Siapakah
Muhammad bin Abdul Wahhab?
Kata
“Wahabi” disandarkan kepada seseorang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab
(dilahirkan pada tahun 1115 H atau 1701 M di Najd). Pada masa hidupnya,
tidak ada ulama yang mengakui kualitas keilmuan Muhammad ibn Abdul Wahhab,
artinya dia tidak diakui berkapasitas sebagai ulama oleh para ulama
lainnya. Namun, dengan kekurangan
ilmunya itu, dia lancang mengeluarkan pendapat-pendapat sendiri di bidang agama
yang berbeda dengan pemahaman para ulama sebelumnya sehingga akhirnya dia terjebak
pada penyimpangan dan kesesatan di bidang agama.
Syekh
Ahmad Zaini Dahlan mufti Makkah pada akhir era kesultanan Utsmaniyah dalam
kitab Tarikh-nya pada pasal tentang Fitnah
al Wahabiyah mengatakan: “Pada mulanya Muhammad
ibn Abdul Wahhab adalah seorang pelajar di kota Madinah al Munawwarah. Ayahnya
seorang muslim yang shalih dan alim, demikian juga saudaranya, Syekh Sulaiman.”
Seorang
Mufti Makkah, Muhammad ibn Muhammad ibn Abdullah al Najdi mengatakan bahwa Muhammad
ibn Abdul Wahhab dahulu dimarahi oleh ayahnya karena dia (Muhammad ibn Abdul
Wahhab) tidak memperhatikan fiqih. Artinya, dia bukanlah ahli fiqih dan juga
bukan ahli hadits. Tidak seorang ulama pun yang hidup pada abad 12 H yang menulis
biografi Muhammad ibn Abdul Wahhab mengatakan bahwa ia adalah ahli fiqih atau
ahli hadits.
Syekh
Zaini Dahlan mengatakan: banyak guru Ibn Abdul Wahhab di Madinah yang berkata: “Orang
ini akan sesat atau Allah akan menyesatkan dengannya orang yang terlaknat dan
celaka”.
Ayah,
saudara dan para gurunya telah berfirasat buruk pada Muhammad ibn Abdul Wahhab,
karena mereka sering menyaksikan perkataan, perbuatan dan penyimpangannya dalam
banyak masalah. Mereka memandangnya tidak baik dan mengingatkan masyarakat dari
penyimpangan Muhammad ibn Abdul Wahhab. Allah menunjukkan kebenaran firasat
mereka ketika dia (Muhammad ibn Abdul Wahhab) melakukan bid’ah yang sesat dan
menyesatkan kaum awam dan bertentangan dengan para ulama agama.
Di
antara bid’ah yang telah dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah:
1.
Mengkafirkan umat Islam yang ziarah ke makam Nabi saw.
2.
Mengkafirkan umat Islam yang tawassul
dengan para nabi, para wali dan orang-orang shalih.
3.
Mengkafirkan umat Islam yang ziarah ke makam orang-orang shalih untuk bertabarruk.
4. Mengkafirkan orang yang mengatakan: “obat ini bermanfaat bagiku”, meskipun maksud
orang tersebut adalah kiasan.
Para
ulama pada masanya, termasuk ayah dan saudaranya sendiri (yang bernama syekh
Sulaiman), telah “mentahdzir” (mengingatkan
kesesatan) Muhammad bin Abdul Wahab dan menjelaskan penyimpangan dan
kesesatannya itu. Saudaranya mengarang dua risalah dalam membantah Muhammad ibn
Abdul Wahhab: yang pertama berjudul “Fashl
al Khithab fi al raddi ‘ala Muhammad ibn Abdul Wahhab” , dan yang kedua berjudul “al
Shawa’iq al-Ilahiyah fi al Raddi ‘ala al Wahabiyah”. Para gurunya juga ikut mentahdzir
(mengingatkan kesesatan) dia seperti syekh Muhammad ibn
Sulaiman al Kurdi dalam kitabnya al
Fatawa. Di antara kalimat-kalimat bantahannya,
sang guru berkata: “Wahai Ibn Abdul wahhab, aku menasehatimu
agar kamu diam dan jangan menyesatkan umat Islam”.
