Sunday 16 October 2016

Menyuruh-nyuruh Orang untuk Kaya Adalah Bid'ah



Menyuruh-nyuruh orang untuk kaya adalah perbuatan bid’ah. Bid’ah apa? Bid’ah Sayyi'ah (Bid'ah yang buruk). Bahkan bisa jadi tergolong bid'ah yang sesat (bid’ah yang diancam dengan hukuman neraka, wallohu a'lam). Kenapa? Karena ia bertentangan dengan hadits-hadits Nabi Saw. Ia bertentangan dengan sikap Nabi dan para sahabatnya.

Ada seseorang berkata kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, demi Allah saya mencintai engkau.”
Nabi bersabda, “pikirkanlah benar-benar apa yang kamu katakan itu.” Orang itu berkata, “Demi Allah, sungguh saya mencintai engkau,” ia mengulanginya tiga kali.
Kemudian Nabi bersabda: “Apabila kamu mencintaiku, bersiap-siaplah untuk
menghadapi kemiskinan dengan mengencangkan pinggang. Sesungguhnya kemiskinan itu lebih cepat datangnya kepada orang yang mencintaiku melebihi cepatnya banjir yang mengalir ke jurang.” (HR. Tirmidzi)
Di dalam hadits di atas Nabi saw justru menyuruh orang untuk bersiap-siap terhadap kemiskinan. Bukan menyuruh orang untuk menghindari kemiskinan. Bukan menyuruh-nyuruh orang untuk kaya.
Dalam hadits tersebut juga tergambar jelas bahwa kemiskinan adalah resiko yang harus siap diterima oleh orang-orang yang mencintai Nabi saw. Menyuruh-nyuruh orang untuk kaya, apalagi dengan kalimat “umat Islam wajib kaya” tidakkah itu sama artinya dengan menghalang-halangi orang untuk mencintai Nabi saw padahal mencintai Nabi saw itu dituntut pada setiap muslim?
Kalau Anda berkilah dengan mengatakan bahwa banyak sahabat Nabi yang kaya tetapi tetap mencintai Nabi saw. Maka perhatikanlah penjelasan berikut ini:
Betul, memang ada sahabat-sahabat Nabi saw yang kaya namun tetap mencintai Nabi saw. Utsman ra kaya, tetapi tetap mencintai Nabi saw. Abu Bakar ra kaya, tetapi tetap mencintai Nabi saw. Dan begitu pula dengan beberapa orang sahabat yang lainnya. Tetapi, siapakah mereka itu? Mereka adalah hamba-hamba Allah pilihan. Jangan Anda pikir bahwa semua orang akan mampu seperti mereka. Kebanyakan manusia, ketika bergelimang dengan harta, mereka justru akan cinta terhadap harta, bukan cinta kepada Nabi saw. Mereka akan sibuk di dalam kemaksiatan yang berarti jauh dari sikap mencintai Nabi saw. 
Selanjutnya, para sahabat Nabi yang kaya itu, pernahkah mereka menyuruh-nyuruh orang untuk kaya? Perhatikan bedanya. “Kaya” dengan “menyuruh-nyuruh orang untuk kaya”, itu berbeda. Sahabat-sahabat Nabi yang kaya, mereka tidak pernah menyuruh-nyuruh orang untuk kaya. Sahabat-sahabat Nabi yang kaya, mereka selalu siap untuk miskin. Sehingga mereka tidak bertentangan dengan hadits di atas.
