Benarkah Mahar Nabi Kepada Khadijah
adalah 100 Ekor Unta?
Ada yang
mengatakan bahwa mahar Nabi saw saat menikah dengan Khadijah adalah sebanyak
100 ekor unta merah (bahkan ada yang lebih kelewatan lagi dengan mengatakan
1000 ekor). Berarti Nabi adalah seorang yang kaya, dan umat Islam harus
mencontoh Nabi dalam hal ini.
Betulkah seperti
itu? Sudahkah Anda, wahai yang mengatakan demikian, teliti dengan seksama
kebenaran dan duduk perkara yang sebenarnya dari hal itu? Atau Anda memang
sengaja berdusta dan ingin menipu umat Islam?
Bertaubatlah
benar-benar jika Anda ternyata memang sengaja berdusta dan ingin menipu umat
Islam. Apalagi tentang diri Rasulullah saw. Sungguh berat apa
yang akan Anda hadapi kelak di akhirat, jika Anda keras kepala dengan kejahatan Anda itu. Tapi kalau kesalahan itu adalah karena kekeliruan dan kecerobohan semata, maka marilah kita luruskan.
yang akan Anda hadapi kelak di akhirat, jika Anda keras kepala dengan kejahatan Anda itu. Tapi kalau kesalahan itu adalah karena kekeliruan dan kecerobohan semata, maka marilah kita luruskan.
Ibnu Hisyam meriwayatkan Sirah-nya
dari Ibnu Ishaq tentang pernikahan Nabi saw dengan Khadijah. Dalam sirah itu
dikatakan bahwa 100 ekor unta merah itu adalah hibah Khadijah kepada Abu
Thalib. Catat ini: hibah Khadijah kepada Abu Thalib.
Abu Thalib kemudian menghadiahkan 100 unta
merah itu untuk pernikahan Muhammad dan Khadijah. Perhatikan: ini bukan
mahar Muhammad saw. Abu Thalib menghadiahkan 100 unta merah yang dihibahkan
Khadijah itu sebagai penghormatan terhadap kedudukan Khadijah. Jadi, dapat kita
katakan bahwa 100 unta merah itu adalah dari Khadijah dan kembali lagi
kepada Khadijah melalui tangan Abu Thalib. Hanya saja, momen pemberian Abu
Thalib kepada Khadijah terjadi pada saat Khadijah menikah dengan Muhammad. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa kabar tentang mahar Muhammad saw kepada Khadijah sebanyak
100 ekor unta itu adalah tidak benar.
Lantas berapakah yang benar tentang jumlah
mahar Nabi saw kepada Khadijah?
Sesungguhnya, kita hanyalah bisa menduga-duga
berdasarkan keterangan-keterangan yang ada. Dan sesungguhnya pula, sebenarnya
hal ini tidak begitu penting untuk diketahui, sebab beliau saw menikah dengan
khadijah pada saat beliau belum menjadi rasul. Apa yang terjadi pada diri beliau
sebelum menjadi rasul adalah bukan hal yang disuruh untuk dipedomani atau
dijadikan rujukan, sebab Allah swt berfirman:
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu ...” (Q.S. Al-Ahzab:21)
Allah mengatakan pada ayat di atas bahwa suri
teladan itu adanya pada diri Rasulullah, bukan pada diri Muhammad. Oleh
karena itu, apa yang terjadi pada Muhammad saw sebelum menjadi Rasulullah
adalah bukan hal yang dianjurkan untuk menjadi teladan atau rujukan meskipun
kita tidak bisa pula mengatakan bahwa prilaku-prilaku beliau saw sebelum
menjadi rasul adalah tidak mulia.
Beliau saw mulia, baik sebelum menjadi rasul
atau pun setelah menjadi rasul. Namun yang direkomendasikan Allah untuk menjadi
rujukan dan suri teladan bagi umat adalah kehidupan beliau setelah menjadi
rasul.
