
Kalau kalian memang ingin kaya, cukuplah bagi
kalian dengan mengatakan bahwa Islam tidak melarang umatnya untuk mencari
kekayaan. Insya Allah, alasan itu sudah cukup dan kalian akan aman dari
kedustaan. Tapi jika ditambah-tambah alasan itu dengan mengatakan bahwa
Rasulullah saw itu kaya, TUNGGU DULU! Itu adalah masalah besar. Kalian bisa
terjerumus pada kedustaan tentang Rasulullah saw yang ancamannya adalah dijebloskan
ke neraka. Beliau saw yang mulia telah memperingatkan kita dengan sabdanya:
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah
sama dengan berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa berdusta atas namaku
dengan sengaja maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.”
(HR. Bukhari).
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas
namaku maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR.
Bukhari-Muslim).
Bukankah sumber yang lebih patut untuk
dijadikan rujukan, ketika kita berbicara tentang keadaan seseorang, adalah pengakuan
atau ucapan dari orang yang bersangkutan tentang keadaan tersebut? Jika hal itu
dirasa tidak cukup, maka bukankah sumber keterangan kedua yang lebih layak
untuk kita ambil adalah keterangan dari para saksi sejarah yang ada tentang hal
itu?
Maka ketika ingin menentukan apakah
Rasulullah saw itu kaya atau miskin, sumber rujukan yang harus kita ambil dan
kita utamakan untuk dikemukakan ke publik semestinya adalah hadits-hadits Rasulullah
saw sendiri tentang hal itu atau keterangan-keterangan dari para istri beliau
dan dari para sahabat beliau saw yang merupakan saksi mata dan saksi sejarah
terhadap keadaan beliau saw. Kenapa kita lebih mengedepankan pendapat si ini
dan si itu yang masa hidupnya saja sudah berjarak ratusan tahun dari kematian
Rasulullah saw? Jika ternyata keterangan yang diperoleh dari hadits-hadits Nabi
saw, dari para istri beliau, dan dari para sahabat beliau ternyata tidak sesuai
dengan keinginan kita, maka keterangan itu harus kita terima dengan lapang dada.
Jangan malah kita mencari pendapat si ini dan si itu yang isinya justru
bertentangan dengan hadits-hadits Nabi saw demi memuaskan imajinasi dan
keinginan pribadi kita.
Sekali lagi saya tegaskan, jika Anda
berambisi untuk kaya, maka silakan Anda mencari kekayaan. Islam tidak melarang
umatnya untuk kaya, dan cukuplah itu sebagai alasan Anda. Selebihnya, yang
penting Anda bertanggung jawab untuk mencari kekayaan itu selalu dengan jalan
yang halal dan menggunakannya juga kepada hal-hal yang halal atau diperintahkan
oleh syariat Islam.
Sedangkan tentang keadaan Nabi saw, jangan
pernah Anda tutup-tutupi. Jangan pula Anda mengada-ada demi menambah kuat
pembenaran Anda dalam mencari kekayaan. Karena keadaan Rasulullah saw adalah
rujukan bagi umat. Selalu ada hikmah besar pada sikap dan kehidupan Rasulullah
saw meskipun kadang-kala tidak berhasil diketahui atau tidak sesuai dengan
keinginan segolongan manusia.
Sekarang, marilah kita lihat di antara
keterangan-keterangan yang ada yang bersumber dari Nabi saw, dari para istri
beliau, dan dari para sahabat yang menceritakan keadaan Rasulullah saw. Setelah
itu, silakan Anda jawab sendiri apakah sebenarnya Rasulullah saw itu kaya atau
miskin.
Nu’man bin Basyir r.a. berkata, “Saya pernah
melihat Nabi saw tidak mendapatkan makanan walaupun hanya kurma yang paling
buruk untuk mengisi perutnya.” (HR. Bukhari)
Aisyah r.a.
berkata, “Keluarga Muhammad saw tidak pernah kenyang dalam dua malam
berturut-turut dengan roti gandum sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Bukhari
dan Muslim). Dalam riwayat lain dikatakan, “Keluarga Muhammad saw tidak pernah
kenyang dalam tiga malam berturut-turut dengan makanan yang terbuat dari
gandum, sejak beliau menetap di Madinah sampai meninggal dunia”.
Maksud hadits di
atas adalah: Nabi bersama keluarganya tidak pernah merasa kenyang dalam tiga
malam berturut-turut. Dengan kata lain, dalam tiga hari berturut-turut, selalu
saja ada malam di mana Rasululullah s.a.w. bersama keluarganya merasakan
kelaparan karena tidak adanya sesuatu untuk dimakan. Kalaupun ada yang dimakan,
makanan mereka biasanya hanyalah roti kasar yang terbuat dari gandum. Hal
demikian terus terjadi selama bertahun-tahun, yaitu sejak mereka tinggal di
Madinah sampai Nabi s.a.w. meninggal dunia.
Coba perhatikan. Keadaan
hidup yang seperti demikian di atas, apakah pantas untuk disebut kaya?
Keadaan hidup yang dalam tiga malam berturut-turut selalu tidak lepas dari
ancaman kelaparan, dan itu terjadi selama bertahun-tahun sampai beliau saw
meninggal dunia, dapatkah itu disebut sebagai kehidupan yang kaya?