Menyuruh-nyuruh orang untuk kaya dianggap perbuatan bid’ah adalah juga karena amat sedikit orang yang berhasil selamat dalam ujian harta. Dengan banyaknya harta, kebanyakan orang bukan malah bertambah pahalanya. Justru pahala mereka semakin sedikit. Siapa yang bilang? Rasulullah saw. Perhatikan hadits berikut ini:
“Sesungguhnya orang yang hartanya banyak adalah orang yang paling sedikit pahalanya di hari kiamat kecuali orang yang berkata: ‘Ini untuk yang di sebelah kanan, ini untuk yang di sebelah kiri, dan yang lain untuk yang di belakang’ (maksudnya, ia sibuk mempergunakan hartanya untuk membantu manusia atau untuk hal-hal lainnya yang diperintahkan oleh Allah swt--pen). Tetapi sangat sedikit orang yang sedemikian ini.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kenapa orang yang banyak harta justru menjadi orang yang paling sedikit pahalanya? Karena kebanyakan manusia justru lalai dengan harta kekayaannya itu. Mereka juga banyak yang kekurangan ilmu yang berhubungan dengan masalah-masalah harta seperti tentang hukum-hukum jual beli, seluk-beluk riba, seluk-beluk harta warisan, seluk-beluk zakat, dan lain sebagainya. Dengan demikian, mereka justru banyak yang terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan, baik ketika mencari harta atau ketika membelanjakan harta. Mereka terjerumus pada kezaliman terhadap hak-hak manusia. Mereka juga kebanyakan justru sibuk dengan menghitung-hitung, berusaha menambah lagi, atau bersenang-senang dengan kekayaannya itu. Amat sedikit orang yang pandai mengelola harta sesuai dengan ilmu-ilmu yang ada dalam Islam. Dan juga amat sedikit orang yang berhasil sibuk menggunakan hartanya untuk beramal. Inilah makna yang tergambar dari hadits di atas.
Menyuruh-nyuruh orang untuk kaya, juga bertentangan dengan hadist berikut ini:
Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, tidaklah kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap kalian. Tetapi aku khawatir jika kekayaan dunia ini dihamparkan atas kalian sebagaimana yang pernah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian akan berlomba-lomba pada kekayaan itu sebagaimana mereka telah berlomba-lomba. Dan kemudian harta kekayaan itu akan membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka pula.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw justru memperingatkan orang akan bahaya berlomba-lomba mencari kekayaan. Tolong dicatat, hadits di atas menggambarkan bahwa: Berlomba-lomba terhadap kekayaan itu berbahaya. Kenapa Anda, wahai sebagian umat Islam, justru mendorong-dorong orang untuk berpacu terhadap kekayaan?
Bahaya menyuruh-nyuruh orang untuk kaya bisa digambarkan seperti bahayanya menyuruh-nyuruh anak kecil untuk mengambil air di sumur yang menganga. Bukannya air yang akan didapatkan oleh anak-anak itu, tetapi justru mereka yang akan tercemplung ke dalam sumur tersebut. Kenapa? Karena kekurang-akalan mereka, karena kekurang mampuan mereka untuk berhati-hati dan waspada, dan juga karena kecendrungan mereka untuk lalai dan bermain-main.
Harta kekayaan di dunia bisa diibaratkan seperti air di sumur yang menganga. Sedangkan orang-orang yang kurang iman, taqwa, dan ilmunya bisa diibaratkan seperti anak-anak kecil.  Harus kita akui bahwa di dunia ini yang banyak justru adalah orang-orang yang kurang iman, taqwa, dan ilmunya itu. Oleh karena itu, menyuruh-nyuruh orang untuk berlomba-lomba mencari kekayaan, sama seperti menyuruh anak-anak kecil untuk berlomba-lomba mendapatkan air di sumur yang menganga tersebut. Kebanyakan mereka akan binasa (jatuh ke dalam sumur). Kemungkinan bahayanya jauh lebih besar daripada kemungkinan manfaatnya. Rasulullah saw dan para sahabatnya amat tahu akan hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak mau melakukan hal tersebut. Mereka tidak mau menyuruh-nyuruh orang untuk kaya, apalagi berpacu-pacu di dalamnya.
