Monday, 28 November 2016

Kedustaan Kelompok Wahabi tentang Ucapan Imam Syafi’i




Telah masyhur di kalangan ulama Ahlus Sunnah Waljama’ah bahwa Imam Syafi’i membenarkan atau membolehkan adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Hal ini dikarenakan Imam Syafi’i sendiri yang berkata sebagai berikut:

 
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang
dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, Jilid 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

Bahkan Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah (ulama yang sering menjadi rujukan kelompok Wahabi) dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa juz. 20, hal. 163.

Tapi anehnya, dengan segala daya upaya, kelompok Wahabi berusaha menolak ucapan Imam Syafi’i tersebut. Mereka mencari-cari alasan agar ucapan Imam Syafi’i itu menjadi mentah di kalangan umat Islam.

Kalau hujjah mereka itu fair sih, tidak apa-apa. Tapi kelompok Wahabi ini, kalau sudah terdesak, mereka terkesan menghalalkan segala macam cara. Salah satu alasan yang mereka ajukan dalam menolak ucapan Imam Syafi’i ini adalah sebagai berikut:

“Tidak mungkin beliau menginginkan dengan perkataan beliau ini akan bolehnya atau adanya bid’ah hasanah, karena beliau sendiri yang telah berkata, “Barangsiapa menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syari’at”.

Benarkah Imam Syafi’i telah berkata seperti itu?

Di sinilah, di antara bentuk kecurangan kelompok Wahabi dalam membenarkan pendapat-pendapat mereka yang batil. Ini suka mereka lakukan sebenarnya, tetapi biasanya orang awam tidak tahu kalau mereka itu sudah “dikadali” (dibohongi). Mari kita kita tunjukkan yang sebenarnya.

Di atas, mereka (kelompok Wahabi) mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah berkata:
“Barangsiapa menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syari’at”

Padahal yang sesungguhnya, ucapan Imam Syafi’i tersebut bukanlah tentang bid’ah. Hanya mereka yang menambahi ucapan Imam Syafi’i itu dengan keterangan “(suatu bid’ah)”. Dan hanya mereka yang menerjemahkan ucapan Imam Syafi’i itu menjadi “Barang siapa MENGANGGAP BAIK ...”

Ucapan Imam Syafi’i tersebut dalam teks Arabnya adalah sebagai berikut:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
(Perkataan Imam As-Syafi'i ini dinukil oleh para Imam madzhab As-Syafi'i, diantaranya  Al-Ghozali dalam kitabnya Al-Mustashfa, demikian juga As-Subki dalam Al-Asybaah wa An-Nadzooir, Ibnu Qudaamah dalam Roudhotun Naadzir, dan juga dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkaam fi Ushuul Al-Qur'aan, dan Al-Aaamidi dalam Al-Ihkaam)

Ucapan Imam Syafi’i tersebut sebenarnya adalah tentang “istihsan”, yaitu sebuah metode yang digunakan oleh sebagian ulama dalam menetapkan hukum. Sehingga semestinya, terjemahan yang benar dari ucapan Imam Syafi’i tersebut adalah:

“Barang siapa melakukan istihsan, maka berarti dia telah membuat syari’at”.

Hal itu diucapkan oleh Imam Syafi’i, karena beliau tidak mendukung metode “istihsan”. Karena menurut pemahaman beliau, metode istihsan itu berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu atau akal semata. Sedangkan menurut ulama lain, metode istihsan tidaklah seperti itu, sehingga ulama-ulama lain tersebut mendukung metode istihsan.

Yang ingin kita garis-bawahi di artikel ini ialah: ucapan Imam Syafi’i tersebut adalah tentang istihsan, bukan tentang bid’ah.

Hal ini amat dikenal oleh para ulama’. Jadi kalau kelompok Wahabi mencatut ucapan Imam Syafi’i tersebut dan mengatakan bahwa itu adalah tentang bid’ah, sehingga menerjemahkannya menjadi:
“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syari’at”
Atau ada juga yang menerjemahkannya menjadi:
“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara) maka berarti dia telah membuat syari’at”.
Lalu ucapan itu dipahami sebagai ucapan dalam konteks bid’ah, maka jelas ini salah sekali alias ngawur.

Kata “istihsan” memang secara bahasa bisa diartikan “menganggap baik”, tapi ucapan Imam Syafi’i tersebut adalah tentang “istihsan” yang telah mempunyai sebuah pengertian ilmiah tersendiri dalam ilmu agama. Oleh karena itu, tidak tepat lagi kalau “istihsan” tersebut diterjemahkan menjadi “menganggap baik”, tapi harus diterjemahkan sesuai konteksnya, yaitu menjadi:

“Barang siapa melakukan istihsan, maka berarti dia telah membuat syari’at”.

Kalau kelompok Wahabi tidak menerjemahkannya seperti itu, atau memakai ucapan tersebut dalam konteks bid’ah, berarti ada beberapa kemungkinan yang telah terjadi pada kelompok Wahabi ini:
(1)  Mereka tidak tahu bahwa ucapan Imam Syafi’i tersebut adalah tentang istihsan. Atau bisa jadi mereka tidak tahu apa itu “istihsan”.
Kalau mereka tidak tahu, bahwa ucapan Imam Syafi’i ini adalah tentang istihsan, atau mereka tidak tahu apa itu “istihsan”, berarti mereka bukanlah ahli agama. Kualitas keilmuan mereka patut diragukan. Karena tidak mungkin seorang yang telah mencapai level ulama, tidak akan mengetahui tentang “istihsan” atau bahwa ucapan Imam Syafi’i ini sesungguhnya adalah tentang istihsan.

(2)  Mereka lupa atau keliru (salah tanpa sengaja).
Kalau mereka lupa atau telah salah tanpa sengaja, maka semestinya, setelah ada orang yang memberi tahu atau mengingatkannya, mereka memperbaiki pendapat mereka. Tidak mungkin selama ini tidak ada orang yang mengingatkan kesalahan mereka. Tapi nyatanya, sampai sekarang, setahu saya, mereka tetap menolak mengakui bahwa Imam Syafi’i telah membenarkan adanya bid’ah hasanah. Mereka tetap saja mencari alasan lain (begini dan begitu) yang mana orang-orang yang berilmu itu tahu bahwa sebenarnya itu adalah alasan yang tidak tepat atau dicari-cari saja. Hanya orang awam saja yang bisa terkecoh.

(3)  Mereka tahu yang sebenarnya, tapi mereka sengaja melakukan kecurangan demi mempertahankan pendapat mereka yang salah itu dan demi mengelabui orang-orang awam.
Inilah yang saya takutkan telah terjadi pada mereka. Kalau ini yang telah mereka lakukan, berarti mereka adalah Ulama Su’ (ulama yang jahat). Ulama yang jahat ini, menurut sebuah hadits Nabi saw adalah lebih berbahaya dan lebih dikhawatirkan daripada Dajjal, karena mereka dapat menipu banyak orang, terutama orang-orang awam. Mereka akan membawa banyak orang pada kesesatan tanpa dapat disadari oleh orang-orang tersebut. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
 
Ulama-ulama jahat adalah ujian dan musibah besar bagi umat Islam. Mereka itu ada dan telah diberitakan oleh Nabi saw. Kita berlindung kepada Allah agar dapat selamat dan tidak tertipu oleh ulama-ulama jahat tersebut. Aamiin ya Rabbal ‘alamiin. [Media Muslim]
Artikel terkait:

Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut apa itu “istihsan”, dapat lihat di:

Semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...