Tuesday 28 March 2017

Nasehat Buat Para Pengamen






Alkisah, seorang ibu menegur anaknya (yang telah berkeluarga) yang baru saja meninggalkan usaha dagangnya dan lebih memilih menjadi pengamen.

Ibu:      “Kenapa kau memilih menjadi pengamen, Nak? Bukankah sudah bagus kau berdagang di pasar meskipun kecil-kecilan?”

Anak:   “Lebih enak mengamen, Bu. Gak perlu mikirin modal. Yang penting ada gitar, ada suara[1]. Pendapatannya juga lebih besar daripada berdagang. Aku bisa dapat ratusan ribu per hari. Sedangkan berdagang, yah ... sepi, Bu. Capek menunggu dan melayani pembeli. Kadang-kadang, sudah menawar, tidak jadi beli lagi. Capek, Bu!”


Ibu:      “Tetapi, meskipun capek dan penghasilannya mungkin sedang lebih kecil, berdagang itu adalah sebuah usaha, Nak. Sebuah pekerjaan. Sedangkan mengamen itu, bukan pekerjaan. Mengamen itu mengemis. Meminta-minta. Hanya bedanya, engkau mengemis sambil menyanyi. Itu saja. Jadi jangan pernah kau berpikir bahwa mengamen itu sama mulianya dengan berdagang. Tidak. Mengamen itu meminta-minta. Dan meminta-minta itu adalah kehinaan”.

Anak:   “Jadi, Ibu tidak senang kalau aku mengamen?”

Ibu:      “Tidak, anakku. Ibu lebih bangga bila kau tetap berdagang. Ibu tidak pernah membesarkanmu untuk menjadi peminta-minta. Apalagi kau masih kuat dan sehat seperti ini. Kau masih mampu untuk bekerja. Orang yang masih mampu untuk bekerja, tidak halal meminta-minta. HARAM, anakku. Meminta-minta itu hanya halal bagi orang yang sedang terpaksa dan tidak memiliki jalan lain. Kau masih punya jalan lain. Kau masih bisa berdagang. Kenapa kau memilih menjadi peminta-minta seperti itu”.

Anak:   ”Tapi penghasilannya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan mengamen, Bu. Dengan berdagang, aku hanya bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok saja. Tak ada kelebihan yang bisa kutabung untuk bisa ... yah sedikit merasakan kemewahan seperti orang-orang lain lah. Bisa beli ini, beli itu”.

Ibu:      ”Dengar, anakku. Banyak orang yang kehidupannya jauh lebih buruk darimu. Jangankan kemewahan, untuk makan dan minum sehari-hari saja pun susah. Lihatlah itu di wilayah-wilayah yang terlibat peperangan. Segalanya serba sulit. Kau harus bersyukur. Meskipun tidak kaya, atau tidak bisa bermewah-mewah, tetapi hidupmu tergolong cukup. Betul kan?! Kalau ternyata tidak cukup, berarti ada hal-hal yang harus kau perbaiki dalam hidupmu. Jangan malah meninggalkan hal-hal yang sudah benar dan beralih kepada hal-hal yang tidak benar. Jangan malah meninggalkan berdagang dan justru memilih menjadi peminta-minta alias pengamen”.

Anak:   “Memangnya apa yang harus kuperbaiki jika ternyata kebutuhanku dan anak-istriku tidak cukup, Bu?”

Ibu:      “Allah telah berjanji di dalam Alquran[2] bahwa barangsiapa yang bertawakkal kepada-Nya, akan Dia cukupi segala kebutuhannya. Barangsiapa yang bertaqwa kepada-Nya akan Dia berikan jalan keluar dari segala kesulitan. Jadi kalau kau merasa tidak cukup, atau sering mengalami kebuntuan di dalam masalah-masalahmu, maka periksalah: mungkin ketaqwaanmu selama ini kurang kepada-Nya. Mungkin ada perintah-perintah-Nya yang tidak kau perhatikan. Mungkin ada larangan-larangan-Nya yang gampang saja engkau langgar. Mungkin pula rasa tawakkal/kepasrahanmu kepada-Nya masih kurang. Kau masih banyak ragu kepada-Nya dan lebih percaya kepada jaminan atau kemampuan dari makhluk-makhluk-Nya. Padahal tak ada satu pun makhluk yang memiliki kemampuan. Semua kemampuan dan kekuasaan ada di tangan-Nya. Makhluk-makhluk itu hanyalah benda-benda tak berdaya yang digerak-gerakkan oleh-Nya. Lalu kenapa kau lebih percaya kepada makhluk-makhluk-Nya daripada kepada-Nya? Itulah yang harus kau periksa dan perbaiki.

Kemudian secara teknis atau strategi berusaha juga mungkin ada yang kurang. Mungkin lokasi berdagangmu yang kurang tepat. Atau mungkin barang daganganmu yang harus ditukar dulu agar sesuai dengan kebutuhan dan selera pasar saat ini. Itulah Ibu rasa yang harus kau pikirkan. Bukan malah beralih aktivitas menjadi pengamen”.

Anak:   “Ya, Bu. Mungkin Ibu benar. Aku akan mempertimbangkannya kembali. Tetapi untuk beberapa hari ini, mungkin aku akan masih tetap mengamen, Bu. Aku masih malas untuk berdagang”.

