Tentang Istihsan dan
Pengertiannya
Assalamu
‘alaikum wr, wb.
Semoga Allah
SWT memberikan rahmat dan rahim-Nya kepada kita semua, amin.
Pak Ustadz,
saya minta tolong diterangkan tentang makna istilah istihsan. Mengapa
dalam mazhab Asy-syafi’i tidak dikenal istilah itu? Dan bisakah dijelaskan
contoh kongkrit penggunaan istihsan dalam kehidupan nyata?
Wassalamu’alaikum
wr, wb.
Assalamu
‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Istihsan adalah salah
satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan Al-Quran,
Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para ulama
sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah salah satu metodologi yang
digunakan hanya oleh sebagian ulama saja, tidak semuanya.
Al-Imam
Asy-Syafi’i dalam mazhabnya termasuk kalangan ulama yang tidak menerima istihsan
dalam merujuk sumber-sumber syariah Islam. Sebaliknya, Al-Imam Abu Hanifah
justru menggunakannya. Di samping madzhab Hanafi, termasuk sebagian madzhab
Maliki dan madzhab Hambali.
Pengertian
Istihsan
Menurut bahasa,
istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul
fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil
syara’.
Jadi
singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada
hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.
Misal yang
paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan
bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya
pencuri harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian
hukum ini ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan
pencuri. Ini adalah hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang
menguatkannya.
Mula-mula
peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil
pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Khilaf Tentang
Dasar Hukum Istihsan
Yang
menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah
Al-Imam As-Syafi’i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya
berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Imam Syafi’i
berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan
sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak
menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, "Perumpamaan orang yang
melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke
suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada
dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu."
Namun kalau
diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab
Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan,
bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka
seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan
pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi.
Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, "orang
yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum."
Contoh
Istihsan
Menurut
madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka
dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab
kalau menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena
tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.
Pada jual
beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila
waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.
Sedang
menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada
sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh
manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.
Demikian
pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang
diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika
memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli
(qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang
diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain,
yaitu sewa-menyewa.
Kedua
peristiwa ini ada persamaan ‘illat-nya yaitu mengutamakan manfaat barang
atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan,
yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali
kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh Lain
Menurut
Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan
sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Padahal
seharusnya kalau menurut qiyas (jali), sisa minuman binatang buas, seperti
anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah
bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang
buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat
minumnya.
Sedangkan
menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas.
Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung
buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau
zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak
bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antarai oleh paruhnya,
demikian pula air liurnya.
Dalam hal
ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan
binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali
kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Wallahu
a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad
Sarwat, Lc
Sumber:
diakses pada
26 Nov 2016
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Pengertian Istihsan dan Dalil Kehujjahannya
PENGERTIAN ISTIHSAN MENURUT BAHASA DAN ISTILAH
Pengertian istihsan menurut bahasa adalah menganggap
dan meyakini baik suatu perkara.
Makna pengertian istihsan menurut istilah adalah
mengamalkan dalil yang paling kuat dari dua dalil, atau mengambil kemaslahatan
juz’iyah untuk menandingi dalil yang bersifat umum .
KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Ulama’ berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan
sebagai berikut :
1.
Ulama’
Hanafiyah, Hanabillah, dan Malikiyah mengatakan : istihsan adalah hujjah
syar’iyah.
DALIL-DALIL ORANG YANG MENGINGKARI ISTIHSAN
1.
Bahwasanya
hanya diperbolehkan menghukumi dengan nash atau yang diqiyaskan dengan nash,
dan tidak boleh dengan selain keduanya, karena akan menciptakan syari’at dengan
hawa nafsu dan itu merupakan perbuatan batil.
2.
Nabi
tidak memberi fatwa dengan istihsan tetapi menunggu sampai turunnya wahyu, dan
andaikan Nabi memakai istihsan, Nabi tidak mungkin salah, sebab apa yang
diucapkan Nabi tidak mungkin keluar dari hawa nafsu.
3.
Istihsan
pondasinya adalah aqal yang mana orang ’alim dan orang bodoh sama kedudukannya,
dan andaikan istihsan diperbolehkan maka berarti setiap orang boleh menciptakan
syari’at yang baru untuk dirinya sendiri.
DALIL-DALIL ULAMA’ YANG MENETAPKAN ISTIHSAN
1.
Mengambil
istihsan berarti meninggalkan perkara yang sulit menuju perkara yang mudah, dan
ini merupakan pokok agama islam. Allah berfirman :
يريدالله بكم اليسر ولايريدبكم العسر
Artinya : “Allah menghendaki kamu kemudahan dan
tidak menghendaki kesukaran padamu .”
Allah juga berfirman :
واتبعوا أحسن ماأنزل إليكم
Artinya : “Ikutilah yang paling bagus dari yang di
turunkan padamu.”
Diriwayatkan dari ibnu mas’ud :
ما رأه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن
Artinya : “Bahwa apa yang di pandang baik
oleh orang-orang muslim adalah baik disisi Allah”.
2.
Ketetapan
istihsan adalah dengan dalil-dalil yang telah disepakati ulama’ bahwa dalil
tersebut adalah hujjah, karena istihsan:
a.
Adakalanya
ditetapkan dengan atsar, seperti aqad salam/pesan, sewa-menyewa, dan tidak
batalnya puasa karena makan dalam keadaan lupa.
b.
Adakalanya
dengan ijma’, seperti bolehnya aqad istisna’ (pesan membuat sesuatu).
c.
