Tuesday 14 July 2015

Lima Kelaziman Buruk di Seputar Hari Raya



Hari raya Idul Fitri adalah hari yang mulia bagi umat Islam. Kedatangannya ditunggu-tunggu setelah melaksanakan ibadah puasa satu bulan di Bulan Ramadhan. Sebagai hari yang mulia, semestinya ia diisi atau diwarnai pula dengan hal-hal yang mulia dan dihindarkan dari hal-hal buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai kemuliaan. Memang ada kelaziman-kelaziman yang baik yang telah dilakukan masyarakat kita berkaitan dengan hari raya seperti: saling mengunjungi atau bersilaturrahmi, saling memaafkan, saling kirim ucapan selamat baik lewat SMS atau sarana-sarana lainnya, mengadakan acara halal bi halal, dan lain sebagainya. Namun sayang, beberapa kelaziman buruk ternyata juga mengiringi keberadaan hari raya. Berikut ini penulis paparkan lima di antara beberapa kelaziman buruk yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan datangnya hari raya, terutama Idul Fitri:

1.) Membakar Petasan
       Sehari atau lebih menjelang hari raya, telinga kita lazim dikejutkan dengan bunyi-bunyi petasan. Membakar petasan termasuk dalam kategori kelaziman yang buruk karena beberapa alasan, di antaranya adalah karena dua hal berikut ini:
a.)    Merupakan perbuatan yang mubazzir (penghambur-hamburan harta atau pemborosan).
     Islam melarang segala bentuk perbuatan yang mubazzir. Dalam al-Quran surat al-Isra ayat 26-27 Allah Ta’ala menyatakan:
ولا تـبذّر تبذيرا (٢٦) إنّ المـبذّرين كانوا اخوان الشّياطين وكان الشّيطان لربّه كافورا (٢٧
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syetan dan syetan itu sangat ingkar kepada Tuhannya”.

     Camkanlah, Allah tidak menyebut orang yang mubazzir itu sebagai teman syetan, tetapi lebih buruk lagi, yaitu saudara syetan. Predikat yang amat buruk tersebut pastilah mengandung konsekuensi atau akibat yang amat buruk pula bagi orang-orang yang menyandangnya.
b.)   Dapat menimbulkan bahaya yang cukup besar bagi manusia seperti luka bakar, cacat tubuh, atau bahkan kematian. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195 menyatakan:
ولا تلقوا بأيديكم إلى التّهلكة
“Dan janganlah kamu jatuhkan (dirimu) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri”
Sabda Rasulullah saw juga menyatakan:
لاَ ضَرَرَ وَ لَا ضِرَار
“(kamu) tidak boleh membuat bahaya bagi dirimu sendiri dan juga tidak boleh membuat bahaya bagi orang lain”
2.) Takbir Keliling di Jalan Raya Secara Ugal-Ugalan
       Islam memang menganjurkan umatnya untuk bertakbir berkaitan dengan datangnya hari raya. Waktu takbir Idul Fitri dimulai dari malam hari  sebelum Idul Fitri (sejak selesai shalat Magrib) dan berakhir apabila shalat Idul Fitri telah selesai dilaksanakan. Tidak ada lagi takbir setelah itu (berbeda dengan takbir Idul Adha yang tetap di anjurkan sampai tiga hari setelah shalat Idul Adha, yaitu setiap selesai shalat fardhu. Waktu akhirnya adalah setelah shalat Ashar pada tanggal 13 Zulhijjah).
       Takbir tersebut memang dianjurkan untuk dilakukan di manapun, seperti di rumah, di masjid, di mushalla, dan termasuk pula di pasar-pasar atau di jalan-jalan. Namun umat Islam juga tidak boleh lupa, bahwa kegiatan takbir tersebut harus dilakukan secara tertib, damai, dan tanpa menimbulkan kerusakan atau bahaya terhadap diri sendiri atau orang lain. Jika takbir tersebut dilakukan di jalan raya dengan berkendaraan secara ugal-ugalan maka tentunya ini telah menodai kemuliaan ibadah takbir tersebut apalagi jika sampai menimbulkan korban jiwa karenanya. Maka hendaknya setiap muslim memerhatikan perkara ini dengan baik dan meninggalkan segala kelaziman yang buruk.
3.) Naiknya Ongkos Kendaraan Secara Berlebihan
       Ini lazim terjadi di setiap hari raya Idul Fitri dan berlangsung sampai beberapa hari setelahnya. Sebenarnya tentu boleh-boleh saja bagi orang-orang yang bekerja di bidang transportasi untuk menaikkan tarif angkutannya demi meraih keuntungan lebih dengan memanfaatkan momentum hari raya ini. Namun hendaknya perlu diingat agar kenaikan tersebut hendaknya tidak berlebih-lebihan (sampai ada oknum angkutan yang menaikkan tarif tiga kali lipat dari tarif biasanya sebagaimana yang pernah penulis alami sendiri di suatu kesempatan) sehingga membuat orang-orang yang ingin bersilaturrahmi ke rumah-rumah sanak familinya menjadi berfikir berkali-kali karena berat biaya ongkosnya.  Hal ini termasuk mempersulit orang untuk berbuat kebaikan. Padahal Allah menyuruh kita untuk mempermudah orang-orang yang ingin berbuat baik, bahkan kalau dapat justru menolongnya sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 berikut ini:
وَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّـقْوَى وَ لَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”