Ibu:      “Okelah, tapi jangan kelamaan. Kalau kau merasa nasehat Ibu ini benar, sebaiknya cepat kau turuti. Jangan sampai terlambat”.

Sang anak tidak lagi menjawab ucapan ibunya itu. Namun sebagaimana yang telah ia ucapkan, keesokan harinya, dan sekian hari setelahnya, ternyata si anak tetap saja masih mengamen dan belum mau berdagang. Hingga akhirnya, tibalah hari yang naas itu.

***

(Lokasi: di rumah si anak):

Istri: “Aduh, Kang!!! Astaghfirullohal ‘azim. Kenapa Kang?! Kenapa kepalamu berlumuran darah seperti ini?! Astaghfirullohal ‘azim!”.

Suami: “Aku ... aku tadi berkelahi dengan seorang penghuni rumah. Dia memukul kepalaku dengan sepotong besi hingga berdarah-darah seperti ini”.

Istri:     “Kenapa? Apa masalahnya kok bisa sampai berkelahi seperti itu?!”

Suami: “Ya ... aku rasa memang aku yang memulai masalah. Orang itu sudah mengucapkan “maaf” kepadaku agar aku segera lewat saja dari rumahnya itu. Tapi aku tetap saja mengamen di depan pintunya itu. Aku melakukan seperti itu karena sudah terbiasa dan pengalaman. Cukup sering cara itu berhasil membuat penghuni rumah memberikan uang walaupun sepertinya dengan rasa kesal dan terpaksa. Tapi ternyata hari ini aku gagal dan sial. Orang itu merasa tersinggung dan merasa ditodong olehku. Dia memakiku: “Elu ngamen atau nodong sih?! Lewat sono, lewat! Udah gue bilang ‘maaf’, ‘maaf’, dari tadi, masih gonjrang-gonjreng aja luh di depan pintu gue!”

Mendengar itu, aku juga jadi emosi dan membalas ucapannya:
“Ah, ama duit gopek aja, pelit lu. Dasar!”

“Eh, terserah gue dong mau ngasih ape kagak. Emang duit elu?! Kenapa lu pake bilang-bilang gue pelit begitu?! Cari gara-gara lu?! Kalo nggak pergi juga, awas, gue hajar beneran lu entar” ucap orang itu.

“Eh, Mas, terserah gue juga dong mau pergi atau kagak. Emangnya kaki gue, kaki elu” jawabku pula.

Selepas jawabanku itu, ternyata benar. Dia tidak hanya sekedar mengancam. Dia membuktikan ucapannya. Dia hantam aku berkali-kali dengan sepotong besi yang kebetulan sedang ada di dekatnya. Aku melawan. Kami berkelahi hingga akhirnya orang-orang datang memisahkan. Setelah memisahkan, para warga menyalahkan aku dan menyuruhku untuk segera pergi. Ya, aku sadar. Memang aku yang bikin gara-gara. Kenapa aku tidak segera pergi saja ketika tuan rumah sudah bilang “maaf” secara baik-baik kepadaku”.

Istri:     “Mungkin ini teguran untukmu, Kang. Bukankah beberapa hari yang lalu ibumu sudah menasehati untuk segera berhenti mengamen dan mulai kembali berdagang. Tapi kau masih saja mengamen dan terus mengulur-ulur waktu. Aku sebenarnya juga lebih setuju kamu terus berdagang, Kang, daripada mengamen. Betul kata Ibu. Mengamen itu bukan bekerja, tetapi meminta-minta. Tidak halal meminta-minta kecuali bagi orang yang sedang terpaksa. Kamu bukan orang yang sedang terpaksa, Kang, karena kamu masih memiliki jalan lain. Kamu masih bisa berdagang. Itu jalan untukmu. Kenapa masih saja bersikeras untuk mengamen?!”

Suami: “Iya. Kau betul istriku. Insya Allah aku tak akan mengamen lagi. Aku akan kembali berdagang kalau sudah pulih nanti”.

Waktu berlalu. Beberapa saat kemudian, azan Maghrib terdengar berkumandang. Sang suami ingin segera salat. Tapi tiba-tiba seorang pengamen datang di depan rumahnya.

Sang suami berujar di dalam hati: “Astaghfirullohal azim. Orang ini lebih parah lagi daripada aku. Hari sudah Maghrib begini kok masih saja mengamen?! Astaghfirullohal ‘azim”.

“Maaf ya, Bang. Lewat aja dulu ya” ujar sang suami kepada si pengamen sambil memegangi kepalanya yang sudah dibalut perban.

Walhamdulillahi Robbil ‘alamin.

======
[1] Di zaman sekarang, ada juga pengamen yang menggunakan ondel-ondel, membawa rekaman musik sambil memakai topeng/menjadi badut. Ada juga yang dengan membawa sound sistem besar. Ada yang dengan menggunakan angklung atau lain-lain. Apapun itu semua, itu hanyalah perbedaan alat. Status mereka tetap saja mengamen. Dan mengamen, bukanlah bekerja, melainkan meminta-minta.
[2] Di antaranya lihat surat ath-Thalaq (65) ayat 2-3.

(Maltusiro/Media Muslim)

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...