Namun,
meski telah dibantah oleh banyak ulama di masanya, Muhammad bin Abdul Wahab
tetap merasa benar dan menyebarkan pemahaman-pemahamannya itu. Dengan pemahaman
bid’ah dan tauhidnya yang keliru, dia telah menganggap sesat dan kafir sekian
banyak kaum muslimin. Yang parahnya, tidak sampai di situ, dia juga
memerintahkan para pengikutnya untuk memerangi dan membunuh orang-orang Islam
yang telah dia anggap sesat dan kafir itu. Mereka menganggap hal itu sebagai
jihad dan berpahala besar.
Muhammad
ibn Abdul Wahhahab berkata:
“Barang
siapa yang masuk dalam dakwah kita, maka baginya hak sebagaimana hak kita, dan
barang siapa yang tidak masuk dalam dakwah kita, maka dia kafir, halal darah
dan hartanya”.
(Muhammad
ibn Abdul Wahhab, Kasyfu al Syubuhat, [Saudi Arabia: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam], hal. 7)
Dia
juga berkata:
“Sesungguhnya
aku mengajak kalian pada tauhid dan meninggalkan syirik pada Allah. Semua orang
yang berada di bawah langit yang tujuh seluruhnya musyrik secara mutlak,
sedangkan orang yang membunuh seorang musyrik maka ia akan mendapatkan surga”.
(lihat
al Duraru al Sunniyah fi al Raddi ‘ala al-Wahhabiyah , karya Syeikh Ahmad Zaini Dahlan [Kairo: Musthafa al Babi
al-Halabi], hal.46)
Sejarah
telah membuktikan pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Di antara
bukti sejarah itu adalah mereka menyerbu Yordania bagian timur dan menyembelih
orang-orang di sana yang mereka temui sehingga total korban berjumlah 2750
orang. Perang ini dikenal dengan sebutan perang al Khuya (Koran al Shafa,
terbitan 12 Juni 1934 edisi 906).
Muhammad
ibn Abdul Wahhab mengklaim bahwa madzhab barunya dibuat untuk memurnikan tauhid
dan membebaskan manusia dari kesyirikan. Dia katakan manusia dalam kemusyrikan
sejak 600 tahun dan dia datang untuk memperbaharui agama mereka.
Dengan
klaimnya itu, para pengikut Wahabi merasa benar untuk memerangi dan membunuh
banyak kaum muslimin yang telah mereka anggap sesat atau musyrik. Mereka merasa
benar menghancurkan makam-makam para sahabat, para ulama, dan orang-orang salih
yang banyak diziarahi oleh manusia. Mereka anggap bid’ah atau syirik sekian
banyak amal saleh umat Islam.
Padahal
yang terjadi sesungguhnya adalah pemahaman Islam merekalah yang telah keliru
dan sesat. Bukan sinar matahari yang kelam, wahai Wahabi, tapi mata kalianlah
yang terhalang oleh sebuah kacamata hitam yang berdebu. Tanggalkanlah kacamata
itu, maka akan kalian lihat bahwa sesungguhnya sinar matahari itu amatlah
terang benderang.
Bukan
wajah-wajah kaum muslimin yang gelap wahai Wahabi, tapi kacamata hitam kalian
itulah penyebabnya. Tanggalkanlah kacamata hitam itu, maka akan kalian dapati
bahwa wajah-wajah kaum muslimin itu sesungguhnya bersih penuh cahaya.
Dengan
kata lain, secara gampangnya, bukan kaum muslimin yang mengadakan maulid Nabi
itu yang bid’ah. Tapi kaum Wahabi lah yang telah keliru pemahaman bid’ahnya.
Bukan orang yang ziarah ke makam Nabi saw yang syirik, tapi pemahaman syirik
versi Wahabi lah yang telah salah.