Ibnu Abbas
berkata, “Ada kalanya Rasulullah saw dan keluarganya lapar beberapa malam
berturut-turut karena tidak mempunyai apa-apa untuk makan malam, dan roti yang
sering mereka miliki adalah roti gandum.” (HR. Tirmizi)
Aisyah r.a.
berkata kepada Urwah, “Wahai keponakanku, demi Allah kami pernah melihat hilal,
kemudian hilal, kemudian hilal. Tiga kali hilal dalam dua bulan, sedangkan di
rumah-rumah Rasulullah saw tidak ada nyala api (artinya, keluarga Nabi saw
tidak memasak sesuatu pun—pen). Saya (Urwah r.a.) bertanya, “Wahai Bibiku,
kalau demikian, apa yang Bibi makan?” Aisyah menjawab, “Dua yang hitam, yaitu
kurma dan air. Hanya saja sahabat Anshar, tetangga Rasulullah saw yang
mempunyai sapi perahan, sering mengantarkan susu sapi tersebut untuk Rasulullah
saw, maka kami meminumnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw berdoa: “Ya Allah, berilah
keluarga Muhammad rezeki yang dapat untuk menghilangkan lapar saja.” (HR.
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Anas r.a. berkata, “Rasulullah saw tidak
pernah makan dengan piring, sampai beliau meninggal dunia. Juga beliau tidak
pernah makan roti yang terbuat dari tepung sampai meninggal dunia.” (HR. Bukhari)
Anas r.a. berkata, “Sungguh saya pernah
mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada bagi keluarga Muhammad pada waktu
pagi, kecuali segantang gandum, begitu juga pada waktu sore”. Sedangkan
keluarga beliau terdiri dari sembilan rumah.” (HR. Bukhari)
Anas r.a.
berkata, “Nabi saw pernah menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan hutang
gandum. Dan saya pernah datang ke tempat Nabi saw dengan membawa roti gandum
dan minyak gajih.” (HR. Bukhari)
Aisyah r.a.
berkata, “Alas tidur Rasulullah saw terbuat dari kulit yang berisi sabut.” (HR.
Bukhari)
Aisyah r.a.
berkata, “Pada waktu Rasulullah saw wafat, baju besinya baru digadaikan kepada
orang Yahudi sebagai tanggungan dari tiga puluh gantang gandum.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Itu baru hadits
yang pendek-pendek, belum hadits yang panjang-panjang. Hadits yang
panjang-panjang sengaja tidak saya cantumkan di sini demi keefisienan artikel
ini. Yang penting kita pahami adalah bahwa amat banyak dan amat jelas hadits
yang memperlihatkan keadaan Rasulullah saw yang sedemikian itu. Kenapa kita
beralih kepada keterangan-keterangan lain yang isinya terkesan berupaya
menentang kebenaran hadits-hadits tersebut? Kenapa kita lebih memilih
keterangan lain yang kadang kala tidak jelas sumbernya dan tidak pula jelas
nilai kebenarannya?
Kalaupun ada
keterangan bahwa Rasulullah saw pernah memberikan anu sekian (artinya, dalam
jumlah besar), menerima ini sekian, membagi-bagikan ini dan itu sekian dan
sekian, saya ingin mempertanyakan beberapa hal berikut kepada orang-orang yang
mengajukannya:
1. Hal itu (pemberian dalam jumlah besar itu) apakah hal yang tiap hari
terjadi pada kehidupan Rasulullah saw ataukah hanya sesekali terjadi? Bohong Anda
kalau mengatakan bahwa hal itu tiap hari terjadi. Kalau itu sesekali terjadi,
sedangkan beliau hampir tiap hari berada dalam kondisi seperti yang disebutkan
oleh hadits-hadits di atas, maka patutkah kita mengklaim bahwa Rasulullah saw
itu kaya?
2. Harta yang beliau bagi-bagikan dalam jumlah yang cukup besar itu, harta
dari mana? Apakah harta beliau pribadi yang merupakan hasil dari usaha ekonomi
beliau atau bukan?
Rasulullah saw memang seorang yang dermawan. Beliau senang bersedekah.
Tapi itu bukan lantas berarti bahwa beliau pasti adalah seorang yang kaya raya.
Memangnya hanya orang kaya saja yang bisa bersedekah? Memangnya orang miskin
tidak bisa bersedekah sama sekali? Perhatikanlah hadits berikut ini kalau Anda
ragu atau keliru:
Disebutkan dalam Sunan Abu Daud bahwa Abu
Hurairah r.a. bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah manakah yang paling utama?”
Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Sedekah orang miskin dan mulailah
dengan orang yang engkau tanggung/nafkahi.”
Jadi, sedekah atau pemberian itu tidak
otomatis paralel dengan kondisi kaya raya, kecuali kaya jiwa. Rasulullah memang
senang bersedekah, tapi beliau bersedekah dengan apa yang beliau mampu saja.
Tidak harus banyak. Dan itu berarti tidak otomatis menunjukkan bahwa beliau saw
adalah seorang yang kaya.
Kalau sesekali beliau membagi-bagikan
harta dalam jumlah besar, biasanya itu adalah harta dari rampasan perang. Kalau
bukan itu, maka biasanya adalah merupakan harta zakat, sedekah, atau hadiah dari
orang lain. Bukan harta pribadi yang beliau dapatkan dari usaha ekonominya.
Mahar Nabi Kepada Khadijah adalah 100
Ekor Unta?
