Menyuruh-nyuruh orang untuk kaya adalah
perbuatan bid’ah. Bid’ah apa? Bid’ah Sayyi'ah (Bid'ah yang buruk). Bahkan bisa jadi tergolong bid'ah yang sesat (bid’ah yang diancam
dengan hukuman neraka, wallohu a'lam). Kenapa? Karena ia bertentangan dengan hadits-hadits Nabi
Saw. Ia bertentangan dengan sikap Nabi dan para sahabatnya.
Ada seseorang berkata kepada Nabi saw, “Wahai
Rasulullah, demi Allah saya mencintai engkau.”
Nabi bersabda, “pikirkanlah benar-benar apa yang kamu katakan
itu.” Orang itu berkata, “Demi Allah, sungguh saya mencintai engkau,” ia
mengulanginya tiga kali.
Kemudian Nabi bersabda: “Apabila kamu mencintaiku, bersiap-siaplah
untuk
menghadapi kemiskinan dengan mengencangkan pinggang. Sesungguhnya kemiskinan itu lebih cepat datangnya kepada orang yang mencintaiku melebihi cepatnya banjir yang mengalir ke jurang.” (HR. Tirmidzi)
menghadapi kemiskinan dengan mengencangkan pinggang. Sesungguhnya kemiskinan itu lebih cepat datangnya kepada orang yang mencintaiku melebihi cepatnya banjir yang mengalir ke jurang.” (HR. Tirmidzi)
Di dalam hadits di atas Nabi saw justru
menyuruh orang untuk bersiap-siap terhadap kemiskinan. Bukan menyuruh orang untuk
menghindari kemiskinan. Bukan menyuruh-nyuruh orang untuk kaya.
Dalam hadits tersebut juga tergambar jelas
bahwa kemiskinan adalah resiko yang harus siap diterima oleh orang-orang yang
mencintai Nabi saw. Menyuruh-nyuruh orang untuk kaya, apalagi dengan kalimat
“umat Islam wajib kaya” tidakkah itu sama artinya dengan menghalang-halangi
orang untuk mencintai Nabi saw padahal mencintai Nabi saw itu dituntut pada
setiap muslim?
Kalau Anda berkilah dengan mengatakan bahwa
banyak sahabat Nabi yang kaya tetapi tetap mencintai Nabi saw. Maka perhatikanlah penjelasan berikut ini:
Betul, memang ada sahabat-sahabat Nabi saw yang kaya namun tetap mencintai Nabi saw. Utsman ra kaya, tetapi tetap mencintai Nabi saw. Abu Bakar ra kaya, tetapi tetap mencintai Nabi saw. Dan begitu pula dengan beberapa orang sahabat yang lainnya. Tetapi, siapakah mereka itu? Mereka adalah hamba-hamba Allah pilihan. Jangan Anda pikir bahwa semua orang akan mampu seperti mereka. Kebanyakan manusia, ketika bergelimang dengan harta, mereka justru akan cinta terhadap harta, bukan cinta kepada Nabi saw. Mereka akan sibuk di dalam kemaksiatan yang berarti jauh dari sikap mencintai Nabi saw.
Selanjutnya, para sahabat Nabi yang kaya itu, pernahkah mereka menyuruh-nyuruh orang untuk kaya? Perhatikan bedanya. “Kaya” dengan “menyuruh-nyuruh orang untuk kaya”, itu berbeda. Sahabat-sahabat Nabi yang kaya, mereka tidak pernah menyuruh-nyuruh orang untuk kaya. Sahabat-sahabat Nabi yang kaya, mereka selalu siap untuk miskin. Sehingga mereka tidak bertentangan dengan hadits di atas.
Betul, memang ada sahabat-sahabat Nabi saw yang kaya namun tetap mencintai Nabi saw. Utsman ra kaya, tetapi tetap mencintai Nabi saw. Abu Bakar ra kaya, tetapi tetap mencintai Nabi saw. Dan begitu pula dengan beberapa orang sahabat yang lainnya. Tetapi, siapakah mereka itu? Mereka adalah hamba-hamba Allah pilihan. Jangan Anda pikir bahwa semua orang akan mampu seperti mereka. Kebanyakan manusia, ketika bergelimang dengan harta, mereka justru akan cinta terhadap harta, bukan cinta kepada Nabi saw. Mereka akan sibuk di dalam kemaksiatan yang berarti jauh dari sikap mencintai Nabi saw.