Seiring
bergulirnya waktu, pemahaman Wahabi yang keliru itu terus saja mengalir dan ada
pengikutnya. Orang-orang awam yang tidak pernah mempelajari betul kitab-kitab
para ulama terdahulu dan aneka disiplin ilmu keagamaan seperti ushul fiqh dan
lain-lain akan amat mudah sekali terbawa oleh kelompok ini. Mereka
terkagum-kagum karena kelompok Wahabi ini selalu menyertakan ayat atau hadits
dalam setiap pendapat-pendapatnya, seakan-akan kelompok ini betul-betul berpegang
teguh kepada Alquran dan sunnah. Padahal, mereka (orang-orang awam itu) tidak tahu
bahwa seringkali ayat atau hadits itu digunakan atau ditafsirkan secara sepihak
saja oleh kelompok Wahabi. Mereka seringkali tidak memperdulikan bagaimana
pendapat para ulama terdahulu tentang maksud dari ayat atau hadits tersebut. Mereka
memahaminya sesuai dengan akal pikiran sendiri saja atau ayat dan hadits
tersebut digunakan secara tidak pada tempatnya.
Mereka
sering mencampur-baurkan yang hak dengan yang batil, tapi hanya orang-orang berilmu
sajalah yang dapat mengetahui di mana letak campur-baurnya pemahaman Wahabi
tersebut.
Pentolan-pentolan
ulama wahabi yang dapat kita sebutkan di sini antara lain adalah: Abdullah bin
Baz, Nashiruddin Al-Albani, Shalih Ibn Fauzan, dan lain-lain. Mereka biasanya amat mengagumi
pendapat-pendapat Ibnu Taimiyyah.
Ciri
pemahaman kelompok Wahabi yang paling utama setidaknya ada tiga:
1.) Tidak menerima adanya bid’ah hasanah; kalau pun menerima, itu
hanya pengelabuan saja, karena mereka tetap saja mendefinisikan bid’ah tersebut
sesuai dengan pemahaman mereka yang menyalahi pendapat mayoritas ulama. Contoh
konkretnya, mereka tetap saja tidak membenarkan acara Maulid Nabi saw padahal
para ulama Ahlus Sunnah membenarkan Maulid Nabi.
2.) Menganggap syirik terhadap ziarah kubur, tawassul, tabarruk
dengan benda-benda orang saleh, dll. Banyak sekali hal yang mereka anggap
syirik padahal para ulama terdahulu tidak menganggap seperti itu.
3.) Menolak sama sekali hadits dho’if, padahal para ulama terdahulu
tidak seperti itu. Para ulama terdahulu tetap menerima hadits dho’if, hanya
saja mereka menempatkan hadits-hadits tersebut sesuai dengan tempatnya
masing-masing.
Mereka bisa saja berganti nama menjadi Salafi dan lain-lain, atau mengaku-ngaku sebagai Ahlus Sunnah Waljama’ah, tapi kalau 3 ciri di atas itu ada pada mereka, sesungguhnya mereka adalah Wahabi. Ahlus Sunnah Waljama’ah yang sebenarnya, tidak memiliki tiga ciri di atas.
Semakin saya mempelajari pendapat-pendapat keagamaan orang-orang Wahabi yang berbeda dengan pendapat para ulama Ahlussunah yang terdahulu, semakin saya menyadari dan setuju dengan ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang dibawa oleh kelompok Wahabi bukanlah Islam. Yang mereka bawa sesungguhnya adalah agama baru, karena banyak sekali hal-hal fundamental dan mendasar dari ajaran Islam ini yang mereka pahami secara berbeda dengan para ulama terdahulu. Mereka telah membikin pemahaman tersendiri. Mereka telah membuat agama tersendiri. Sebuah agama yang tetap memakai Alquran dan hadits, tapi Alquran dan hadits yang telah dipahami dan diperlakukan secara berbeda jika dibandingkan dengan pemahaman para ulama sebelumnya. Masih layakkah kelompok ini diikuti? Semoga Allah selalu menjauhkan kita dari kesesatan. (Media Muslim)
Rujukan
Utama: Buku Radikalisme Sekte Wahabiyah karya Syekh Fathi Al Mishri Al Azhari.
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...