Ada yang
mengatakan bahwa mahar Nabi saw saat menikah dengan Khadijah adalah sebanyak
100 ekor unta merah (bahkan ada yang lebih kelewatan lagi dengan mengatakan
1000 ekor). Berarti Nabi adalah seorang yang kaya, dan umat Islam harus
mencontoh Nabi dalam hal ini.
Betulkah seperti
itu? Sudahkah Anda, wahai yang mengatakan demikian, teliti dengan seksama
kebenaran dan duduk perkara yang sebenarnya dari hal itu? Atau Anda memang sengaja
berdusta dan ingin menipu umat Islam?
Bertaubatlah
benar-benar jika Anda ternyata memang sengaja berdusta dan ingin menipu umat
Islam. Apalagi tentang diri Rasulullah saw. Sungguh berat apa yang akan Anda
hadapi kelak di akhirat, jika Anda keras kepala dengan kejahatan Anda itu. Tapi
kalau kesalahan itu adalah karena kekeliruan dan kecerobohan semata, maka
marilah kita luruskan.
Ibnu Hisyam meriwayatkan Sirah-nya
dari Ibnu Ishaq tentang pernikahan Nabi saw dengan Khadijah. Dalam sirah itu
dikatakan bahwa 100 ekor unta merah itu adalah hibah Khadijah kepada Abu
Thalib. Catat ini: hibah Khadijah kepada Abu Thalib.
Abu Thalib kemudian menghadiahkan 100 unta
merah itu untuk pernikahan Muhammad dan Khadijah. Perhatikan: ini bukan mahar
Muhammad saw. Abu Thalib menghadiahkan 100 unta merah yang dihibahkan
Khadijah itu sebagai penghormatan terhadap kedudukan Khadijah. Jadi, dapat kita
katakan bahwa 100 unta merah itu adalah dari Khadijah dan kembali lagi
kepada Khadijah melalui tangan Abu Thalib. Hanya saja, momen pemberian Abu
Thalib kepada Khadijah terjadi pada saat Khadijah menikah dengan Muhammad. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa kabar tentang mahar Muhammad saw kepada Khadijah sebanyak
100 ekor unta itu adalah tidak benar.
Apakah Muhammad saw adalah seorang yang kaya
pada saat menikahi Khadijah? Saya rasa khutbah yang diucapkan oleh Abu Thalib
pada saat pernikahan tersebut berlangsung dapat menjawab pertanyaan seperti itu.
Perhatikanlah khutbah tersebut dengan seksama berikut ini (terutama yang bercetak
tebal atau hitam):
الحمد لله الذي جعلنا من زرع إبراهيم، وذرية إسماعيل،
وضئضيء معدّ، وعنصر مضر، وجعلنا حضنة بيته، وسوّاس حرمه، وجعله لنا بيتا محجوجا،
وحرما آمنا، وجعلنا حكام الناس. ثم إن ابن أخي هذا محمد بن عبد الله لا يوزن
به رجل من قريش إلا رجح عليه برا، وفضلا، وكرما، وعقلا، ومجدا، ونبلا، وإن كان في
المال قلّ، فإن المال ظل زائل، وأمر حائل، وعارية مسترجعة، وهو والله بعد هذا له
نبأ عظيم، وخطر جليل! وله في خديجة بنت خويلد رغبة، ولها فيه مثل ذلك، وما أحببتم
من الصداق فعليّ
“Segala puji bagi Allah yang menjadikan
kita sebagai keturunan Nabi Ismail, sebagai anak cucu Ma’ad, sebagai keturunan
Mudhar, sebagai penjaga Baitullah, pengawal tanah Haram-Nya, yang tanah
ini menjadi tempat ibadah haji, yang suci dan aman, dan menjadikan kita hakim
bagi manusia. Ini anak saudaraku, Muhammad bin Abdillah, jika ditimbang
dengan laki-laki manapun juga, maka ia lebih berat dari mereka semua
kebaikannya, keutamaannya, kemuliaannya, akalnya, kedermawanannya, dan
kebijaksanaannya. Meskipun hartanya sedikit, namun harta itu adalah
bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang cepat perginya serta merupakan
pinjaman yang akan dikembalikan. Dia ini, demi Allah, telah ada kabar baik
tentangnya dan ia memiliki kedudukan yang mulia di tengah masyarakat. Ia
menyukai Khadijah binti Khuwailid, begitu juga sebaliknya. Dan mahar
apa yang kalian sukai, saya yang akan menanggungnya.” (Rahiqul
Makhtum hal. 15)
Dari
khutbah nikah yang disampaikan oleh Abu Thalib tersebut jelas tergambar bahwa
Muhammad saw pada saat itu bukan seorang yang kaya. Bahkan kalaupun ada mahar
yang terjadi untuk pernikahan itu, Abu Thalib telah mengatakan bahwa dialah
yang akan menanggungnya.
Berapakah
besarnya mahar Nabi saw pada saat menikah dengan istri-istrinya? Bukan di
artikel ini tempat pembahasannya. Adapun tentang apakah kita dituntut untuk
meniru besarnya mahar Nabi pada saat kita menikah dengan seseorang? Saya jawab
dengan tegas: Tidak. Namun apa alasan dan penjelasannya, perlu artikel khusus
untuk memaparkannya, insya Allah.