Selanjutnya, para sahabat Nabi yang kaya itu, pernahkah mereka menyuruh-nyuruh orang untuk kaya? Perhatikan bedanya. “Kaya” dengan “menyuruh-nyuruh orang untuk kaya”, itu berbeda. Sahabat-sahabat Nabi yang kaya, mereka tidak pernah menyuruh-nyuruh orang untuk kaya. Sahabat-sahabat Nabi yang kaya, mereka selalu siap untuk miskin. Sehingga mereka tidak bertentangan dengan hadits di atas.
Menyuruh-nyuruh
orang untuk kaya dianggap perbuatan bid’ah adalah juga karena amat sedikit
orang yang berhasil selamat dalam ujian harta. Dengan banyaknya harta, kebanyakan
orang bukan malah bertambah pahalanya. Justru pahala mereka semakin sedikit. Siapa
yang bilang? Rasulullah saw. Perhatikan hadits berikut ini:
“Sesungguhnya
orang yang hartanya banyak adalah orang yang paling sedikit pahalanya di hari
kiamat kecuali orang yang berkata: ‘Ini untuk yang di sebelah kanan, ini untuk yang di sebelah kiri, dan yang lain untuk yang di belakang’ (maksudnya, ia sibuk mempergunakan hartanya untuk membantu manusia atau untuk hal-hal lainnya yang diperintahkan oleh Allah swt--pen). Tetapi
sangat sedikit orang yang sedemikian ini.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kenapa orang yang
banyak harta justru menjadi orang yang paling sedikit pahalanya? Karena kebanyakan
manusia justru lalai dengan harta kekayaannya itu. Mereka juga banyak yang kekurangan
ilmu yang berhubungan dengan masalah-masalah harta seperti tentang hukum-hukum
jual beli, seluk-beluk riba, seluk-beluk harta warisan, seluk-beluk zakat, dan
lain sebagainya. Dengan demikian, mereka justru banyak yang terjerumus ke dalam
kesalahan-kesalahan, baik ketika mencari harta atau ketika membelanjakan harta.
Mereka terjerumus pada kezaliman terhadap hak-hak manusia. Mereka juga
kebanyakan justru sibuk dengan menghitung-hitung, berusaha menambah lagi, atau
bersenang-senang dengan kekayaannya itu. Amat sedikit orang yang pandai
mengelola harta sesuai dengan ilmu-ilmu yang ada dalam Islam. Dan juga amat
sedikit orang yang berhasil sibuk menggunakan hartanya untuk beramal. Inilah
makna yang tergambar dari hadits di atas.
Menyuruh-nyuruh
orang untuk kaya, juga bertentangan dengan hadist berikut ini:
Rasulullah saw
bersabda, “Demi Allah, tidaklah kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap
kalian. Tetapi aku khawatir jika kekayaan dunia ini dihamparkan atas kalian
sebagaimana yang pernah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu
kalian akan berlomba-lomba pada kekayaan itu sebagaimana mereka telah
berlomba-lomba. Dan kemudian harta kekayaan itu akan membinasakan kalian
sebagaimana ia telah membinasakan mereka pula.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits di
atas, Rasulullah saw justru memperingatkan orang akan bahaya berlomba-lomba
mencari kekayaan. Tolong dicatat, hadits di atas menggambarkan bahwa: Berlomba-lomba
terhadap kekayaan itu berbahaya. Kenapa Anda, wahai sebagian umat Islam,
justru mendorong-dorong orang untuk berpacu terhadap kekayaan?
Bahaya menyuruh-nyuruh
orang untuk kaya bisa digambarkan seperti bahayanya menyuruh-nyuruh anak kecil
untuk mengambil air di sumur yang menganga. Bukannya air yang akan didapatkan
oleh anak-anak itu, tetapi justru mereka yang akan tercemplung ke dalam sumur
tersebut. Kenapa? Karena kekurang-akalan mereka, karena kekurang mampuan mereka
untuk berhati-hati dan waspada, dan juga karena kecendrungan mereka untuk lalai
dan bermain-main.
