Melalui tulisan ini, saya ingin mengingatkan kepada saudara-saudara
saya yang suka meremehkan hadits-hadits dho’if apalagi selalu menolaknya sama
sekali agar segera bertaubat dan meninggalkan kebiasaan jelek tersebut. Sebab
sikap yang barangkali selama ini Anda anggap sebagai sikap ketaqwaan itu ternyata
sebenarnya justru bertentangan dengan tiga rujukan yang kita bangga-banggakan
selama ini, yaitu al-Quran, hadits Nabi saw, dan sikap para ulama salafus shaleh.
Dan jika sudah bertentangan dengan hal-hal tersebut, tentunya ia pasti merupakan sebuah dosa yang
tidak bisa diremehkan. Mari kita bahas lebih dalam bagaimana sikap tersebut
ternyata bertentangan dengan ketiga hal besar tadi.
1.)
Bertentangan dengan al-Quran
Perhatikanlah surat al-Hasyr ayat 7 berikut
ini:
وَمَا اتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَـهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْـتَهُوْا وَاتَّـقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Apa saja yang
disampaikan Rosul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat
keras hukuman-Nya.
(Q.S. al-Hasyr: 7)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah
untuk menerima apa saja yang telah disampaikan atau diberikan oleh Rasul s.a.w.
kepada para ummatnya. Hadits dho’if adalah hadits yang masih diakui sebagai
hadits Rasul saw, meskipun dinilai lemah menurut kajian ilmu hadits (baik lemah
pada hukum sanad periwayatnya atau lemah pada hukum matannya). Karena ia masih
diakui sebagai hadits Rasul saw, maka ia tidak boleh ditolak sama sekali.
Menolak sama sekali hadits dhoif, berarti telah menolak apa yang telah
disampaikan atau diberikan oleh Rasul saw. Menolak apa yang telah disampaikan
oleh Rasul saw, berarti telah melanggar perintah Allah swt yang terdapat pada
surat al-Hasyr ayat 7 tersebut.
Seumpama ada orang yang melarang suatu
amalan sunnah dengan alasan bahwa hadits tentangnya adalah dhoif, maka berarti
ia telah menolak hadits dhoif. Dengan menolak hadits dhoif, berarti ia telah
menolak apa yang disampaikan Rasul saw. Menolak apa yang disampaikan Rasul,
berarti telah melanggar perintah Allah dalam surat al-Hasyr ayat tujuh. Dan
melanggar perintah Allah hukumnya adalah haram.
Itulah sebabnya kenapa hadits-hadits dhoif
itu masih eksis saja sampai sekarang. Itulah sebabnya kenapa para ulama-ulama
besar terdahulu (seperti Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam
Hambali, Imam Hanafi, Imam Nawawi, dan lain sebagainya) yang sudah sedemikian
tinggi ilmunya dan sudah sangat teruji kualitas ketaqwaannya, tidak ada yang
berani untuk menolak sama sekali hadits-hadits dhoif, apalagi sampai berani
melarang-larang orang untuk beramal dengan alasan haditsnya dhoif. Mereka amat
takut melanggar perintah Allah yang terdapat dalam surat al-Hasyr ayat 7
tersebut. Melanggar perintah Allah, meskipun hanya satu buah perintah,
sesungguhnya bukanlah perkara ringan, kawan. Ia adalah perkara yang amat berat
jika Allah memperhitungkannya kepada diri Anda nanti. Karena itu bertaubatlah,
selagi kesempatan itu masih ada bagi anda.
Orang yang melarang orang lain melakukan
suatu amalan sunnah dengan alasan bahwa haditsnya dhoif, sesungguhnya dia telah
melakukan bukan hanya satu dosa. Sekurang-kurangnya ada tiga buah dosa
yang telah ia lakukan, yaitu:
a.)
ia telah menolak apa yang disampaikan Rasul saw (berarti telah melanggar
perintah Allah yang terdapat dalam surat al-Hasyr ayat 7 di atas),
b.)
ia telah mengajak pula orang-orang lain untuk mengikuti kesalahan dirinya (seberapa
banyak orang yang mengikuti kesalahannya itu, maka sebanyak itu pula dosa yang akan
ia tanggung tanpa mengurangi dosa orang-orang yang telah mengikutinya tersebut),
dan
c.)
ia berarti telah menghalangi orang lain dari jalan kebaikan atau dari jalan
Allah. Jika dalam al-Quran dinyatakan bahwa ucapan yang paling baik adalah
ucapan orang-orang yang mengajak manusia ke jalan Allah, maka siapakah orang
yang lebih buruk ucapannya selain daripada orang yang menghalangi manusia dari
jalan-jalan Allah? Camkanlah ini saudaraku, jika anda ingin selamat. Sebab
surat al-Hasyr ayat 7 tersebut diakhiri dengan ancaman-Nya: “Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh
Allah sangat keras hukuman-Nya.”