Penulisan
artikel ini secara utama ditujukan untuk menjawab secara jujur tentang keadaan
Rasulullah saw (apakah kaya atau miskin). Secara apa adanya, telah saya paparkan
tentang keadaan Rasulullah saw tersebut. Maka apakah dengan
keterangan-keterangan di atas Anda masih ngotot untuk mengatakan bahwa
Rasulullah saw itu adalah seorang yang kaya, yang lalu dengan itu Anda pun “memprovokasi”
umat-umat beliau untuk berlomba-lomba mencari kekayaan, sementara beliau dan
para sahabatnya (meskipun ada yang kaya) tidak pernah memprovokasi seperti itu?
Dengan
tegas saya katakan: Rasulullah saw itu bukan seorang yang kaya. Hanya saja beliau kadangkala (catat: hanya kadang-kala)
mendapatkan banyak harta, yakni dari hadiah seseorang ataupun harta rampasan
perang. Beliau juga pernah hidup dalam kelebihan harta, yakni setelah menikah
dengan Khadijah, seorang janda yang kaya raya (jadi harta tersebut sebenarnya adalah harta Khadijah). Namun kondisi
umum dan lazimnya beliau adalah miskin.
Dengan tegas saya katakan: menyuruh umat Islam untuk berlomba-lomba mencari kekayaan adalah bukan manhaj Rasulullah saw dan para sahabatnya, bahkan adalah tindakan yang berusaha mereka hindari. Dengan tegas saya katakan bahwa ucapan-ucapan seperti: Islam mewajibkan umatnya untuk kaya, umat Islam harus kaya, dalam arti kekayaan harta, adalah sesuatu yang bid’ah. Bid’ah sayyiah (bid'ah yang jelek).Hukumnya bisa jadi makruh atau haram. Bisa jadi bid'ah dhalalah (sesat) yang diancam dengan neraka. Wallohu a'lam.
Dengan tegas saya katakan: menyuruh umat Islam untuk berlomba-lomba mencari kekayaan adalah bukan manhaj Rasulullah saw dan para sahabatnya, bahkan adalah tindakan yang berusaha mereka hindari. Dengan tegas saya katakan bahwa ucapan-ucapan seperti: Islam mewajibkan umatnya untuk kaya, umat Islam harus kaya, dalam arti kekayaan harta, adalah sesuatu yang bid’ah. Bid’ah sayyiah (bid'ah yang jelek).Hukumnya bisa jadi makruh atau haram. Bisa jadi bid'ah dhalalah (sesat) yang diancam dengan neraka. Wallohu a'lam.
Betul
ada beberapa orang sahabat Nabi saw yang kaya. Tapi pernahkah mereka yang
kaya-kaya itu menyuruh-nyuruh orang lain untuk kaya pula? Pernahkah mereka
menggelisahkan umat dengan mengatakan, “Ayo, umat Islam harus kaya” seperti
yang sering Anda dengung-dengungkan bersama kawan-kawan Anda itu?
Bukankah
Utsman, sahabat Nabi saw yang cukup terkenal kekayaannya, ketika dikatakan
kepadanya, “Wahai orang kaya, betapa mulianya kalian di mata Allah. Kalian
pergi dengan membawa kebaikan, kalian bersedekah, kalian memerdekakan budak,
kalian pergi haji dan berinfak. Sungguh kami iri dengan keadaan kalian
tersebut.”
Utsman
bin Affan justru berkata, “Kalian iri kepada kami? Padahal kamilah yang
seharusnya iri kepada kalian.”
Utsman
melanjutkan, “Demi Allah, pastilah uang satu dirham yang di infaqkan seseorang
dengan susah payah itu lebih baik daripada 10 ribu dirham orang kaya.”
Bukankah
pula, ketika orang-orang miskin mengadu kepada Rasulullah saw tentang perbedaan
mereka dengan orang-orang kaya, Rasulullah saw tidak memotivasi mereka untuk mencari
kekayaan. Rasulullah hanya mengajarkan mereka untuk membaca tasbih, takbir, dan
tahmid, masing-masing 33 kali setiap selesai shalat (berdasarkan hadits riwayat
Bukhari dan Muslim).
Lalu
metode siapakah yang Anda tiru dalam beragama ini sehingga Anda mengambil sikap
menyuruh-nyuruh orang untuk kaya? Dari siapakah Anda mengambil agama Anda
sehingga mau berbuat demikian?
Kalau
Anda ingin kaya, silakan. Islam tidak pernah melarang umatnya untuk kaya. Kalau
Anda ingin mencari harta, silakan. Islam tidak melarang umatnya mencari harta. Kalau
Anda rajin bekerja, bagus. Islam menyuruh umatnya untuk bekerja.
Tapi
kalau Anda mengatakan, “umat Islam harus kaya”, itu adalah hal yang tidak benar.
Kalau Anda mengatakan, “Umat Islam wajib kaya” itu adalah kesesatan. Kalau Anda
mengatakan “Rasulullah saw adalah seorang yang kaya harta”, itu mengada-ada
(dan resikonya sangat berat di akhirat).
Cukuplah
Anda bekerja secara halal dan sesuai dengan syariat. Masalah kaya atau miskin,
serahkanlah kepada Allah. Allah lah yang lebih tahu manakah keadaan yang lebih
baik dan lebih selamat untuk Anda di dunia dan di akhirat. Allah lah yang lebih
tahu manakah ujian yang lebih sanggup untuk Anda pikul (apakah ujian kemiskinan
ataukah ujian kekayaan).