Dalam Islam cukuplah sekedar membolehkan orang untuk mencari kekayaan. Atau kalau mau menyuruh, suruhlah orang untuk bekerja. Bukan menyuruh-nyuruh orang untuk kaya. Menyuruh bekerja itu tidak sama dengan menyuruh kaya. Karena tidak setiap orang yang bekerja akan pasti menjadi kaya. Islam hanya mementingkan bekerja bukan mementingkan kaya.
Di masa Rasulullah s.a.w., ada  ashabus suffah atau disebut juga dengan ahli suffah. Ahli Suffah adalah tamu-tamu Islam yang terdiri dari sahabat-sahabat Nabi s.a.w. yang amat miskin. Saking miskinnya, sampai-sampai mereka sering menahan lapar karena tak memiliki sesuatu pun untuk dimakan. Bahkan tak jarang, ada di antara mereka yang tersungkur saat salat berjama’ah bersama Nabi karena tak kuat lagi menahan lapar[1]. Tapi pernahkah Nabi menyuruh mereka untuk mengubah keadaan mereka yang seperti itu? Pernahkah Nabi menyuruh mereka untuk berubah menjadi kaya? Tak pernah sama sekali, Saudaraku. Justru yang ada adalah hadits yang menerangkan bahwa setelah selesai salat, Nabi saw mendekati mereka dan bersabda: “Andaikan kalian mengetahui pahala yang disediakan Allah, niscaya kalian akan meningkatkan kemiskinan dan kelaparan” (H.R. Tirmidzi. Bisa ditemukan di antaranya pada Terjemah Riyadhus Shalihin jilid I, hal. 488, penerbit Pustaka Amani-Jakarta, cet. IV, thn. 1999).
Nabi tak pernah mencela para ahli suffah yang miskin-miskin itu. Bahkan sebaliknya, beliau amat menghormati dan memuliakan mereka. Nabi sering menjamu mereka makan dan minum serta menyuruh pula para sahabat untuk menjamu mereka sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Sebaliknya, para ahli suffah tersebut, meskipun mereka dalam kondisi miskin yang sedemikian rupa, mereka tetap menjaga akhlak dan kehormatan diri mereka. Mereka tidak suka meminta-minta. Mereka rido, sabar, dan tidak mengeluh atas kemiskinan mereka. Mereka juga tidak merasa minder bila bertemu dengan orang-orang kaya.
Yang patut diingat, mereka miskin pastilah bukan karena malas bekerja, tapi karena faktor-faktor lain yang dibenarkan oleh agama. Karena jika mereka malas, pastilah Rasulullah s.a.w. sudah menegur mereka karena Islam tidak membenarkan sikap kemalasan.
Selain ahli suffah, ada juga sahabat Nabi yang lain yang tergolong miskin. Abu Hurairah r.a., misalnya. Abu Hurairah mengaku, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia. Aku sering menekan rongga perutku ke tanah karena lapar. Juga sering mengikatkan batu di perutku karena lapar.” (H.R. Bukhari). “Sungguh aku pernah jatuh pingsan di antara mimbar Rasulullah s.a.w. dan jalan yang menuju ke bilik Aisyah r.a., kemudian seseorang mendatangiku dan menginjakkan kakinya ke leherku. Ia menyangka bahwa aku gila. Padahal aku tidak gila, hanya saja terlalu lapar.” (H.R. Bukhari).
Sedemikianlah keadaan miskinnya Abu Hurairah. Tapi pernahkah Rasulullah mendorong-mendorongnya untuk mengubah nasib agar menjadi kaya? Jika Islam memang menyuruh umatnya untuk kaya, niscaya akan ditemui hadits-hadits yang mendorong para ahli suffah atau orang-orang semacam Abu Hurairah untuk segera mengejar kekayaan.
Betul ada beberapa orang sahabat Nabi saw yang kaya. Tapi pernahkah mereka yang kaya-kaya itu menyuruh-nyuruh orang lain untuk kaya pula? Pernahkah mereka menggelisahkan umat dengan mengatakan, “Ayo, umat Islam harus kaya” seperti yang sering Anda dengung-dengungkan bersama kawan-kawan Anda itu?
