 November 2016

Risalah Ringkas Tentang Bid’ah



Ucapan Pak Guru benar, tapi pemahaman si murid yang salah. Akhirnya jadi begitu. Maka demikian pula sebagian manusia terhadap hadits Nabi saw. Ucapan Nabi benar, tapi karena pemahaman orang tersebut yang salah, akhirnya jadi kacau. Banyak orang yang dianggap sesat olehnya.



Pengertian Bid’ah

Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:

مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.

Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:

اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.

“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)

Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:

لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.

“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara
bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.

Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:

Pertama: Bid’ah Dolalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.

 Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

 Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, Jilid 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami antara lain dari sabda Rasulullah saw berikut:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)

“Barang siapa berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.

Setiap ilmu itu ada ahlinya. Dan ahlinya ilmu agama itu adalah para ulama. Jadi kalau mau mendapat pemahaman yang benar dalam masalah agama, jangan buat pemahaman sendiri. Bisa kacau agama ini kalau semua orang dibolehkan untuk membuat pemahaman sendiri-sendiri.

Kalau ada ayat atau hadits, lihat dulu, bagaimana penjelasan para ulama tentangnya. Termasuk tentang masalah bid’ah. Para ulama sudah memberikan penjelasan tentang hal itu. Dan mereka bukan sembarangan ulama, melainkan ulama yang teruji kualitas keilmuan dan ketaqwaannya kepada Allah.

Siapa yang tidak kenal dengan Imam Syafi’i, Imam An-Nawawi, Imam Ibnu Hajar dan lain-lain itu? Mereka telah menerangkan bahwa bid’ah itu terbagi dua: ada yang baik dan ada yang buruk. Bid’ah yang baik itu dibolehkan dan bahkan bisa berpahala. Sedangkan bid’ah yang buruk, itulah bid’ah yang sesat yang diancam dengan neraka (itu pun kalau keburukannya sampai ke tingkat haram, karena ada juga, menurut ulama, bid’ah buruk yang hukumnya makruh).

Kalau dikatakan bahwa ajaran Islam itu sudah sempurna, sehingga tidak perlu ditambah-tambah, maka pemahaman yang benar (berdasarkan banyak dalil dan pembahasan para ulama) adalah bahwa “adanya dan dibolehkannya bid’ah yang hasanah itu adalah bagian dari kesempurnaan Islam itu sendiri”.

Saya ulangi, “Adanya dan dibolehkannya bid’ah yang hasanah itu adalah bagian dari kesempurnaan Islam itu sendiri”.

Umar bin Khattab mengumpulkan semua jama’ah salat Tarawih dalam satu imam. Kemudian beliau berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” (HR. Bukhari)

Abdullah ibn ‘Umar menganggap shalat Duha itu bid’ah, karena—menurut dia—Rasulullah tidak pernah melakukannya. Meski demikian, ia mengakui bahwa itu adalah bid’ah yang baik sehingga tidak boleh dilarang.

Faedah yang harus dicamkan adalah bahwa para sahabat mengakui adanya dan dibolehkannya bid’ah yang baik.

Berikut ini ucapan Abdullah ibn Umar tentang shalat Duha:

إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)

Dalam riwayat lain, tentang shalat Duha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan: 
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)
 “Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)

Riwayat-riwayat tentang ucapan Abdullah bin Umar tersebut dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.

Lalu bagaimana dengan hadits yang mengatakan:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
“Setiap bid’ah itu sesat” (HR. Abu Dawud)

Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menerangkan bahwa hadits tersebut adalah bersifat 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan (diberikan pengecualian) kepada sebagian maknanya. Sehingga maksud hadits tersebut adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).

Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (shalat Tarawih berjama’ah di masjid dengan satu imam) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.

Kenapa hadits tersebut oleh Imam Nawawi dinilai sebagai hadits umum yang telah dikhususkan atau diberikan pengecualian? Karena adanya dalil, bahkan banyak dalil, yang jelas-jelas menunjukkan dibolehkannya bid’ah yang baik. Di antaranya adalah dalil-dalil yang telah disebutkan di atas tadi, yaitu:

1.                 Sabda Rasulullah saw:

“Barang siapa berbuat sesuatu yang baru dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

2.                 Ucapan Umar bin Khattab: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” (HR. Bukhari)
3.                 Ucapan-ucapan Abdullah bin Umar tentang salat Duha di atas
4.                 Dan masih banyak lagi.

Marilah kita beragama Islam secara benar. Agar benar, ikutilah pendapat para ulama, karena merekalah yang mengerti tentang seluk-beluk agama ini. Merekalah ahlinya di bidang ilmu agama.

Adanya kelompok yang menganggap bahwa semua bid’ah itu sesat tanpa pengecualian sehingga sering menganggap sesat kelompok lain dengan alasan bid’ah tersebut adalah gambaran dari kacaunya pemahaman Islam mereka karena tidak mau memperhatikan dan menerima pendapat dari para ulama terdahulu (ulama salaf) yang sudah teruji kualitas keilmuan dan ketaqwaannya kepada Allah swt.

Quote Super:

“Kalau dikatakan bahwa ajaran Islam itu sudah sempurna,
maka adanya dan dibolehkannya bid’ah yang hasanah itu
 sesungguhnya adalah bagian dari kesempurnaan Islam itu sendiri”

“Setiap ilmu itu ada ahlinya.
Dan ahlinya ilmu agama itu adalah para ulama.
Kalau mau benar pemahaman agama kita,
maka perhatikanlah pendapat para ulama”

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...