Jika
Anda diuji dengan kekayaan, maka jalankanlah tugas-tugas Anda sebagai orang
kaya (berzakat, berhaji, membantu karib kerabat, menolong para fakir-miskin,
menyantuni anak-anak yatim, dll). Jika Anda diuji dengan kemiskinan, janganlah
berkecil hati dan berburuk sangka kepada keputusan-keputusan Allah. Kemiskinan
memang pahit dan tidak menyenangkan. Tapi ingatlah, banyak kelebihan yang
sebenarnya dimiliki oleh orang-orang miskin apabila mereka mau bersikap benar
di dalam kehidupannya. Mereka lebih punya waktu untuk berzikir. Sedekah mereka
yang jumlah nominalnya sangat kecil, bisa jadi berkali-kali lipat pahalanya
dibandingkan dengan sedekahnya orang-orang kaya. Peluang dosa mereka lebih
sedikit. Hisab mereka di akhirat akan lebih ringan. Mereka akan lebih dulu
masuk surga dengan masa yang amat lama dibandingkan dengan orang-orang kaya.
Demikian
dululah tulisan kita kali ini. Pada akhirnya, Allah jua lah yang mampu memberi
petunjuk. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin. (Buya Amin/16-okt-2016)
-Rujukan
utama artikel ini adalah:
kitab hadits Riyadus Shalihin karya
Imam An-Nawawi
-Bahan
bacaan yang membantu:
BAGAIMANA MAU IBADAH KALAU ISLAM ITU MISKIN ... ORANG BANGUN MASJID PAKAI UANG .. MAKA MENJADI KAYA ITU WAJIB HUKUMNYA COIIII.............TAPI UNTUK KE JALAN Allah
ReplyDeleteTidak, Bung. Yang wajib itu berusaha atau bekerja sesuai bidang dan kemampuan kita masing-masing di jalan yang halal dan diridhoi Allah. Kalau kaya itu wajib, maka akan berdosalah orang-orang miskin. Padahal tidak pernah Allah atau Rasul-Nya menyatakan bahwa orang-orang miskin itu berdosa.
DeleteYang salah itu adalah apabila orang itu tidak mau berusaha atau bekerja. Tetapi harus diingat, bahwa tidak semua orang yang bekerja/berusaha akan pasti menjadi kaya. Akan selalu ada orang-orang yang Allah takdirkan untuk kaya dan akan selalu ada pula orang-orang yang Allah takdirkan untuk miskin supaya berjalan berbagai aneka hikmah kehidupan di muka bumi ini. Di antara hikmahnya adalah supaya manusia selalu bisa mewujudkan sikap berbagi, berkasih-sayang, dan peduli.
Bangun masjid dengan uang? Ya, betul. Tetapi itu tidak serta-merta mengharuskan semua orang menjadi kaya. Dengan segelintir orang-orang yang kaya, masjid atau apapun itu, insya Allah akan bisa berdiri.
Karena itu, yang penting adalah bekerja/berusaha. Masalah kaya atau tidak, serahkanlah kepada Allah. Kalau kaya, bersyukur. Kalau tetap miskin padahal sudah sungguh-sungguh berusaha, juga harus bersyukur.
Cara bersyukurnya orang-orang kaya, ya gunakanlah harta kekayaan Anda itu untuk kebaikan. Santunilah anak-anak yatim. Beri makanlah para fakir-miskin. Bayarlah kewajiban zakat Anda setiap tahun. Bantulah pembangunan masjid. Menjaga diri dari sikap sombong. Menjaga diri dari sikap riya/pamer. Dan lain-lain.
Cara bersyukurnya orang-orang miskin: banyak-banyaklah berzikir, membaca tasbih, takbir, tahlil, baca Quran, menjaga diri dari putus-asa, menjaga diri dari sikap minder, menjaga diri dari iri/dengki kepada orang-orang kaya, dan lain sebagainya.
Insya Allah, jika setiap orang menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan keadaannya masing-masing berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, maka hidup ini akan selalu aman-aman saja dan indah. Tak perlu harus semua orang menjadi kaya. Dan tak perlu pula untuk men-sengajakan diri menjadi miskin.
Anda secara alam bawah sadar menggiring umat islam untuk miskin, sengsara, tidak berdaya. Gimana mau berzakat, bersedekat kalau tidak punya capital. bukankah tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah?? Sudah jelas dalam Al Quran, hanya ada orang yang cukup dan dilebihkan. Tidak ada org miskin. Rasul tidak mau menerima sedekah. Bisa disimpulkan Rasul kaya atau miskin kan?? Perilaku Rasul sederhana bukan berarti beliau miskin, hanya saja sifat beliau yg mengajarkan umat islam untuk kaya dan berberdaya tapi jgn ada attachment dgn duniawi.
DeleteIndah..
ReplyDeleteumm...saya hanya ingin mengatakan sesuatu
ReplyDeleteMeskipun Rasul hidupnya tidak bermewah2an( bahkan sangat kesulitan untuk makan sekalipun ), saya memiliki keyakinan bahwasanya Rasul itu sangatlah kaya
Nah , mungkin anda akan bertanya : apa buktinya?
