Saturday 29 October 2016

Membantah Ketidakbenaran Tentang Mahar Nabi SAW



Benarkah Mahar Nabi Kepada Khadijah adalah 100 Ekor Unta?
Ada yang mengatakan bahwa mahar Nabi saw saat menikah dengan Khadijah adalah sebanyak 100 ekor unta merah (bahkan ada yang lebih kelewatan lagi dengan mengatakan 1000 ekor). Berarti Nabi adalah seorang yang kaya, dan umat Islam harus mencontoh Nabi dalam hal ini.
Betulkah seperti itu? Sudahkah Anda, wahai yang mengatakan demikian, teliti dengan seksama kebenaran dan duduk perkara yang sebenarnya dari hal itu? Atau Anda memang sengaja berdusta dan ingin menipu umat Islam?
Bertaubatlah benar-benar jika Anda ternyata memang sengaja berdusta dan ingin menipu umat Islam. Apalagi tentang diri Rasulullah saw. Sungguh berat apa
yang akan Anda hadapi kelak di akhirat, jika Anda keras kepala dengan kejahatan Anda itu. Tapi kalau kesalahan itu adalah karena kekeliruan dan kecerobohan semata, maka marilah kita luruskan.
Ibnu Hisyam meriwayatkan Sirah-nya dari Ibnu Ishaq tentang pernikahan Nabi saw dengan Khadijah. Dalam sirah itu dikatakan bahwa 100 ekor unta merah itu adalah hibah Khadijah kepada Abu Thalib. Catat ini: hibah Khadijah kepada Abu Thalib.
Abu Thalib kemudian menghadiahkan 100 unta merah itu untuk pernikahan Muhammad dan Khadijah. Perhatikan: ini bukan mahar Muhammad saw. Abu Thalib menghadiahkan 100 unta merah yang dihibahkan Khadijah itu sebagai penghormatan terhadap kedudukan Khadijah. Jadi, dapat kita katakan bahwa 100 unta merah itu adalah dari Khadijah dan kembali lagi kepada Khadijah melalui tangan Abu Thalib. Hanya saja, momen pemberian Abu Thalib kepada Khadijah terjadi pada saat Khadijah menikah dengan Muhammad. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kabar tentang mahar Muhammad saw kepada Khadijah sebanyak 100 ekor unta itu adalah tidak benar.
Lantas berapakah yang benar tentang jumlah mahar Nabi saw kepada Khadijah?
Sesungguhnya, kita hanyalah bisa menduga-duga berdasarkan keterangan-keterangan yang ada. Dan sesungguhnya pula, sebenarnya hal ini tidak begitu penting untuk diketahui, sebab beliau saw menikah dengan khadijah pada saat beliau belum menjadi rasul. Apa yang terjadi pada diri beliau sebelum menjadi rasul adalah bukan hal yang disuruh untuk dipedomani atau dijadikan rujukan, sebab Allah swt berfirman:
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu ...” (Q.S. Al-Ahzab:21)
Allah mengatakan pada ayat di atas bahwa suri teladan itu adanya pada diri Rasulullah, bukan pada diri Muhammad. Oleh karena itu, apa yang terjadi pada Muhammad saw sebelum menjadi Rasulullah adalah bukan hal yang dianjurkan untuk menjadi teladan atau rujukan meskipun kita tidak bisa pula mengatakan bahwa prilaku-prilaku beliau saw sebelum menjadi rasul adalah tidak mulia.
Beliau saw mulia, baik sebelum menjadi rasul atau pun setelah menjadi rasul. Namun yang direkomendasikan Allah untuk menjadi rujukan dan suri teladan bagi umat adalah kehidupan beliau setelah menjadi rasul.
Berdasarkan beberapa keterangan yang ada kita bisa menduga bahwa mahar yang diberikan Nabi kepada Khadijah adalah bisa jadi 20 onta muda atau bisa jadi pula sebesar 500 dirham (lihat kitab Hasyiyah Syarqawi juz II halaman 265)
Pada Sahih Muslim Juz 1 halaman 59 disebutkan bahwa Abdur Rahman bertanya kepada Aisyah tentang mahar Nabi saw. Aisyah menjawab:
“Mahar Rasulullah saw kepada para isteri beliau adalah 12 auqiyah dan satu nasy”. Aisyah berkata: “Tahukah engkau, apakah nasy itu?” Abdur Rahman berkata: “Tidak”. Aisyah berkata, “Setengah auqiyah. Jadi semuanya 500 dirham. Inilah mas kawin Rasulullah saw kepada para isteri beliau.” (HR. Muslim)
Apakah hadits tersebut mencakup mahar Nabi terhadap Khadijah? Wallahu a’lam. Allahlah yang lebih mengetahui.
Berapapun sesungguhnya mahar Nabi saw kepada Khadijah, namun ada keterangan pula yang patut kita ketahui bahwa mahar tersebut berkemungkinan tidak berasal dari harta Nabi saw, melainkan dari harta Abu Thalib, sebab Abu Thalib mengatakan dalam khutbah nikahnya (ketika pernikahan antara Muhammad saw dan Khadijah terjadi) bahwa urusan mahar dari pernikahan tersebut merupakan tanggungan dia:

