Saturday 9 September 2017

Sikap Rasulullah saw Ternyata Tidak Sama Dengan Wahabi/Salafi Di Dalam Masalah Bid'ah

Mungkin kelompok Wahabi/Salafi merasa “paling nyunnah”  (paling mengikuti Nabi) di dalam segala hal selama ini. Tetapi masalahnya, apakah benar mereka seperti itu (apakah benar mereka selama ini selalu mengikuti Nabi)?

Mengaku-ngaku atau merasa-rasa sih boleh-boleh saja, dan mungkin bisa dilakukan oleh semua orang. Tetapi masalahnya, apakah pengakuan/perasaan kita itu diakui/dibenarkan oleh pihak-pihak yang berkompeten, berwenang, atau bahkan oleh pribadi yang bersangkutan?


Mengaku-ngaku atau merasa paling dekat dengan Pak Bupati, misalnya. Mungkin boleh saja dan bisa dilakukan semua orang. Tetapi masalahnya, apakah pihak-pihak yang berwenang ataupun Pak Bupati sendiri mengakui perasaan atau pengakuan tersebut? Belum tentu.

Nah, pihak Wahabi/Salafi mungkin merasa paling mengikuti Nabi di dalam segala hal, termasuk di dalam masalah bid’ah. Mereka gampang saja menuduh-nuduh bid’ah atau sesat terhadap amal-amal yang dilakukan oleh kaum muslimin yang bukan kelompok mereka (seperti yasinan, maulid Nabi, tahlilan, dan lain sebagainya). Alasan klasiknya dari dulu cuma satu: amal tersebut tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Nabi saw. Sementara Nabi sendiri, adakah mencontohkan sikap yang demikian itu? Maksudnya, adakah Nabi Muhammad saw selalu langsung menyalahkan amalan sahabat-sahabatnya alias menganggapnya bid’ah apabila amalan tersebut tidak pernah dicontohkan atau dilakukan oleh beliau?

Sebuah kisah kecil berikut ini akan memberikan gambaran kepada Anda bagaimana jawaban dari pertanyaan di atas.

Rasulullah saw pernah mengutus seorang sahabat, katakanlah namanya si A (penulis belum pernah menemukan keterangan tentang nama orang/sahabat tersebut) untuk menjadi imam di dalam sebuah pasukan. Pasukan tersebut shalat diimami oleh si A.

Tetapi anehnya, si A ini selalu membaca surah Al-ikhlash (qul huwallohu ahad) di dalam setiap kali mengimami kaumnya. Tentu saja surah tersebut di baca di rakaat pertama dan kedua setelah Alfatihah sesuai dengan tatacara di dalam salat.

Perbuatan selalu membaca surah Al-Ikhlas di dalam shalat ini, tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah kalau salat mengimami jama’ahnya, surah yang dibaca oleh beliau biasanya berbeda-beda atau berganti-ganti. Selain tidak pernah mencontohkan, beliau juga tidak pernah menyuruh atau menganjurkan sahabatnya untuk selalu membaca sebuah surat tertentu di dalam shalat.

Maka diceritakanlah perbuatan si A ini kepada Rasulullah saw. Kira-kira, andaikata Rasulullah saw itu sama dengan orang-orang wahabi, atau dengan bahasa lain, andaikata pemahaman tentang bid’ah itu adalah benar seperti yang diterapkan oleh kaum wahabi/salafi selama ini kepada kaum muslimin, maka apakah yang akan atau semestinya dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap sahabatnya, si A tersebut?

Mungkin kaum Wahabi/Salafi menduga bahwa Rasulullah saw akan langsung memanggil atau menegur si A itu. Semestinya Rasul saw akan mengatakan kepada si A: “Wahai si A, kenapa kamu melakukan bid’ah? Kenapa kamu melakukan sesuatu yang tidak pernah aku contohkan di dalam agama ini? Apakah kamu tidak takut siksa neraka? Setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di dalam neraka. Oleh karena itu, kamu harus berhenti dari mengerjakannya!!!”

Bukankah semestinya begitu yang akan dilakukan oleh Rasulullah saw kepada si A andaikata benar bahwa kaum wahabi/salafi selama ini mengikuti Rasulullah saw?

Ternyata bukan itu yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Rasulullah tidak menyuruh menegur atau menyalahkan si A tersebut. Rasulullah hanya memerintahkan kepada sahabat yang menceritakannya, agar bertanya kepada si A: “Kenapa dia melakukan hal itu”.

سَلُوْهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ؟
(tanyalah kepadanya kenapa dia melakukan hal itu?)

Setelah ditanyakan kepada si A, si A menjawab:
لِأَنَّهَـا صِفَةُ الرَّحْمنِ فَأَنَا أُحِبُّ اَنْ اَقْرَأَ بِهَـا
(Karena surah tersebut mengandung sifat Ar-Rahman, maka aku suka membaca surah tersebut)

Setelah diketahui alasannya, maka diceritakanlah alasan tersebut kepada Rasulullah saw. Setelah mengetahui alasan itu, kira-kira apa sikap yang yang akan diambil oleh Rasulullah saw?

