Hari raya Idul Fitri adalah hari yang
mulia bagi umat Islam. Kedatangannya ditunggu-tunggu setelah melaksanakan
ibadah puasa satu bulan di Bulan Ramadhan. Sebagai hari yang mulia, semestinya ia
diisi atau diwarnai pula dengan hal-hal yang mulia dan dihindarkan dari hal-hal
buruk yang bertentangan dengan nilai-nilai kemuliaan. Memang ada
kelaziman-kelaziman yang baik yang telah dilakukan masyarakat kita berkaitan
dengan hari raya seperti: saling mengunjungi atau bersilaturrahmi, saling
memaafkan, saling kirim ucapan selamat baik lewat SMS atau sarana-sarana
lainnya, mengadakan acara halal bi halal, dan lain sebagainya. Namun sayang,
beberapa kelaziman buruk ternyata juga mengiringi keberadaan hari raya. Berikut
ini penulis paparkan lima di antara beberapa kelaziman buruk yang terjadi di
masyarakat berkaitan dengan datangnya hari raya, terutama Idul Fitri:
1.) Membakar Petasan
Sehari atau lebih menjelang hari raya,
telinga kita lazim dikejutkan dengan bunyi-bunyi petasan. Membakar petasan termasuk
dalam kategori kelaziman yang buruk karena beberapa alasan, di antaranya adalah
karena dua hal berikut ini:
a.)
Merupakan perbuatan yang mubazzir
(penghambur-hamburan harta atau pemborosan).
Islam melarang segala
bentuk perbuatan yang mubazzir. Dalam al-Quran surat al-Isra ayat 26-27 Allah
Ta’ala menyatakan:
ولا تـبذّر تبذيرا (٢٦) إنّ المـبذّرين كانوا اخوان
الشّياطين وكان الشّيطان لربّه كافورا (٢٧
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara syetan dan syetan itu sangat ingkar kepada Tuhannya”.
Camkanlah, Allah tidak
menyebut orang yang mubazzir itu sebagai teman syetan, tetapi lebih
buruk lagi, yaitu saudara syetan. Predikat yang amat buruk tersebut
pastilah mengandung konsekuensi atau akibat yang amat buruk pula bagi
orang-orang yang menyandangnya.
b.)
Dapat menimbulkan bahaya yang cukup besar
bagi manusia seperti luka bakar, cacat tubuh, atau bahkan kematian. Firman
Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195 menyatakan:
ولا تلقوا بأيديكم إلى التّهلكة
“Dan janganlah kamu jatuhkan (dirimu)
ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri”
Sabda Rasulullah saw juga menyatakan:
لاَ ضَرَرَ وَ لَا ضِرَار
“(kamu) tidak boleh membuat
bahaya bagi dirimu sendiri dan juga tidak boleh membuat bahaya bagi orang lain”
2.) Takbir Keliling di Jalan Raya
Secara Ugal-Ugalan
Islam memang menganjurkan umatnya untuk
bertakbir berkaitan dengan datangnya hari raya. Waktu takbir Idul Fitri dimulai
dari malam hari sebelum Idul Fitri (sejak
selesai shalat Magrib) dan berakhir apabila shalat Idul Fitri telah selesai
dilaksanakan. Tidak ada lagi takbir setelah itu (berbeda dengan takbir Idul
Adha yang tetap di anjurkan sampai tiga hari setelah shalat Idul Adha, yaitu setiap
selesai shalat fardhu. Waktu akhirnya adalah setelah shalat Ashar pada tanggal
13 Zulhijjah).
Takbir tersebut memang dianjurkan untuk dilakukan
di manapun, seperti di rumah, di masjid, di mushalla, dan termasuk pula di
pasar-pasar atau di jalan-jalan. Namun umat Islam juga tidak boleh lupa, bahwa kegiatan
takbir tersebut harus dilakukan secara tertib, damai, dan tanpa menimbulkan kerusakan
atau bahaya terhadap diri sendiri atau orang lain. Jika takbir tersebut dilakukan
di jalan raya dengan berkendaraan secara ugal-ugalan maka tentunya ini telah
menodai kemuliaan ibadah takbir tersebut apalagi jika sampai menimbulkan korban
jiwa karenanya. Maka hendaknya setiap muslim memerhatikan perkara ini dengan
baik dan meninggalkan segala kelaziman yang buruk.