Berdasarkan beberapa keterangan yang ada kita
bisa menduga bahwa mahar yang diberikan Nabi kepada Khadijah adalah bisa jadi
20 onta muda atau bisa jadi pula sebesar 500 dirham (lihat kitab Hasyiyah
Syarqawi juz II halaman 265)
Pada Sahih Muslim Juz 1 halaman 59 disebutkan
bahwa Abdur Rahman bertanya kepada Aisyah tentang mahar Nabi saw. Aisyah
menjawab:
“Mahar Rasulullah saw kepada para isteri
beliau adalah 12 auqiyah dan satu nasy”. Aisyah berkata: “Tahukah engkau,
apakah nasy itu?” Abdur Rahman berkata: “Tidak”. Aisyah berkata, “Setengah
auqiyah. Jadi semuanya 500 dirham. Inilah mas kawin Rasulullah saw kepada para
isteri beliau.” (HR. Muslim)
Apakah hadits tersebut mencakup mahar Nabi
terhadap Khadijah? Wallahu a’lam. Allahlah yang lebih mengetahui.
Berapapun sesungguhnya mahar Nabi saw kepada
Khadijah, namun ada keterangan pula yang patut kita ketahui bahwa mahar
tersebut berkemungkinan tidak berasal dari harta Nabi saw, melainkan dari harta
Abu Thalib, sebab Abu Thalib mengatakan dalam khutbah nikahnya (ketika
pernikahan antara Muhammad saw dan Khadijah terjadi) bahwa urusan mahar dari pernikahan
tersebut merupakan tanggungan dia:
“Dan mahar
apa yang kalian sukai, saya yang akan menanggungnya.” (Rahiqul
Makhtum hal. 15) (lihat dalam http://muslim.or.id).
Apakah Muhammad SAW adalah seorang yang kaya pada saat menikahi
Khadijah?
Saya rasa penggalan khutbah yang diucapkan
oleh Abu Thalib pada saat pernikahan tersebut berlangsung dapat menjawab
pertanyaan seperti itu. Perhatikanlah penggalan khutbah tersebut berikut ini
(terutama yang bercetak tebal atau hitam):
“... Ini
anak saudaraku, Muhammad bin Abdillah, jika ditimbang dengan laki-laki manapun
juga, maka ia lebih berat dari mereka semua kebaikannya, keutamaannya,
kemuliaannya, akalnya, kedermawanannya, dan kebijaksanaannya. Meskipun
hartanya sedikit, namun harta itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan
sesuatu yang cepat perginya serta merupakan pinjaman yang akan dikembalikan.
Dia ini, demi Allah, telah ada kabar baik tentangnya dan ia memiliki kedudukan
yang mulia di tengah masyarakat. Ia menyukai Khadijah binti Khuwailid,
begitu juga sebaliknya. Dan mahar apa yang kalian sukai, saya
yang akan menanggungnya.” (Rahiqul Makhtum hal. 15) (lihat dalam http://muslim.or.id).
Dari
khutbah nikah yang disampaikan oleh Abu Thalib tersebut jelas tergambar bahwa
Muhammad saw pada saat itu bukan seorang yang kaya. Bahkan kalaupun ada mahar
yang terjadi untuk pernikahan itu, Abu Thalib telah mengatakan bahwa dialah
yang akan menanggungnya.
Apakah Mahar Nabi SAW Tergolong Mahar yang Mahal?
Umar bin al-Khaththab berkhutbah kepada
manusia dengan pernyataannya: “Ingatlah, janganlah kalian bermahal-mahal dalam
mahar wanita. Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu termasuk suatu
kemuliaan di dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, pastilah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling utama di antara kalian (dalam
hal ini), (namun) beliau tidak pernah memberi mahar kepada seseorang dari
isteri-isterinya dan tidak pula meminta mahar untuk seseorang dari
puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah (ons) perak.” (HR. Tirmidzi, dan ia menilainya
sebagai hadits shahih).
Kalau mahar Nabi saw tergolong mahar yang
mahal, mungkinkah Umar bin Khattab menjadikannya contoh dalam memperingati
manusia agar jangan bermahal-mahal dalam hal mahar? Artinya, mahar Nabi saw
kepada para istrinya sebanyak 12 auqiyah (atau 500 dirham) pada masa itu sesungguhnya
tidaklah tergolong sebagai mahar yang mahal.
Jadi kalau ada orang zaman sekarang yang
mengonversi 500 dirham itu menjadi Rp 40 juta, sementara uang Rp 40 juta itu di
zaman ini masih tergolong hal yang mahal, maka saya lebih suka untuk tidak
mengikuti konversi-konversi yang demikian.