Adakalanya
dengan dhorurat, seperti sucinya kolam dan sumur setelah terkena najis dengan
menumpahkan air.
d.
Adakalanya
dengan qiyas khofi, seperti sucinya air sisa minuman binatang buas.
e.
Adakalanya
dengan ’urf, seperti ongkos masuk kamar mandi umum .
f.
Adakalanya
dengan maslahah, seperti ganti rugi atas diri seorang pemakai.
MEMBANDINGKAN DAN MENGKAJI ANTARA DUA DALIL DI ATAS
Setelah membandingkan dan mengkaji dalil-dalil ulama’
yang mengingkari dan yang menetapkan istihsan, dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya tidak ada titik temu yang melandasi adanya perbedaan, karena yang
diingkari Imam Syafi’i adalah istihsan yang dibangun hanya berdasarkan aqal,
pendapat dan kesenangan tanpa berlandaskan dalil syar’i. Dan istihsan seperti
ini bukanlah yang dikehendaki oleh Imam Hanafi dan para pengikutnya.
Perselisihan antara ulama’ yang mengingkari dan yang menetapkan hanyalah
perselisihan dalam segi lafadznya saja, yaitu :
1.
Jika
yang dikehendaki dengan istihsan adalah ucapan yang dianggap bagus dan
disenangi oleh manusia tanpa ada dalil, maka istihsan ini adalah batil dan
tidak ada satu orang pun yg menerima.
2. Bila yang dikehendaki dari istihsan adalah pindah dari
satu dalil ke dalil yang lebih kuat maka tidak akan ada orang yang akan
mengingkarinya bahkan semua akan setuju dan menerimanya.
Sumber:
diakses
pada: 26 Nov 2016
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Istihsan
Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT dalam menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum.
1. Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau
mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang
telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar
dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu
juga, karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Qiyas berbeda dengan istihsan. Pada qiyas ada dua
peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan
hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa
pertama. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama
sama dengan hukum peristiwa kedua.
Sedangkan pada istihsan, hanya ada satu peristiwa atau
kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu,
pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi
kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari
seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian,
sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan
untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
2. Dasar hukum istihsan
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab
Hanafi. Menurut mereka, istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan
qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada
ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya.
Menurut mereka, jika dibolehkan menetapkan hukum
berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan juga
boleh karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang
berlainan.
Di samping Madzhab Hanafi, golongan lain yang
menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab
Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya
sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsan menurut mereka adalah
menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi'i berkata:
"Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri
hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan
hukum syara' hanyalah Allah SWT."
Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau,
dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti
orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan
bahwa arah itu adalah arah Ka'bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat
syara' untuk menentukan arah Ka'bah itu."
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua
pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas
bahwa istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut
pendapat Madzhab Syafi'i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas,
dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang
menurut Madzhab Syafi'i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian
pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik,
kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu
dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan:
"orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan
rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang
diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT dalam menciptakan
syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum".
3. Macam-macam istihsan
Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama
ushul fiqh di atas, maka istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu:
1.
Pindah
dari qiyas jali kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan
pemindahan itu.
2.
Pindah
dari hukum kulli kepada hukum juz-i, karena ada dalil yang mengharuskannya.
Istihsan macam ini oleh Madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena
penyimpangan itu dilakukan karena suatu kepentingan atau karena darurat.
Contoh istihsan macam pertama:
(a) Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan
sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu adalah hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu, dan sebagainya. Hal ini
ditetapkan berdasar istihsan.
Menurut qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh,
karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting
ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan
kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.
Sedang menurut istihsan, hak tersebut diperoleh dengan
mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting
ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa
barang. Demikian pula halnya dengan waqaf. Yang penting pada waqaf ialah agar barang
yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan.
Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika
memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli
(qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang
diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashalnya yang lain,
yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan 'illatnya yaitu
mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi.
Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
(b)Menurut Madzhab Hanafi: sisa minuman burung buas --seperti
sisa burung elang, burung gagak, dan sebagainya-- adalah suci dan halal diminum. Hal ini
ditetapkan dengan istihsan.
Menurut qiyas jali, sisa minuman binatang buas,
seperti anjing dan burung-burung buas, adalah haram diminum karena sisa minuman
yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya.
Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke
tempat minumnya.
Namun, menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya
dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram
dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau
zat tanduk, dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis.
Karena itu, sisa minum burung buas itu tidak bertemu
dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantarai oleh paruhnya, demikian
pula air liurnya. Dalam hal ini, keadaan yang tertentu yang ada pada burung
buas membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.
Contoh istihsan macam kedua:
(a) Syara' melarang seseorang memperjualbelikan atau
mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat
jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan
perjanjian yang disebut hukum kuIIi. Tetapi syara' memberikan rukhshah (keringanan)
kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim
kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian
secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan
lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu
merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum
juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam
masyarakat.
(b)Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki
harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan
transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualikan transaksi
yang berupa waqaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena
dengan waqaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan
diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya (hukum juz-i).
Dari contoh di atas nampak bahwa karena adanya suatu
kepentingan atau keadaan maka dilaksanakanlah hukum juz-i dan meninggalkan
hukum kulli. Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi kepada:
1.
Istihsan
dengan sandaran qiyas khafi;
2. Istihsan dengan sandaran nash;
3. Istihsan dengan sandaran 'urf; dan
4.
Istihsan
dengan sandaran keadaan darurat.
Sumber:
diakses
pada: 26 Nov 2016
Collected
by: Media Muslim
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...