3.) Naiknya Ongkos Kendaraan
Secara Berlebihan
Ini lazim terjadi di setiap hari raya
Idul Fitri dan berlangsung sampai beberapa hari setelahnya. Sebenarnya tentu boleh-boleh
saja bagi orang-orang yang bekerja di bidang transportasi untuk menaikkan tarif
angkutannya demi meraih keuntungan lebih dengan memanfaatkan momentum hari raya
ini. Namun hendaknya perlu diingat agar kenaikan tersebut hendaknya tidak berlebih-lebihan
(sampai ada oknum angkutan yang menaikkan tarif tiga kali lipat dari tarif
biasanya sebagaimana yang pernah penulis alami sendiri di suatu kesempatan)
sehingga membuat orang-orang yang ingin bersilaturrahmi ke rumah-rumah sanak
familinya menjadi berfikir berkali-kali karena berat biaya ongkosnya. Hal ini termasuk mempersulit orang untuk
berbuat kebaikan. Padahal Allah menyuruh kita untuk mempermudah orang-orang
yang ingin berbuat baik, bahkan kalau dapat justru menolongnya sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 berikut ini:
وَ تَعَاوَنُوْا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّـقْوَى وَ لَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”
4.) Anak-Anak Kecil Yang “Manambang”
Penulis tidak tahu apakah ini
juga terjadi di tempat-tempat lain atau tidak, yang jelas fenomena “manambang”
ini nampak oleh penulis terjadi di kota kita tercinta (Kota Padang). “manambang”
yang dimaksud tidak lain adalah datangnya anak-anak kecil (baik sendiri atau
berombongan) pada hari raya Idul Fitri ke rumah seseorang (baik orang yang
mereka kenal atau tidak) dengan maksud yang “terselubung” namun jelas, yaitu
untuk meminta uang kepada sang tuan rumah. Hal ini dikatakan “jelas” karena mereka
memang tidak akan pergi jika hanya dengan bersalaman atau menikmati kue-kue
sang tuan rumah. Mereka hanya akan pergi jika sang tuan rumah telah memberi
uang kepada mereka.
Ini adalah kelaziman yang buruk sebab
secara tidak langsung kelaziman ini bisa menanamkan mental pengemis atau
materialistis ke dalam jiwa anak-anak tersebut. Ajaran Islam mencela sikap materialistis,
suka meminta-minta kepada manusia, atau berjiwa pengemis. Rasulullah saw
bersabda:
إِنَّ
الْمَـسْئَلَةَ كَدٌّ يَكُدُّ بِـهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْئَلَ الرَّجُلُ
سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
“Meminta-minta
itu merupakan aib yang dicakarkan oleh seseorang ke wajahnya sendiri. Kecuali
orang yang meminta kepada penguasa atau dalam suatu urusan yang menjadi
keharusan baginya”. (HR. Abu
Dawud, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi)
Ajaran Islam memuji sikap memberi dan
mencela sikap meminta-minta atau mengharap-harap kepada makhluk. Meminta atau
mengharap hanya terpuji jika dilakukan kepada Allah. Namun jika kita diberi
sesuatu oleh seseorang tanpa kita memintanya, maka Islam justru menganjurkan
kita untuk menerimanya apabila dipandang tidak ada bahaya atau keburukan di
dalamnya. Pemberian tersebut hendaknya dipandang sebagai karunia dari Allah dan
kita dianjurkan untuk berterimakasih kepada si pemberi yang telah Allah jadikan
sebagai jalan atau perantara atas datangnya karunia tersebut.
