Thursday 23 March 2017

Perjuangan Penuh Air Mata di Tengah Penguasa Yang Tuli-Buta (Kisah Nyata Petani Kendeng Melawan Keangkuhan Pabrik Semen)




Kematian selalu datang dengan berbagai wajah. Tapi ia hanya tersenyum kepada para pemberani.
* * *

Saya tidak mengenal Mbok Patmi.
Ketika tiba di kantor YLBHI, larut malam 20 Maret kemarin, yang saya lakukan adalah langsung menuju lantai tiga. Bergabung dengan diskusi yang sedang berlangsung. Sesekali menyapa beberapa orang yang saya kenal, menghisap rokok dan selebihnya menyimak.


Lantai dasar gedung penuh dan cenderung sesak. Selain mereka yang sedang protes, ada para relawan dan mereka yang datang menunjukkan solidaritas. Salah satu ruang pertemuan di lantai bawah diubah menjadi kamar.

Masih segar di ingatan bagaimana nada semangat Merah Johansyah bicara soal kejahatan finansial Bank Mandiri. Juga suara-suara lain yang menawarkan diri berbagi peran. Mereka kelelahan, tapi semangat jelas masih ada. Ini campuran sulit. Apalagi jika kondisi fisikmu telah digerus beberapa hari sebelumnya. Mata mereka buktinya.

Di salah satu sudut, Sobirin, Direktur Yayasan Desantara, bahkan tampak seperti mayat hidup. Tubuhnya bersandar di dinding dengan kelopak mata yang menggantung setengah. Ia tampak seperti tahanan di Guantanamo yang baru saja keluar dari ruang interogasi.
 
Mereka yang akhirnya mencor kaki mereka--berharap pemerintah peduli

Di sampingnya, duduk Dhyta Caturani. Sepasang kakinya masih terpasung. Dari balik kacamata, saya bisa menerka bahwa Dhyta kurang tidur. Tapi ia masih tersenyum, sesekali ikut menanggapi diskusi dan bertahan hingga pembicaraan benar-benar selesai.

Sebelah kiri saya, Ali Nursahid juga duduk dengan berselonjor. Wajahnya mengingatkan saya dengan potret para romusha di masa kolonialisme Jepang. Juga ada Eggy Yunaedi, Muh. Azka Fahriza, Ndaru, Ical dan mereka lain yang saya jumpai di aksi #DipasungSemen jilid pertama.

Hampir setahun lalu. Tepatnya, sebelas bulan lampau. Ini jenis reuni paling konyol yang sebenarnya cenderung saya hindari. Bertemu lagi karena kondisi masyarakat di mana masing-masing kami bersolidaritas justru tak kunjung membaik.

Usai diskusi, saya segera bergeser ke lantai bawah. Bersama tiga orang kawan lagi, ada hal yang harus kami obrolkan. Saat diskusi, Joko Prianto, tiba-tiba muncul. Ia baru bangun. Tersenyum salah tingkah persis seperti anak SD yang kedapatan lelap di dalam kelas. Mengaku hanya bersandar dan menutup mata sejenak di tengah jadwal jaga peserta aksi pasung semen, ia tiba-tiba lelap untuk beberapa saat sebelum akhirnya terjaga.

Kami lalu bersalaman. Jabat tangannya erat. Masih seperti biasanya. Penuh keyakinan. Ali Nursahid mencandainya. Lelucon terasa begitu penting di periode melelahkan seperti ini. Masa di mana dua puluh jam terasa kurang, dan dini hari terasa lebih panjang dan perih di sudut mata.
Di momen seperti ini, tidur lelap adalah kemewahan.
* * *

Saya tidak mengenal Mbok Patmi.
Tapi di ingatan saya mengenai perjuangan Kendeng menolak berdirinya pabrik semen selama ini didominasi wajah-wajah perempuan. Wajah-wajah penuh semangat, penuh cinta, penuh harapan, penuh senyum. Wajah-wajah yang dapat digunakan oleh kita meneropong masa depan.
Mbok Patmi pasti adalah salah satu di antaranya.
 
wajah-wajah sedih mereka

April 2015, perempuan-perempuan ini datang ke depan Istana Presiden. Mengusung lesung dan membunyikannya. Mengirimkan tanda bahaya ke Presiden dengan cara yang mereka ketahui.
Bahwa ekstraksi karst bukan hanya menghancurkan sawah sebagai lumbung pangan. Tapi juga mengancam cadangan air yang tidak hanya mengairi lahan pertanian, juga menjadi sumber air minum bagi warga di desa-desa sekitar. Akses terhadap air bersih gratis yang diwariskan turun temurun sejak masa leluhur mereka beratus tahun lampau.

Membunyikan lesung adalah upaya menjangkau telinga presiden yang di tahun sebelumnya baru terpilih. Ia yang terpilih dengan tumpukan janji-janji. Aksi ini berlangsung setelah sebulan sebelumnya, menyerbu UGM. Para petani mengkritik para ilmuwan di kampus Gadjah Mada yang menggadaikan diri dengan fatwa ilmiah palsu untuk membela pabrik semen.

Setahun kemudian, di bulan yang sama. Sembilan perempuan datang dengan harapan yang makin menebal bahwa rencana pembangunan pabrik semen harus dihentikan. Mereka tiba dengan perumpamaan. Menyemen kaki sebagai tanda bahasa bagaimana tubuh akan tersiksa jika pegunungan Kendeng tetap dihancurkan. Bahwa tidak ada tuntutan lain dari para petani dan sedulur Kendeng selain berhentinya rencana penambangan karst untuk operasi semen.