“Dan mahar apa yang kalian sukai, saya yang akan menanggungnya.” (Rahiqul Makhtum hal. 15) (lihat dalam http://muslim.or.id).

Apakah Muhammad SAW adalah seorang yang kaya pada saat menikahi Khadijah?
Saya rasa penggalan khutbah yang diucapkan oleh Abu Thalib pada saat pernikahan tersebut berlangsung dapat menjawab pertanyaan seperti itu. Perhatikanlah penggalan khutbah tersebut berikut ini (terutama yang bercetak tebal atau hitam):
“... Ini anak saudaraku, Muhammad bin Abdillah, jika ditimbang dengan laki-laki manapun juga, maka ia lebih berat dari mereka semua kebaikannya, keutamaannya, kemuliaannya, akalnya, kedermawanannya, dan kebijaksanaannya. Meskipun hartanya sedikit, namun harta itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang cepat perginya serta merupakan pinjaman yang akan dikembalikan. Dia ini, demi Allah, telah ada kabar baik tentangnya dan ia memiliki kedudukan yang mulia di tengah masyarakat. Ia menyukai Khadijah binti Khuwailid, begitu juga sebaliknya. Dan mahar apa yang kalian sukai, saya yang akan menanggungnya.” (Rahiqul Makhtum hal. 15) (lihat dalam http://muslim.or.id).

Dari khutbah nikah yang disampaikan oleh Abu Thalib tersebut jelas tergambar bahwa Muhammad saw pada saat itu bukan seorang yang kaya. Bahkan kalaupun ada mahar yang terjadi untuk pernikahan itu, Abu Thalib telah mengatakan bahwa dialah yang akan menanggungnya.

Apakah Mahar Nabi SAW Tergolong Mahar yang Mahal?
Umar bin al-Khaththab berkhutbah kepada manusia dengan pernyataannya: “Ingatlah, janganlah kalian bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu termasuk suatu kemuliaan di dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, pastilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang paling utama di antara kalian (dalam hal ini), (namun) beliau tidak pernah memberi mahar kepada seseorang dari isteri-isterinya dan tidak pula meminta mahar untuk seseorang dari puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah (ons) perak.” (HR. Tirmidzi, dan ia menilainya sebagai hadits shahih).
Kalau mahar Nabi saw tergolong mahar yang mahal, mungkinkah Umar bin Khattab menjadikannya contoh dalam memperingati manusia agar jangan bermahal-mahal dalam hal mahar? Artinya, mahar Nabi saw kepada para istrinya sebanyak 12 auqiyah (atau 500 dirham) pada masa itu sesungguhnya tidaklah tergolong sebagai mahar yang mahal.
Jadi kalau ada orang zaman sekarang yang mengonversi 500 dirham itu menjadi Rp 40 juta, sementara uang Rp 40 juta itu di zaman ini masih tergolong hal yang mahal, maka saya lebih suka untuk tidak mengikuti konversi-konversi yang demikian.