Bukankah Utsman, sahabat Nabi saw yang cukup terkenal kekayaannya, ketika dikatakan kepadanya, “Wahai orang kaya, betapa mulianya kalian di mata Allah. Kalian pergi dengan membawa kebaikan, kalian bersedekah, kalian memerdekakan budak, kalian pergi haji dan berinfak. Sungguh kami iri dengan keadaan kalian tersebut.”
Utsman bin Affan justru berkata, “Kalian iri kepada kami? Padahal kamilah yang seharusnya iri kepada kalian.”
Utsman melanjutkan, “Demi Allah, pastilah uang satu dirham yang di infaqkan seseorang dengan susah payah itu lebih baik daripada 10 ribu dirham orang kaya.” (lihat dalam http://www.fimadani.com)
Bukankah pula, ketika orang-orang miskin mengadu kepada Rasulullah saw tentang perbedaan mereka dengan orang-orang kaya, Rasulullah saw tidak memotivasi mereka untuk mencari kekayaan. Rasulullah hanya mengajarkan mereka untuk membaca tasbih, takbir, dan tahmid, masing-masing 33 kali setiap selesai shalat (berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim).
Lalu metode siapakah yang Anda tiru dalam beragama ini sehingga Anda mengambil sikap menyuruh-nyuruh orang untuk kaya? Dari siapakah Anda mengambil agama Anda sehingga mau berbuat yang demikian?
Kalau Anda ingin kaya, silakan. Islam tidak pernah melarang umatnya untuk kaya. Kalau Anda ingin mencari harta, silakan. Islam tidak melarang umatnya mencari harta. Kalau Anda rajin bekerja, bagus. Islam menyuruh umatnya untuk bekerja.
Tapi kalau Anda mengatakan, “umat Islam harus kaya”, itu adalah hal yang tidak benar. Kalau Anda mengatakan, “Umat Islam wajib kaya” itu adalah kesesatan. Kalau Anda mengatakan “Rasulullah saw adalah seorang yang kaya harta”, itu mengada-ada (dan resikonya sangat berat di akhirat).
Cukuplah Anda bekerja secara halal dan sesuai dengan syariat. Masalah kaya atau miskin, serahkanlah kepada Allah. Allah lah yang lebih tahu manakah keadaan yang lebih baik dan lebih selamat untuk Anda di dunia dan di akhirat. Allah lah yang lebih tahu manakah ujian yang lebih sanggup untuk Anda pikul (apakah ujian kemiskinan ataukah ujian kekayaan).
Jika Anda diuji dengan kekayaan, maka jalankanlah tugas-tugas Anda sebagai orang kaya (berzakat, berhaji, membantu karib kerabat, menolong para fakir-miskin, menyantuni anak-anak yatim, dll). Jika Anda diuji dengan kemiskinan, janganlah berkecil hati dan berburuk sangka kepada keputusan-keputusan Allah. Kemiskinan memang pahit dan tidak menyenangkan. Tapi ingatlah, banyak kelebihan yang sebenarnya dimiliki oleh orang-orang miskin apabila mereka mau bersikap benar di dalam kehidupannya. Mereka lebih punya waktu untuk berzikir. Sedekah mereka yang jumlah nominalnya sangat kecil, bisa jadi berkali-kali lipat pahalanya dibandingkan dengan sedekahnya orang-orang kaya. Peluang dosa mereka lebih sedikit. Hisab mereka di akhirat akan lebih ringan. Mereka akan lebih dulu masuk surga dengan masa yang amat lama dibandingkan dengan orang-orang kaya.
Demikian dululah tulisan kita kali ini. Pada akhirnya, Allah jua lah yang mampu memberi petunjuk. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. (Buya Amin/17-okt-2016)
 


[1] Sebagaimana yang tergambar dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi.






No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...