Seandainya Rasulullah saw itu sama dengan kaum wahabi/salafi, atau dengan kata lain, andaikata benar bahwa kaum wahabi/salafi itu selama ini mengikuti Rasulullah saw di dalam masalah bid’ah, maka semestinya sikap yang diambil oleh Rasulullah saw adalah mengatakan: “Tidak peduli!!! Apapun alasannya, itu adalah bid’ah, karena tidak pernah aku lakukan atau aku ajarkan. Suruh dia berhenti dari bid’ahnya itu. Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu di neraka!!”

Semestinya begitu kan sikap yang diambil oleh Rasulullah saw kalau seandainya masalah bid’ah ini sama seperti apa yang dipahami oleh kaum wahabi/salafi selama ini?

Tetapi, ternyata: TIDAK

Sikap yang diambil oleh Rasulullah saw adalah mengatakan:
أَخْبِرُوْهُ إِنَّ اللّهَ تَعَلَى يُحِبُّهُ
(“kabarkan kepadanya bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala mencintainya”)

Luar biasa, dan di luar dugaan kaum wahabi. Ternyata Rasulullah bukan hanya tidak menegur si A. Bukan hanya tidak menyesat-nyesatkannya. Bukan hanya tidak mengancam si A dengan neraka. Bahkan Rasulullah memerintahkan: “kabarkan kepadanya bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala mencintainya”.

Pernahkah terpikir hal ini oleh kaum-kaum wahabi/salafi?

Begitulah kisah kecil yang pernah terjadi di zaman Rasulullah saw terkait masalah bid’ah. Masalah ini adalah masalah agama, bukan masalah dunia. Jadi, bid’ahnya adalah bid’ah agama, bukan bid’ah dunia.

Masalah ini juga bukan “maslahah mursalah”. Tapi hanya sekedar amal yang berfadhilah. Maka jelas salah-lah kaum wahabi/salafi yang hanya memperkecil pembolehan bid’ah itu pada sekitar hal-hal yang mengandung maslahah mursalah saja.

Maka, semestinya, kalau benar kaum wahabi/salafi itu mengikuti Rasulullah saw, maka ketika ada seseorang yang melakukan suatu amal fadhilah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, semestinya yang dilakukan adalah bertanya: “Kenapa engkau melakukan hal itu, wahai saudaraku?” Ketika alasan yang disebutkan oleh si pelaku sudah dapat dibenarkan oleh syariat, maka stoplah mulutmu dari menuduh-nuduh bid’ah kepada saudaramu itu.

Semoga dapat menjadi pelajaran bagi kaum wahabi salafi. 
Cerita tersebut terdapat di dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di antaranya, bisa ditemukan di dalam kitab Riyadus Shalihin karya Imam Nawawi dalam bab “Tanda-Tanda Kecintaan Allah Ta’ala Kepada Hambanya”.

Berikut terjemahan hadits tersebut menurut versi sebuah buku terjemahan:

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw mengutus seseorang untuk mengimami salat pada suatu pasukan. Dalam salatnya, ia selalu menutup bacaannya dengan ucapan: “QUL HUWALLOHU AHAD” (Surat Al-Ikhlas). Ketika pulang, mereka menceritakan hal yang demikian itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: “Tanyakan kepadanya, mengapa ia berbuat demikian?” Mereka pun menanyakannya, dan orang itu menjawab: “Karena ayat itu mengandung sifat Zat yang Maha Pemurah, maka saya senang membacanya”. Setelah disampaikan kepada Rasulullah saw, beliau bersabda: “Beritahukan kepadanya, bahwa Allah Ta’ala mencintainya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan teks haditsnya adalah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَة أَنَّ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَا تِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّه أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَ ي شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ فَسَألَوْهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ فَأنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أخبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّه
(رواه البخاري و مسلم)


2 comments:

  1. Bismillahirrahmanirrahim
    Afwan, terdapat banyak tuduhan terhadap salafi ini, tapi tentunya tidak setiap tuduhan benar.
    Secara tidak langsung penulis menyatakan salafi langsung membid'ahkan orang tanpa bertanya
    Ini merupakan kesalahan sebab tentunya mereka membid'ahkan dengan dasar. Dalil dalil nya juga tidak asal pilih Niat mereka membid'ahkan pun demi menjalani suatu agama yang lurus.

    ReplyDelete
  2. Mengenai kisah diatas, tentunya tidak masalah seseorang menyukai satu surah namun asal tidak menspesialkan, dengan mengesampingkan surah lainnya.
    Beda cerita dengan tahlilan dll. Cakupan nya juga berbeda. Shalat itu merupakan ibadah yang jelas semua setuju wajib dilakukan. Dan persoalan surah al ikhlas itu hanya sebagian kecil dari shalat tersebut. Nah beda dengan tahlilan, karena tahlilan terpisah dari ibadah lainnya sehingga seperti ibadah baru. Inilah yang dikhawatirkan
    Dalam pelaksanaan tahlilan pun, do'a do'a nya cenderung dibacakan secara cepat, padahal tuntunan nabi pun setau saya harus tartil.

    ReplyDelete

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...