Apakah Besarnya Mahar Nabi SAW Kepada Para Istrinya Adalah Hal
Yang Harus Ditiru?
Apa yang
dilakukan oleh Nabi saw tidak semuanya merupakan hal yang harus untuk ditiru. Bahkan
sebagian dari perbuatan Nabi saw adalah hal yang haram untuk ditiru. Contohnya
adalah menikah dengan lebih dari empat orang istri. Itu adalah hal yang haram
untuk ditiru.
Jadi meskipun
suatu hal itu merupakan perbuatan Nabi saw, tetapi belum tentu hukumnya menjadi
wajib. Ia bisa saja menjadi sunnah, mubah, makruh atau malah bisa juga menjadi
haram.
Ukuran besarnya
mahar adalah diserahkan kepada kemampuan masing-masing orang. Yang mampu
memberikan banyak, silakan memberi banyak dengan tanpa berlebihan dan
kesombongan. Sedangkan yang mampu sedikit, tidak apa-apa memberikan sedikit.
Bahkan,
ketahuilah, sesungguhnya
hal yang amat dicari dalam pernikahan adalah keberkahannya. Sedangkan sakinah,
mawaddah, wa rahmah, itu adalah hal yang pasti terjadi pada setiap
pasangan yang menikah (hanya masalahnya mereka mampu mempertahankannya atau
tidak) sebab Allah menyebutkan sakinah, mawaddah, wa rahmah itu (di surat
Ar-Rum ayat 21) dalam konteks sebagai bukti kebesaran-Nya yang ada pada
pernikahan.
Lihatlah lafaz doa pernikahan. Apakah yang
didoakan itu adalah sakinah, mawaddah, wa rahmah? Tidak. Yang didoakan adalah
keberkahannya:
باَرَكَ اللهُ
لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ
“Semoga Allah
memberi berkah padamu, semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan
kalian berdua dalam kebaikan” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan yang lainnya)
Lihat juga hadits-hadits berikut ini. Yang digembar-gemborkan
Nabi saw tentang pernikahan adalah keberkahannya:
“Sesungguhnya pernikahan yang paling besar barakahnya
ialah yang paling mudah maharnya.” (HR. Ahmad)
“Sesungguhnya di antara tanda keberkahan istri adalah mudah meminangnya
dan mudah/ringan maharnya serta mudah rahimnya” (HR. Ahmad; hasan)
Lalu jika keberkahan itu ternyata terdapat
pada mudahnya mahar, lantas mengapa kita harus memperberat atau mempersulitnya?
Ingatlah bahwa
Rasulullah saw telah membolehkan mahar dengan hanya cincin dari besi.
Rasulullah juga membolehkan mahar dengan mengajarkan Alquran:
“Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu
untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat
Al-Qur’an yang dihafalnya. (HR. Bukhari & Muslim)
Rasulullah
telah menikahkan puterinya Fatimah denga Ali bin Abi Thalib dengan mahar sebuah
baju besi. Ingat pula, bahwa Rasululullah pernah menikahkan sahabatnya dengan mahar
hafalan Alquran:
“... Lalu seorang pria berdiri dan
mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya?’ Beliau bertanya,
‘Apakah engkau mempunyai sesuatu?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Beliau bersabda:
‘Pergilah, lalu carilah walaupun cincin yang terbuat dari besi!’
Ia pun pergi dan mencari, kemudian datang
seraya mengatakan: ‘Aku tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak pula mendapatkan
cincin dari besi.’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau hafal suatu surat dari
al-Qur-an?’ Ia menjawab: ‘Aku hafal ini dan itu.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah,
karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat Alquran yang engkau
hafal.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu, saya mengingatkan kepada semua kaum muslimin, janganlah mengada-ada dalam hal agama, karena dosanya amat berat. Dan jangan pula berlebih-lebihan dalam segala sesuatu, karena Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan.
Akhir kata,
Allah jualah yang bisa memberi petunjuk. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
**SELESAI**
(Buya Amin,
29 Okt 2016)
Bahan bacaan
yang mendukung tulisan ini:
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...