Harta kekayaan di
dunia bisa diibaratkan seperti air di sumur yang menganga. Sedangkan orang-orang
yang kurang iman, taqwa, dan ilmunya bisa diibaratkan seperti anak-anak kecil. Harus kita akui bahwa di dunia ini yang banyak
justru adalah orang-orang yang kurang iman, taqwa, dan ilmunya itu. Oleh karena
itu, menyuruh-nyuruh orang untuk berlomba-lomba mencari kekayaan, sama seperti
menyuruh anak-anak kecil untuk berlomba-lomba mendapatkan air di sumur yang
menganga tersebut. Kebanyakan mereka akan binasa (jatuh ke dalam sumur). Kemungkinan
bahayanya jauh lebih besar daripada kemungkinan manfaatnya. Rasulullah saw dan
para sahabatnya amat tahu akan hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak mau
melakukan hal tersebut. Mereka tidak mau menyuruh-nyuruh orang untuk kaya,
apalagi berpacu-pacu di dalamnya.
Dalam Islam
cukuplah sekedar membolehkan orang untuk mencari kekayaan. Atau kalau mau
menyuruh, suruhlah orang untuk bekerja. Bukan menyuruh-nyuruh orang untuk kaya.
Menyuruh bekerja itu tidak sama dengan menyuruh kaya. Karena
tidak setiap orang yang bekerja akan pasti menjadi kaya. Islam hanya
mementingkan bekerja bukan mementingkan kaya.
Di masa
Rasulullah s.a.w., ada ashabus suffah
atau disebut juga dengan ahli suffah. Ahli Suffah adalah tamu-tamu Islam
yang terdiri dari sahabat-sahabat Nabi s.a.w. yang amat miskin. Saking
miskinnya, sampai-sampai mereka sering menahan lapar karena tak memiliki
sesuatu pun untuk dimakan. Bahkan tak jarang, ada di antara mereka yang
tersungkur saat salat berjama’ah bersama Nabi karena tak kuat lagi menahan
lapar[1]. Tapi
pernahkah Nabi menyuruh mereka untuk mengubah keadaan mereka yang seperti itu?
Pernahkah Nabi menyuruh mereka untuk berubah menjadi kaya? Tak pernah sama
sekali, Saudaraku. Justru yang ada adalah hadits yang menerangkan bahwa setelah
selesai salat, Nabi saw mendekati mereka dan bersabda: “Andaikan kalian
mengetahui pahala yang disediakan Allah, niscaya kalian akan meningkatkan
kemiskinan dan kelaparan” (H.R. Tirmidzi. Bisa ditemukan di antaranya pada Terjemah
Riyadhus Shalihin jilid I, hal. 488, penerbit Pustaka Amani-Jakarta, cet.
IV, thn. 1999).
Nabi tak pernah
mencela para ahli suffah yang miskin-miskin itu. Bahkan sebaliknya, beliau amat
menghormati dan memuliakan mereka. Nabi sering menjamu mereka makan dan minum
serta menyuruh pula para sahabat untuk menjamu mereka sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
Sebaliknya, para
ahli suffah tersebut, meskipun mereka dalam kondisi miskin yang sedemikian
rupa, mereka tetap menjaga akhlak dan kehormatan diri mereka. Mereka tidak suka
meminta-minta. Mereka rido, sabar, dan tidak mengeluh atas kemiskinan mereka.
Mereka juga tidak merasa minder bila bertemu dengan orang-orang kaya.
Yang patut
diingat, mereka miskin pastilah bukan karena malas bekerja, tapi karena
faktor-faktor lain yang dibenarkan oleh agama. Karena jika mereka malas,
pastilah Rasulullah s.a.w. sudah menegur mereka karena Islam tidak membenarkan
sikap kemalasan.
Selain ahli
suffah, ada juga sahabat Nabi yang lain yang tergolong miskin. Abu Hurairah
r.a., misalnya. Abu Hurairah mengaku, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain
Dia. Aku sering menekan rongga perutku ke tanah karena lapar. Juga sering
mengikatkan batu di perutku karena lapar.” (H.R. Bukhari). “Sungguh aku pernah
jatuh pingsan di antara mimbar Rasulullah s.a.w. dan jalan yang menuju ke bilik
Aisyah r.a., kemudian seseorang mendatangiku dan menginjakkan kakinya ke
leherku. Ia menyangka bahwa aku gila. Padahal aku tidak gila, hanya saja
terlalu lapar.” (H.R. Bukhari).
Sedemikianlah
keadaan miskinnya Abu Hurairah. Tapi pernahkah Rasulullah mendorong-mendorongnya
untuk mengubah nasib agar menjadi kaya? Jika Islam memang menyuruh umatnya
untuk kaya, niscaya akan ditemui hadits-hadits yang mendorong para ahli suffah
atau orang-orang semacam Abu Hurairah untuk segera mengejar kekayaan.