Begini, Rasullullah itu adalah manusia yang paling sempurna , dari ahlak , kepemimpinan , moral, dan sebagainya. Hal ini juga mencakup sifat dermawan, dan cinta terhadaap Allah
Semua harta yang diperoleh Rasul itu dipakai untuk kejayaan Islam . SEMUANYA, bahkan hingga ia sulit untuk makan sekalipun
Anda tahu kan kalau Rasul juga berdagang ? Ia berdagang hingga ke 17 negara ( silahkan browsing sendiri ) . Nah, hal itu dilakukan setidaknya 1400 tahun yang lalu, dimana belum tersedia kendaraan seperti kapal laut, pesawat terbang , dan sebagainya. Nah , bagaimana mungkin orang yang tidak mampu sanggup melakukan perjalanan luar biasa itu ?
Rasul juga menikahi Siti Khadijah , yang pada saat itu kekayaannya sangat berlimpah. Dan benar saja, Rasul bisa melipatgandakan kekayaannya bersama Siti Khadijah
Dan lalu apa yang terjadi? Seluruh kekayaannya habis untuk membangun kejayaan Islam
Saya tidak ingin ada seorang muslim pun yang mengatakan dirinya " saya tidak ingin kaya, cukup orang lain saja "
Bayangkan jika seluruh muslim memiliki mindset demikian, apa yang terjadi?
1.Tak ada seorang pun yang dapapt membantu saudara2 kita di timur tengah sana ( Palestine, Syria, dsb ).
2. Tak akan ada lagi orang dermawan yang dapat berkurban , karena harga hewan kurban itu terbilang cukup tinggi. Mungkin anda akan berkata : Kan bisa "udunan". Misalkan untuk membeli seekor sapi dibutuhkan 10 orang donatur. Apabila ke-10 donatur ini dengan kuasa Allah menjadi orang "kaya" , kita katakan masing2 dari donatur itu bisa berkurban 1 sapi ( subhanallah ). Nah, dari sisi manapun , kalau kita bicara tentang impact , tentu saja kuantitas sangat menentukan , bukan?
Coba kita belajar dari sejarah
Muslim sudah menyebarkan Islam ke segala penjuru.
Setelah zaman para sahabat ,kita mengenal SALAH SEORANG pejuang Islam, Salahuddin Al-Ayyubi.
Saat beliau wafat, tercaatat ia tidak memiliki apapun untuk biayanya.
Namun kita lihat : Ia berhasil mengagalkan pasukan Salib untuk merebut Baitul Maqdis.
Hal ini karena adanya kuasa Allah , beserta semangat jihad dan perlengkapan perang yang berkualitas. Nah coba pikirkan , seorang prajurit itu biar bagaimanapun pasti memiliki penghasilan . Ia harus menghidupi keluarga, dsb. Dari situlah , peran para dermawan di medan perang sangat penting bagi kejayaan islam. Bayangkan jika tidak ada orang "kaya" pada kala itu. Baitul Maqdis akan direbut saat itu juga , tanpa adanya perlawanan sedikit pun .
Sekian
Semoga bermanfaat . Coba olah lagi mindset kita. Bukankah salah satu alasan kita menuntut ilmu itu untuk mencari penghidupan yang lebih baik, sehingga kita bisa membantu orang2 di sekitar kita ? Dan apa hukum menuntut ilmu ? Wajib....
Cobalah untuk memikirkan orang lain sekali-kali, toh kita ini bersaudara. Seandainya kita memiliki kesempatan untuk menjadi kaya , apa kita akan membuangnya begitu saja dengan alasan " Kaya itu tidak wajib " .
Oh iya, ini untuk refrensi tambahan antum semua :
Deletehttp://www.kabarmakkah.com/2016/04/apakah-takdir-bisa-dirubah.html
Saya yakin bahwasanya kaya atau miskin itu pilihan kita, tinggal kita ingin ikut yang mana.
Kalau miskin itu takdir yang tak bisa diubah, untuk apa Allah menyerukan kita untuk berdoa dan berusaha ?
” Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah Memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)”..(Asy-Syuro : 30)
(sambungan)
ReplyDelete4- Artikel ini juga bermaksud mengkritisi sikap sebagian pendakwah yang getol meneriakkan slogan-slogan yang terdengar indah tetapi sesungguhnya palsu atau tidak benar. Mereka meneriakkan: “Umat Islam harus kaya, umat Islam wajib kaya”. Mungkin bagi orang awam, ini terdengar bagus dan indah. Tetapi bagi orang-orang yang sudah cukup paham tentang Islam, slogan ini tidak dapat diterima. Bertentangan dengan manhaj dakwah Rasulullah, para sahabat, dan para ulama-ulama terdahulu yang saleh.
Rasulullah dan para sahabatnya tidak pernah menyuruh-nyuruh orang untuk kaya. Para generasi saleh setelah mereka juga seperti itu. Hal tersebut bukanlah karena kebetulan dan tanpa dasar. Semua itu sesungguhnya benar-benar disengaja dan disadari. Kenapa? Karena ada bahaya besar yang berusaha mereka hindarkan dari umat. Bahaya yang bagi orang awam mungkin dianggap sepele atau bahkan tidak tampak sama sekali. Untuk penjelasan lengkapnya, silakan Anda cari artikel-artikel di blog ini yang berjudul: “Islam Tidak Mengharuskan Umatnya untuk Kaya dan Tidak Pula Mewajibkan Umatnya untuk Miskin” (bagian 1 sampai 3). Juga artikel yang berjudul: “Menyuruh-nyuruh Orang untuk Kaya adalah Bid’ah”. Mudah-mudahan dapat memberikan tambahan ilmu atau masukan bagi Anda dan juga kita semua.