Jika ada sesuatu yang tercela dalam
agama, maka janganlah anak-anak kita dibiasakan padanya. Ajarkanlah kepada
mereka bahwa kedatangan mereka ke rumah seseorang itu adalah untuk
bersilaturrahmi dan bukan untuk berharap-harap agar diberi uang apalagi sampai
tidak mau pergi jika tidak diberi uang. Penanaman suatu nilai pada diri
anak-anak kita memang harus dilakukan sejak mereka masih kecil.
5.) Banyaknya Pengemis di
Berbagai Tempat
Para pengemis atau peminta-minta banyak
berkeliaran di berbagai tempat terutama di tempat-tempat yang sering menjadi
objek berkumpulnya manusia seperti di tempat-tempat ziarah atau di tempat-tempat
rekreasi. Padahal Islam menghendaki agar pada setiap hari raya itu janganlah
sampai ada orang yang mengemis atau
meminta-minta. Rasulullah saw bersabda:
أُغْنُوْا
هُمْ عَنِ السُّـؤَالِ فِي هَذَا الْيَـوْمِ
“Selamatkanlah
mereka (kaum fakir miskin) dari meminta-minta pada hari ini”. (HR. Baihaqi dan Daruquthni)
Agar tidak ada orang yang meminta-minta
pada hari raya, maka Islam mewajibkan zakat fitrah kepada semua ummatnya baik
tua atau muda, bahkan bayi sekalipun, sesuai dengan ketentuan atau
syarat-syaratnya. Zakat fitrah tersebut harus dibayarkan sebelum
dilaksanakannya shalat Idul Fitri. Semua orang fakir atau miskin harus
diupayakan berada dalam kondisi cukup dengan zakat fitrah itu sebelum
dilaksanakannya shalat Idul Fitri sehingga mereka tidak perlu meminta-minta
lagi, minimal pada satu hari raya tersebut. Kalau dengan zakat fitrah yang ada,
umat muslim di suatu tempat tidak juga bisa membuat para fakir miskin mereka
berada dalam kondisi cukup untuk satu hari raya, maka dianjurkan pula agar
mereka membantunya dengan sedekah-sedekah sunnat. Yang penting kaum fakir
miskin mereka terjamin untuk tidak perlu meminta-minta pada hari raya.
Dengan demikian, jika pada suatu hari
raya terlihat ada orang yang meminta-minta di suatu tempat, maka harus
dipertanyakan salah satu dari dua hal, yaitu: Apakah meminta-mintanya orang
tersebut karena kelalaian kaum muslimin di tempat itu dalam memenuhi kebutuhan
orang tersebut?, ataukah karena kesengajaan orang itu sendiri yang memanfaatkan
momentum hari raya demi mendapatkan keuntungan dari tangan-tangan manusia
dengan cara yang hina seperti itu? Yang manapun yang menjadi sebabnya, fenomena
adanya peminta-minta pada hari raya tidak dapat dibenarkan oleh ajaran Islam
dan harus diatasi oleh kaum muslimin terutama oleh pihak-pihak yang berwenang
dan memegang kekuasaan di antara mereka secara bijaksana.
Demikianlah tulisan kami yang singkat
ini. Semoga Allah membantu kita untuk selalu terhindar dari segala perkara yang
buruk. Dan semoga perbaikan demi perbaikan selalu terwujud di lingkungan
masyarakat kita sehingga kita dapat berhasil menjadi manusia-manusia yang
selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat, aamiin ya Rabbal ‘alamiin. Taqabbalallahu
minna waminkum.
(Ditulis Oleh: Maltusiro)
(Ditulis Oleh: Maltusiro)
*******
Tulisan kami ini telah di
publikasikan oleh InfoSumbar pada hari Selasa, 14 Juli 2015. Klik alamat
berikut: http://www.infosumbar.net/artikel/lima-kelaziman-buruk-di-seputar-hari-raya/
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...