2.)
Bertentangan dengan hadits Nabi saw
Ada hadits Nabi saw yang menyatakan: “Barangsiapa
yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap-siap mengambil
tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits no. 110)
Sabda beliau saw yang lain: “Sungguh dusta
atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang. Barangsiapa yang sengaja
berdusta atas namaku, maka ia bersiap-siap mengambil tempatnya di neraka”
(Shahih Bukhari hadits no. 1229)
Setelah menampilkan kedua hadits di atas,
Habib Munzir al-Musawwa di dalam bukunya Kenalilah Aqidahmu (hal. 10) menyatakan
sebagai berikut:
“Cobalah
anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif
berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan
ucapan Rasul saw”
3.)
Bertentangan dengan sikap para ulama salaf yang
shaleh
Seperti juga telah disinggung di atas,
para ulama salaf yang shaleh, yang tak diragukan lagi kualitas keilmuan dan
ketaqwaannya kepada Allah swt seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Malik bin Anas,
Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Abu Hanifah, tidak ada seorangpun yang
meremehkan atau menolak sama sekali hadits dhoif. Karena hadits dhoif bukanlah
hadits palsu (maudhu’). Ia masih diakui sebagai ucapan Rasul saw.
Habib Munzir dalam buku yang sama
menegaskan:
“...tak satu muhaddits pun yang berani menafikan
keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadits dhoif sebagai hadits yang palsu
berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur”
Hadits dhoif ini banyak pembagiannya.
Sebagian ulama ada yang mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian. Ada pula yang
membaginya menjadi 49 bagian. Dan ada pula yang menjadikannya 42 bagian. Demi
kehati-hatian, hadits dhoif memang tidak dipakai sebagai hujjah atau dalil dalam
menetapkan suatu hukum (hukum wajib, halal, haram, dan sah atau batal). Namun
para imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk
amal shalih, penyemangat, atau manaqib, dan inilah pendapat yang mu’tamad.
Bahkan jumhur ulama telah sepakat untuk
menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan hadits dhoif. Contohnya, Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara
pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits
Aisyah ra yang berisi bahwa Rasul saw pernah menyentuhnya lalu meneruskan
shalat tanpa berwudhu. Hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai landasan
dalam ketentuan hukum thaharah.
Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar
menyetujui pemakaian hadits dhaif sebagai dasar untuk meningkatkan prestasi
amal baik atau amal yang disunnahkan sebagaimana yang telah dinyatakan oleh para
ulama dari golongan muhadditsin (ahli hadits), fuqaha (ahli hukum), dan
lain-lain. Imam Nawawi pun berpendapat bahwa hadits dhoif itu lebih unggul dari
pendapat siapapun[1].
Demikianlah
sikap para imam dan para ulama besar yang saleh terhadap hadits-hadits dhoif.
Lalu siapakah anda, sehingga berani-beraninya meremehkan dan mencampakkan
hadits-hadits dhoif. Di manakah ilmu anda jika dibandingkan dengan ilmu mereka?
Seberapa dalamkah kepahaman anda tentang perkara-perkara agama jika
dibandingkan dengan tingkat kepahaman mereka? Seberapakah ke-wara’an anda
jika dibandingkan dengan ke-wara’an mereka? Amat jauh saudaraku, amat jauh
perbandingannya. Tinggalkanlah keangkuhan anda dan ikutilah jalan mereka.
Demikianlah
kupasan ringkas kita tentang hadits dhoif ini. Semoga dapat menjadi peringatan
dan pelajaran yang berharga bagi kita semua. Walhamdulillahirabbil ‘alamiin.
(Jakarta, Minggu, 26 Juli 2015/10 Syawwal 1436 H)
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...