Apakah Besarnya Mahar Nabi SAW Kepada Para Istrinya Adalah Hal Yang Harus Ditiru?
Apa yang dilakukan oleh Nabi saw tidak semuanya merupakan hal yang harus untuk ditiru. Bahkan sebagian dari perbuatan Nabi saw adalah hal yang haram untuk ditiru. Contohnya adalah menikah dengan lebih dari empat orang istri. Itu adalah hal yang haram untuk ditiru.
Jadi meskipun suatu hal itu merupakan perbuatan Nabi saw, tetapi belum tentu hukumnya menjadi wajib. Ia bisa saja menjadi sunnah, mubah, makruh atau malah bisa juga menjadi haram.
Ukuran besarnya mahar adalah diserahkan kepada kemampuan masing-masing orang. Yang mampu memberikan banyak, silakan memberi banyak dengan tanpa berlebihan dan kesombongan. Sedangkan yang mampu sedikit, tidak apa-apa memberikan sedikit.
Bahkan, ketahuilah, sesungguhnya hal yang amat dicari dalam pernikahan adalah keberkahannya. Sedangkan sakinah, mawaddah, wa rahmah, itu adalah hal yang pasti terjadi pada setiap pasangan yang menikah (hanya masalahnya mereka mampu mempertahankannya atau tidak) sebab Allah menyebutkan sakinah, mawaddah, wa rahmah itu (di surat Ar-Rum ayat 21) dalam konteks sebagai bukti kebesaran-Nya yang ada pada pernikahan.


Lihatlah lafaz doa pernikahan. Apakah yang didoakan itu adalah sakinah, mawaddah, wa rahmah? Tidak. Yang didoakan adalah keberkahannya:

باَرَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ
 “Semoga Allah memberi berkah padamu, semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan yang lainnya)

Lihat juga hadits-hadits berikut ini. Yang digembar-gemborkan Nabi saw tentang pernikahan adalah keberkahannya:

 “Sesungguhnya pernikahan yang paling besar barakahnya ialah yang paling mudah maharnya.” (HR. Ahmad)
“Sesungguhnya di antara tanda keberkahan istri adalah mudah meminangnya dan mudah/ringan maharnya serta mudah rahimnya” (HR. Ahmad; hasan)

Lalu jika keberkahan itu ternyata terdapat pada mudahnya mahar, lantas mengapa kita harus memperberat atau mempersulitnya?
Ingatlah bahwa Rasulullah saw telah membolehkan mahar dengan hanya cincin dari besi. Rasulullah juga membolehkan mahar dengan mengajarkan Alquran:
“Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. (HR. Bukhari & Muslim)
Rasulullah telah menikahkan puterinya Fatimah denga Ali bin Abi Thalib dengan mahar sebuah baju besi. Ingat pula, bahwa Rasululullah pernah menikahkan sahabatnya dengan mahar hafalan Alquran:
“... Lalu seorang pria berdiri dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya?’ Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, lalu carilah walaupun cincin yang terbuat dari besi!’
Ia pun pergi dan mencari, kemudian datang seraya mengatakan: ‘Aku tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak pula mendapatkan cincin dari besi.’ Beliau bertanya: ‘Apakah engkau hafal suatu surat dari al-Qur-an?’ Ia menjawab: ‘Aku hafal ini dan itu.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat Alquran yang engkau hafal.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, saya mengingatkan kepada semua kaum muslimin, janganlah mengada-ada dalam hal agama, karena dosanya amat berat. Dan jangan pula berlebih-lebihan dalam segala sesuatu, karena Allah tidak suka kepada orang yang berlebih-lebihan.
Akhir kata, Allah jualah yang bisa memberi petunjuk. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
**SELESAI**

(Buya Amin, 29 Okt 2016)
Bahan bacaan yang mendukung tulisan ini:


No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...