Rasulullah saw bersabda:
“Demi Allah, tidaklah kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap kalian. Tetapi aku khawatir jika kekayaan dunia ini dihamparkan atas kalian sebagaimana yang pernah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian akan berlomba-lomba pada kekayaan itu sebagaimana mereka telah berlomba-lomba. Dan kemudian harta kekayaan itu akan membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka pula.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Beliau juga bersabda:
“Sesungguhnya orang yang hartanya banyak adalah orang yang paling sedikit pahalanya di hari kiamat kecuali orang yang berkata: ‘Ini untuk tetangga sebelah kanan, ini untuk tetangga sebelah kiri, dan yang lain untuk tetangga yang di belakang’. Tetapi sangat sedikit orang yang sedemikian ini.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Semua kejayaan Islam yang Anda sebutkan di atas adalah terjadi tanpa adanya orang-orang yang meneriakkan slogan-slogan palsu di atas. Dan Rasulullah saw pada hadits di atas telah mengatakan bahwa bukan kemiskinan yang beliau takutkan terhadap umatnya. Lalu mengapa Anda harus khawatir? Khawatirkanlah apa-apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw karena beliaulah yang paling mengerti tentang agama ini dan juga paling tahu tentang apa yang terbaik bagi umat ini.
Kejayaan Islam insya Allah akan kembali berulang dan terus berulang selama umat Islam memahami dan mengamalkan Islam secara benar. Jadi tidak perlulah kita membikin-bikin atau mendengung-dengungkan slogan-slogan yang palsu atau tidak benar (meskipun mungkin terdengar indah di telinga sebagian orang). Justru kepalsuan atau ketidak-benaran itu sesungguhnya akan menjadi racun bagi perkembangan kebenaran itu sendiri, baik cepat ataupun lambat.
Secara umum tidak ada masalah dengan tulisan takdir yg Anda (Kamil Ali) link-kan (meskipun rujukan tulisan tersebut adalah ulama Wahabi). Hanya sedikit yang ingin saya tanggapi, yakni bahwa perubahan takdir itu memang ada yang bisa kita usahakan (di kalangan ulama dikenal istilah ada takdir mu’allaq dan ada takdir mubram) tetapi apakah pasti berubah atau tidak, tetap saja keputusannya berada di tangan Tuhan.
ReplyDeleteKita sakit, misalnya. Bisa diusahakan untuk sembuh dengan cara berobat. Tetapi kepastian kesembuhan tetap saja berada di tangan Tuhan. Ada orang yang sudah berobat kemana-mana kemudian sembuh. Tetapi ada juga yang sudah berobat kemana-mana, namun tidak juga sembuh-sembuh hingga akhirnya meninggal dunia.
Begitu pula dengan masalah kekayaan. Bisa diusahakan. Tetapi apakah setiap yang berusaha pasti berhasil? Tentu tidak. Semua orang akan menjalani takdirnya bersama hukum sebab dan akibatnya. Jika 10 tahun yang akan datang, misalnya, takdir Anda adalah kaya. Maka Allah akan menjadikan Anda mencapai takdir tersebut dengan menjalani segala sebab dan akibatnya. Demikian pula sebaliknya, jika takdir Anda 10 tahun yang akan datang adalah miskin atau mengalami kebangkrutan, maka Anda pun akan mencapai takdir Anda itu dengan menjalani segala sebab dan akibatnya. Segala sesuatunya adalah takdir, baik prosesnya maupun hasilnya.
Lalu untuk apakah sesungguhnya usaha dan doa kita jika pada akhirnya kita hanya akan mencapai takdir yang telah ditentukan? Usaha dan doa kita adalah ibadah. Hidup ini sesungguhnya adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Maka usaha dan doa tersebut sesungguhnya dilakukan hanyalah dalam rangka beribadah kepada Allah swt dan juga dalam rangka menjalani sunnatullah (hukum sebab-akibat) di muka bumi. Oleh karena itu, segala sesuatunya harus dilakukan sesuai dengan hukum-hukum Allah swt, baik hukum agama-Nya, maupun hukum sebab-akibat yang telah dibuat-Nya.
Telah ada perpecahan paham di tubuh umat Islam tentang masalah takdir. Dan tidak semua paham tersebut dapat dibenarkan. Pilihlah pemahaman versi ulama Aswaja (Ahlus Sunnah Wal-Jama’aah). Dalam hal aqidah, ulama-ulama Aswaja mengikut ke pemahaman yang dirintis oleh Imam Asy’ari atau Imam al-Maturidi. Mereka menerima masalah takdir sesuai dengan bagaimana yang ada di dalam Alquran dan sunnah, dengan tanpa menjadi harus fatalis dan apatis. Hatinya percaya dan pasrah kepada takdir Allah, tetapi segala anggota tubuhnya berusaha beramal, berjuang, dan berikhtiar sesuai dengan segala hukum-hukum Allah.
Saya salut kepada anda yang menulis ini.. semoga Allah Swt memberikan kebahagiaan dalam hidup anda..
Delete"Hidup ini sesungguhnya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT".
DeleteBerzakat dan bersedekah itu termasuk ibadah juga kan? lebih baik tangan dibawah atau tangan diaatas?
kalo memang tangan tidak bisa diatas, bukan berarti tangan boleh dibawah (minta minta)
Deletekalo memang tangan tidak bisa diatas, bukan berarti tangan boleh dibawah (minta minta)
DeleteBanyak teori juga mudahan diberi ilmu mengenal hazrat rasul Muhammad saw sebenar...
