Monday, 28 November 2016

Penjelasan Tentang Istihsan dari Beberapa Situs




Tentang Istihsan dan Pengertiannya
Assalamu ‘alaikum wr, wb.
Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan rahim-Nya kepada kita semua, amin.
Pak Ustadz, saya minta tolong diterangkan tentang makna istilah istihsan. Mengapa dalam mazhab Asy-syafi’i tidak dikenal istilah itu? Dan bisakah dijelaskan contoh kongkrit penggunaan istihsan dalam kehidupan nyata?

Wassalamu’alaikum wr, wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah salah satu metodologi yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja, tidak semuanya.

Al-Imam Asy-Syafi’i dalam mazhabnya termasuk kalangan ulama yang tidak menerima istihsan dalam merujuk sumber-sumber syariah Islam. Sebaliknya, Al-Imam Abu Hanifah justru menggunakannya. Di samping madzhab Hanafi, termasuk sebagian madzhab Maliki dan madzhab Hambali.

Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.

Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.

Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi’i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Imam Syafi’i berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu."

Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum."

Contoh Istihsan
Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.

Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.
Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.

Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa.
Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

Contoh Lain
Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Padahal seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya.

Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antarai oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.

Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Sumber:
diakses pada 26 Nov 2016

Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Pengertian Istihsan dan Dalil Kehujjahannya

 

PENGERTIAN ISTIHSAN MENURUT BAHASA DAN ISTILAH
Pengertian istihsan menurut bahasa adalah menganggap dan meyakini baik suatu perkara.

Makna pengertian istihsan menurut istilah adalah mengamalkan dalil yang paling kuat dari dua dalil, atau mengambil kemaslahatan juz’iyah untuk menandingi dalil yang bersifat umum .

KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Ulama’ berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan sebagai berikut :
1.     Ulama’ Hanafiyah, Hanabillah, dan Malikiyah mengatakan : istihsan adalah hujjah syar’iyah.
2.     selain mereka termasuk Imam Syafi’i mengingkari istihsan sebagai hujjah syar’iyah.

DALIL-DALIL ORANG YANG MENGINGKARI ISTIHSAN
1.     Bahwasanya hanya diperbolehkan menghukumi dengan nash atau yang diqiyaskan dengan nash, dan tidak boleh dengan selain keduanya, karena akan menciptakan syari’at dengan hawa nafsu dan itu merupakan perbuatan batil.
2.     Nabi tidak memberi fatwa dengan istihsan tetapi menunggu sampai turunnya wahyu, dan andaikan Nabi memakai istihsan, Nabi tidak mungkin salah, sebab apa yang diucapkan Nabi tidak mungkin keluar dari hawa nafsu.
3.     Istihsan pondasinya adalah aqal yang mana orang ’alim dan orang bodoh sama kedudukannya, dan andaikan istihsan diperbolehkan maka berarti setiap orang boleh menciptakan syari’at yang baru untuk dirinya sendiri.

DALIL-DALIL ULAMA’ YANG MENETAPKAN ISTIHSAN
1.     Mengambil istihsan berarti meninggalkan perkara yang sulit menuju perkara yang mudah, dan ini merupakan pokok agama islam. Allah berfirman :
يريدالله بكم اليسر ولايريدبكم العسر
Artinya : “Allah menghendaki kamu kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran padamu .”
Allah juga berfirman :
واتبعوا أحسن ماأنزل إليكم
Artinya : “Ikutilah yang paling bagus dari yang di turunkan padamu.”
Diriwayatkan dari ibnu mas’ud :
ما رأه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن
Artinya :  “Bahwa apa yang di pandang baik oleh orang-orang muslim adalah baik disisi Allah”.
2.     Ketetapan istihsan adalah dengan dalil-dalil yang telah disepakati ulama’ bahwa dalil tersebut adalah hujjah, karena istihsan:

a.      Adakalanya ditetapkan dengan atsar, seperti aqad salam/pesan, sewa-menyewa, dan tidak batalnya puasa karena makan dalam keadaan lupa.
b.     Adakalanya dengan ijma’, seperti bolehnya aqad istisna’ (pesan membuat sesuatu).
c.      Adakalanya dengan dhorurat, seperti sucinya kolam dan sumur setelah terkena najis dengan menumpahkan air.
d.     Adakalanya dengan qiyas khofi, seperti sucinya air sisa minuman binatang buas.
e.      Adakalanya dengan ’urf, seperti ongkos masuk kamar mandi umum .
f.       Adakalanya dengan maslahah, seperti ganti rugi atas diri seorang pemakai.

MEMBANDINGKAN DAN MENGKAJI ANTARA DUA DALIL DI ATAS
Setelah membandingkan dan mengkaji dalil-dalil ulama’ yang mengingkari dan yang menetapkan istihsan, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada titik temu yang melandasi adanya perbedaan, karena yang diingkari Imam Syafi’i adalah istihsan yang dibangun hanya berdasarkan aqal, pendapat dan kesenangan tanpa berlandaskan dalil syar’i. Dan istihsan seperti ini bukanlah yang dikehendaki oleh Imam Hanafi dan para pengikutnya. Perselisihan antara ulama’ yang mengingkari dan yang menetapkan hanyalah perselisihan dalam segi lafadznya saja, yaitu :

1.     Jika yang dikehendaki dengan istihsan adalah ucapan yang dianggap bagus dan disenangi oleh manusia tanpa ada dalil, maka istihsan ini adalah batil dan tidak ada satu orang pun yg menerima.
2.  Bila yang dikehendaki dari istihsan adalah pindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat maka tidak akan ada orang yang akan mengingkarinya bahkan semua akan setuju dan menerimanya.

Sumber:
diakses pada: 26 Nov 2016

Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Istihsan

Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT dalam menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum.

1. Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.

Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua.

Sedangkan pada istihsan, hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.

2. Dasar hukum istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi. Menurut mereka, istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya.

Menurut mereka, jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan juga boleh karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan.

Di samping Madzhab Hanafi, golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali.

Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata: "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara' hanyalah Allah SWT."

Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan: "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT dalam menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".

3. Macam-macam istihsan
Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:

1.     Pindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu.
2.     Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.

Contoh istihsan macam pertama:
(a) Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu adalah hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu, dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan.

Menurut qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.

Sedang menurut istihsan, hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan.

Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

(b)Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas --seperti sisa burung elang, burung gagak, dan sebagainya--  adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.

Menurut qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas, adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya.

Namun, menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk, dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis.

Karena itu, sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantarai oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini, keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

Contoh istihsan macam kedua:

(a) Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.

(b)Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualikan transaksi yang berupa waqaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan waqaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).

Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan hukum kulli. Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi kepada:

1.     Istihsan dengan sandaran qiyas khafi;
2.     Istihsan dengan sandaran nash;
3.     Istihsan dengan sandaran 'urf; dan
4.     Istihsan dengan sandaran keadaan darurat.

Sumber:
diakses pada: 26 Nov 2016

Collected by: Media Muslim

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...