4.) Anak-Anak Kecil Yang “Manambang”
       Penulis tidak tahu apakah ini juga terjadi di tempat-tempat lain atau tidak, yang jelas fenomena “manambang” ini nampak oleh penulis terjadi di kota kita tercinta (Kota Padang). “manambang” yang dimaksud tidak lain adalah datangnya anak-anak kecil (baik sendiri atau berombongan) pada hari raya Idul Fitri ke rumah seseorang (baik orang yang mereka kenal atau tidak) dengan maksud yang “terselubung” namun jelas, yaitu untuk meminta uang kepada sang tuan rumah. Hal ini dikatakan “jelas” karena mereka memang tidak akan pergi jika hanya dengan bersalaman atau menikmati kue-kue sang tuan rumah. Mereka hanya akan pergi jika sang tuan rumah telah memberi uang kepada mereka.
       Ini adalah kelaziman yang buruk sebab secara tidak langsung kelaziman ini bisa menanamkan mental pengemis atau materialistis ke dalam jiwa anak-anak tersebut. Ajaran Islam mencela sikap materialistis, suka meminta-minta kepada manusia, atau berjiwa pengemis. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ الْمَـسْئَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِـهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْئَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
“Meminta-minta itu merupakan aib yang dicakarkan oleh seseorang ke wajahnya sendiri. Kecuali orang yang meminta kepada penguasa atau dalam suatu urusan yang menjadi keharusan baginya”. (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi)
       Ajaran Islam memuji sikap memberi dan mencela sikap meminta-minta atau mengharap-harap kepada makhluk. Meminta atau mengharap hanya terpuji jika dilakukan kepada Allah. Namun jika kita diberi sesuatu oleh seseorang tanpa kita memintanya, maka Islam justru menganjurkan kita untuk menerimanya apabila dipandang tidak ada bahaya atau keburukan di dalamnya. Pemberian tersebut hendaknya dipandang sebagai karunia dari Allah dan kita dianjurkan untuk berterimakasih kepada si pemberi yang telah Allah jadikan sebagai jalan atau perantara atas datangnya karunia tersebut.
       Jika ada sesuatu yang tercela dalam agama, maka janganlah anak-anak kita dibiasakan padanya. Ajarkanlah kepada mereka bahwa kedatangan mereka ke rumah seseorang itu adalah untuk bersilaturrahmi dan bukan untuk berharap-harap agar diberi uang apalagi sampai tidak mau pergi jika tidak diberi uang. Penanaman suatu nilai pada diri anak-anak kita memang harus dilakukan sejak mereka masih kecil.
5.) Banyaknya Pengemis di Berbagai Tempat
       Para pengemis atau peminta-minta banyak berkeliaran di berbagai tempat terutama di tempat-tempat yang sering menjadi objek berkumpulnya manusia seperti di tempat-tempat ziarah atau di tempat-tempat rekreasi. Padahal Islam menghendaki agar pada setiap hari raya itu janganlah sampai ada orang yang  mengemis atau meminta-minta. Rasulullah saw bersabda:
أُغْنُوْا هُمْ عَنِ السُّـؤَالِ فِي هَذَا الْيَـوْمِ
“Selamatkanlah mereka (kaum fakir miskin) dari meminta-minta pada hari ini”. (HR. Baihaqi dan Daruquthni)
       Agar tidak ada orang yang meminta-minta pada hari raya, maka Islam mewajibkan zakat fitrah kepada semua ummatnya baik tua atau muda, bahkan bayi sekalipun, sesuai dengan ketentuan atau syarat-syaratnya. Zakat fitrah tersebut harus dibayarkan sebelum dilaksanakannya shalat Idul Fitri. Semua orang fakir atau miskin harus diupayakan berada dalam kondisi cukup dengan zakat fitrah itu sebelum dilaksanakannya shalat Idul Fitri sehingga mereka tidak perlu meminta-minta lagi, minimal pada satu hari raya tersebut. Kalau dengan zakat fitrah yang ada, umat muslim di suatu tempat tidak juga bisa membuat para fakir miskin mereka berada dalam kondisi cukup untuk satu hari raya, maka dianjurkan pula agar mereka membantunya dengan sedekah-sedekah sunnat. Yang penting kaum fakir miskin mereka terjamin untuk tidak perlu meminta-minta pada hari raya.
       Dengan demikian, jika pada suatu hari raya terlihat ada orang yang meminta-minta di suatu tempat, maka harus dipertanyakan salah satu dari dua hal, yaitu: Apakah meminta-mintanya orang tersebut karena kelalaian kaum muslimin di tempat itu dalam memenuhi kebutuhan orang tersebut?, ataukah karena kesengajaan orang itu sendiri yang memanfaatkan momentum hari raya demi mendapatkan keuntungan dari tangan-tangan manusia dengan cara yang hina seperti itu? Yang manapun yang menjadi sebabnya, fenomena adanya peminta-minta pada hari raya tidak dapat dibenarkan oleh ajaran Islam dan harus diatasi oleh kaum muslimin terutama oleh pihak-pihak yang berwenang dan memegang kekuasaan di antara mereka secara bijaksana.
       Demikianlah tulisan kami yang singkat ini. Semoga Allah membantu kita untuk selalu terhindar dari segala perkara yang buruk. Dan semoga perbaikan demi perbaikan selalu terwujud di lingkungan masyarakat kita sehingga kita dapat berhasil menjadi manusia-manusia yang selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat, aamiin ya Rabbal ‘alamiin. Taqabbalallahu minna waminkum.
(Ditulis Oleh: Maltusiro)
*******
Tulisan kami ini telah di publikasikan oleh InfoSumbar pada hari Selasa, 14 Juli 2015. Klik alamat berikut: http://www.infosumbar.net/artikel/lima-kelaziman-buruk-di-seputar-hari-raya/

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...