Betul
ada beberapa orang sahabat Nabi saw yang kaya. Tapi pernahkah mereka yang
kaya-kaya itu menyuruh-nyuruh orang lain untuk kaya pula? Pernahkah mereka
menggelisahkan umat dengan mengatakan, “Ayo, umat Islam harus kaya” seperti
yang sering Anda dengung-dengungkan bersama kawan-kawan Anda itu?
Bukankah
Utsman, sahabat Nabi saw yang cukup terkenal kekayaannya, ketika dikatakan
kepadanya, “Wahai orang kaya, betapa mulianya kalian di mata Allah. Kalian
pergi dengan membawa kebaikan, kalian bersedekah, kalian memerdekakan budak,
kalian pergi haji dan berinfak. Sungguh kami iri dengan keadaan kalian
tersebut.”
Utsman
bin Affan justru berkata, “Kalian iri kepada kami? Padahal kamilah yang
seharusnya iri kepada kalian.”
Utsman
melanjutkan, “Demi Allah, pastilah uang satu dirham yang di infaqkan seseorang
dengan susah payah itu lebih baik daripada 10 ribu dirham orang kaya.” (lihat
dalam http://www.fimadani.com)
Bukankah
pula, ketika orang-orang miskin mengadu kepada Rasulullah saw tentang perbedaan
mereka dengan orang-orang kaya, Rasulullah saw tidak memotivasi mereka untuk
mencari kekayaan. Rasulullah hanya mengajarkan mereka untuk membaca tasbih,
takbir, dan tahmid, masing-masing 33 kali setiap selesai shalat (berdasarkan
hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Lalu
metode siapakah yang Anda tiru dalam beragama ini sehingga Anda mengambil sikap
menyuruh-nyuruh orang untuk kaya? Dari siapakah Anda mengambil agama Anda
sehingga mau berbuat yang demikian?
Kalau
Anda ingin kaya, silakan. Islam tidak pernah melarang umatnya untuk kaya. Kalau
Anda ingin mencari harta, silakan. Islam tidak melarang umatnya mencari harta.
Kalau Anda rajin bekerja, bagus. Islam menyuruh umatnya untuk bekerja.
Tapi
kalau Anda mengatakan, “umat Islam harus kaya”, itu adalah hal yang tidak benar.
Kalau Anda mengatakan, “Umat Islam wajib kaya” itu adalah kesesatan. Kalau Anda
mengatakan “Rasulullah saw adalah seorang yang kaya harta”, itu mengada-ada
(dan resikonya sangat berat di akhirat).
Cukuplah
Anda bekerja secara halal dan sesuai dengan syariat. Masalah kaya atau miskin,
serahkanlah kepada Allah. Allah lah yang lebih tahu manakah keadaan yang lebih
baik dan lebih selamat untuk Anda di dunia dan di akhirat. Allah lah yang lebih
tahu manakah ujian yang lebih sanggup untuk Anda pikul (apakah ujian kemiskinan
ataukah ujian kekayaan).
Jika
Anda diuji dengan kekayaan, maka jalankanlah tugas-tugas Anda sebagai orang
kaya (berzakat, berhaji, membantu karib kerabat, menolong para fakir-miskin,
menyantuni anak-anak yatim, dll). Jika Anda diuji dengan kemiskinan, janganlah
berkecil hati dan berburuk sangka kepada keputusan-keputusan Allah. Kemiskinan
memang pahit dan tidak menyenangkan. Tapi ingatlah, banyak kelebihan yang
sebenarnya dimiliki oleh orang-orang miskin apabila mereka mau bersikap benar di
dalam kehidupannya. Mereka lebih punya waktu untuk berzikir. Sedekah mereka
yang jumlah nominalnya sangat kecil, bisa jadi berkali-kali lipat pahalanya
dibandingkan dengan sedekahnya orang-orang kaya. Peluang dosa mereka lebih
sedikit. Hisab mereka di akhirat akan lebih ringan. Mereka akan lebih dulu
masuk surga dengan masa yang amat lama dibandingkan dengan orang-orang kaya.
Demikian
dululah tulisan kita kali ini. Pada akhirnya, Allah jua lah yang mampu memberi
petunjuk. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. (Buya Amin/17-okt-2016)
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...