ReplyDeleteDewanbagsharif.net
Bagaimana dgn firman Allah;
ReplyDeleteووجدك عائلا فاغنى
Konteks miskin dan kaya dimaksud dalam hal apa? Dan tentang sebutan dusta dan mengada2 ttg Rasulullah SAW kaya, saya kira pun tidak berlandasan. Krn tentu setiap orang/ulama memiliki tarjih thd riwayat yg jumlahnya banyak.
Berkenaan dengan surat Ad-Dhuha ayat 8 yang berbunyi ووجدك عائلا فأغنى , marilah kita buka kitab-kitab Tafsir untuk memahaminya. Ternyata dalam kitab-kitab Tafsir, kata “kaya” di situ tidaklah disepakati sebagai kaya harta. Banyak ulama ahli tafsir yang mengemukakan pendapat bahwa maksudnya adalah “kaya jiwa”. Dalam Tafsir Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir, misalnya, ayat ini dikait-kaitkan dengan hadits:
ReplyDelete"ليس الغنى عن كثرة العرض ولكن الغنى غنى النفس"
"Tiadalah kaya itu karena banyaknya harta, tetapi kaya itu adalah kaya jiwa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Atho’ mengatakan:
: ووجدك فقير النفس، فأغنى قلبك.
“Dia mendapatimu dalam keadaan miskin jiwa, lalu dia mengayakan hatimu” (Dalam Tafsir Al-Qurthubiy)
Sedangkan kalaupun dikatakan bahwa “kaya” di situ adalah kaya harta, maka Qotadah ra mengatakan:
" قال كانت هذه منازل رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل أن يبعثه الله عز وجل
“Ini adalah kedudukan Rosulullah saw sebelum diutus oleh Allah Azza wa Jalla”. (lihat Tafsir Al-Qurthubiy).
Yakni “dengan melalui Khodijah” (juga dalam Tafsir Al-Qurthubiy).
Saudara2ku sekalian, memang Rosulullah saw itu pernah mengalami kondisi banyak harta di dalam masa-masa hidupnya. Tetapi itu adalah kondisi yang sesekali terjadi. Masak status seseorang itu ditetapkan dari kondisi yang sesekali terjadi. Logikanya di mana?
Silakan anda kaya, silakan mencari kekayaan, itu tak dilarang dalam Islam (yang penting sanggup menanggung beban2 amanah atau kewajiban2nya). Tetapi janganlah sampai menutup-nutupi, apalagi berbohong tentang keadaan diri Rosulullah saw. Beliau, tak bisa dipungkiri, biasanya hidup dalam kondisi sedikit harta. Hanya sesekali saja beliau mengalami kekayaan.
Artikel bagus sekali.. terimakasih
ReplyDeletesaya yakin pasti sangatlah kaya, coba bayangkan saat di madinah berapa kali memimpin perang, saat menang pula pastilah banyak harta rampasan termasuk istri musuh yg bisa di jadikan budak atau diambil istri, tercatat pula berapa istri nabi yg dari tawanan perang. dan berapa bagian buat sang nabi?. kalau di katakan miskin hanya pencitraan saja, kalau miskin saat di mekah mungkin karena setelah khadijah mati bisnisnya nggak terurus dan ini cuma beberapa saat saja sebelum pindah ke medinah. kalau ada yg bilang muhammad miskin mungkinkah ?
ReplyDeletetidak perlu ada lagi perdebatan tentang pekara ini...cukup Allah dan RasulNya,juga para sahabat yang ada ketika itu yang tahu dengan jelas...cukup lah kalian dengan keyakinan masing-masing selagi tidak melanggar syariat dan peraturan yang telah ditetapkan...yang kaya beramal lah dengan kekayaan mu...dan yang miskin beramal lah dengan kemiskinan mu..
ReplyDeletedi ingatkan untuk semua JANGAN SESEKALI MENILAI KEBIJAKSANAAN ALLAH DALAM HUKUM-HUKUM YANG TELAH DITETAPKAN BAIK DI DALAM KITAB JUGA DARI LISAN NABI...
salam saudaraku tetaplah bersabar semoga Allah permudahkan urusan mu...dan mengembalikan semula keluarga mu jika itu yang terbaik buat diri mu...Allah lebih mengetahui tentang diri mu...mintalah dengan jalan sabar dan solat..
ReplyDeleteMana mungkin baginda Hazrat Rasul saw miskin sedangkan baginda rahmatalil alamin
ReplyDeleteArtikel Ini sesat dari isi merujuk kita hanya pasrah pada nasib dan keadaan. Tidak mau berusaha dan menghidari usaha untuk kaya. kata2 miskin itu akan bepegaruh pada embel2nya , Miskin Ilmu sama dengan miskin harta, Miskin harta sama saja miskin kekuasaan , Miskin Kekuasaan sama saja ditindas, Kemungkinan Anda berusaha melemahkan hati orang muslim agar memilih miskin dan agar tidak susah payah dihisab diyaumil hisab nanti. Kl berdakwa jangan seperti itu. Nasehatilah Agar Mendapatkan Harta dengan cara yang halal dan baik.. syukur kaya dari harta tersebut.
ReplyDeleteSalah satu keangkuhan spiritual adalah...
ReplyDeleteKetika mereka berkata bahwa mereka tidak butuh harta.
.