Aksi #DipasungSemen kali pertama dicibir luas warga kota.
Terutama mereka yang sejak awal tidak mengikuti bagaimana perjuangan ini dirintis, bertahan secara swadaya dan berhasil meluaskan solidaritasnya. Orang-orang yang bicara soal ancaman amputasi kaki sembilan perempuan yang memasung diri di depan istana, tapi matanya tak mampu melihat amputasi total kehidupan generasi di kehidupan mendatang. Sinisme yang lahir akibat ketidakmampuan membaca bagaimana hidup bergerak, dipertaruhkan dan dipertahankan dengan gagah berani.

Mereka menuduh bahwa perempuan-perempuan pemberani yang memasung kaki sedang dimanfaatkan segelintir orang. Tuduhan yang datang karena ketidakpahaman apa itu kemerdekaan dan bagaimana berjuang mempertahankannya. Mulut-mulut itu berlomba merendahkan perjuangan memasung kaki di depan istana tanpa sadar bahwa yang mereka hina adalah akal sehat mereka sendiri.



Cibiran terhadap #DipasungSemen kali pertama menyadarkan saya satu hal. Hampir mustahil menjelaskan soal-soal perjuangan mempertahankan tanah kepada mereka yang memiliki ukuran otak tak sempurna. Yang besarnya jauh lebih kecil dari punya simpanse.

Aksi ini selesai di hari ketiga ketika Teten Masduki dan Pratikno--dua pejabat setara menteri, datang dan berjanji atas nama presiden. Bahwa pesan mereka sampai dengan selamat meski lambat. Penguasa memutuskan akan menerima perwakilan para petani di istana di waktu yang akan diatur kemudian. Pertemuan itu benar terlaksana, meski agak molor.

Di akhir tahun lalu, ketika keputusan Mahkamah Agung (MA) memenangkan gugatan, mereka berjalan lebih dari seratus kilometer. Berarak dengan senyum dan penuh semangat menjemput kemenangan.
MA mengabulkan gugatan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan warga pegunungan Kendeng di Rembang, Jawa Tengah.

Gugatan dicatat atas nama Joko Prianto dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). PK ini mempersoalkan tentang Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah terkait izin lingkungan kepada PT Semen Gresik (Persero) yang kini berganti nama menjadi PT Semen Indonesia. Izin lingkungan bernomor 668/1/17 tahun 2012. Ditandatangani Gubernur Jawa Tengah saat itu, Bibit Waluyo, pada 7 Juni 2012. MA memutuskan putusan judex facti, dan membatalkan obyek sengketa (izin lingkungan dan pertambangan PT Semen Indonesia) yang berlokasi di Rembang.

Tapi menang di jalur hukum, justru tak membuat penguasa bergeming.
Ganjar Pranowo dengan licik mengakali hukum dan mengeluarkan ijin lingkungan baru. Artinya, sang Gubernur tetap berkeras bahwa pabrik semen harus beroperasi. Apapun harganya dan bagaimanapun caranya.
Inilah alasan mengapa para petani kembali ke Jakarta.

Kembali memasung kaki di depan istana dan meminta presiden mengambil sikap tegas. Menghormati hukum, menghormati tuntutan para sedulur Kendeng, menyelamatkan lingkungan dan memastikan anak cucu tidak akan mati berkalang semen. Aksi kali ini tidak lagi hanya sembilan orang dan hanya perempuan. Hingga Senin, 20 Maret 2017, sudah ada 50 orang, laki-laki dan perempuan dari berbagai rentang umur, menyemen kaki sebagai bentuk protes.

Sore itu, mereka mendapatkan jawaban dari Kantor Staf Presiden. Teten Masduki mengundang perwakilan peserta aksi untuk bertemu. Tapi hasil pertemuan mengecewakan bagi para petani.

Negara sekali lagi, meludahi perjuangan warganya mempertahankan hidup.
Tapi para sedulur Kendeng enggan mundur. Strategi baru diluncurkan. Aksi tetap berlanjut dengan sembilan orang perwakilan. Sisanya, akan kembali pulang ke desa dan terus berjuang.

Mbok Patmi salah satunya. Pasung semen di kakinya kemudian dibongkar. Meski ia tetap bersikeras untuk tidak pulang dan melanjutkan aksi di depan istana. Perempuan yang hampir berumur setengah abad ini tak mau menyerah. Ia tak mau tunduk pada tipu muslihat korporasi dan negara.

Hingga saat jarum jam baru bergeser kurang dari dua ratus menit di hari Selasa ketika kabar itu tiba. Mbok Patmi menghembuskan nafas sebagai martir perjuangan. Serangan jantung merenggutnya.
Karena negara tak kunjung memalingkan wajah.
* * *



Ada selaksa cara untuk mati. Begitu juga hidup. Dan mereka yang berjuang sepenuh hati ketika hidup, akan dijemput kematian dengan takzim dan penuh hormat. Saya yakin, kematian tersenyum hormat ketika menjemput mbok Patmi.

Sumber: https://m.kumparan.com/andre-barahamin/kematian-yang-tersenyum-hormat
Judul Asli: Kematian Yang Tersenyum Hormat
Oleh: Andre Barahamin
Diposkan: Rabu, 22 Maret 2017
Diakses: 23 Maret 2017

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...