Friday 17 June 2011

Tanya-Jawab Zakat Gaji atau Zakat Profesi Bagian I


Guna memudahkan kaum muslimin dalam memahami permasalahan zakat gaji, kami menyajikan tulisan berikut ini dalam bentuk tanya-jawab. Mudah-mudahan upaya ini dapat menghindarkan kaum muslimin dari beberapa kesalah-pahaman selama ini tentang zakat gaji.

Apakah ada sebenarnya zakat gaji itu?
Sebenarnya tidak ada kewajiban zakat pada gaji. Karena gaji itu sebenarnnya adalah upah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bisa kita temukan definisi yang menyebutkan bahwa “gaji adalah upah kerja yang dibayar dalam waktu yang tetap”. Haji Sulaiman Rasyid (ulama yang di masa hidupnya pernah diangkat sebagai guru besar mata kuliah ilmu fiqh di PTIAIN Yogyakarta dan pernah pula menjabat sebagai Rektor mata kuliah ilmu fiqh di IAIN Jakarta) jelas-jelas menuliskan di dalam buku Fiqh Islam-nya (dalam pembahasan zakat paroan sawah) bahwa “penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dizakati”.
Akan tetapi ini bukan berarti bahwa orang yang berpenghasilan dari gaji itu akan terbebas sama sekali dari
kemungkinan wajib zakat. Kemungkinan itu tetap ada pada mereka, yaitu apabila dari hasil gajinya (setelah dikurangi pengeluaran) mereka bisa mengumpulkan uang (termasuk dalam pengertian uang adalah segala benda berharga atau surat berharga yang bernilai uang dan mudah untuk diuangkan) sampai sejumlah nishab emas atau perak dan telah pula mencapai haul. Dan ini sebenarnya termasuk kategori zakat emas/perak (uang dinar atau uang dirham) karena kepada itulah ia diqiyaskan, tetapi orang-orang sudah terlanjur menyebutnya sebagai zakat gaji atau zakat profesi. Jika sebatas penamaan saja dan aturannya tidak diubah-ubah dari hukum zakat yang sebenarnya, ya tidak masalah lah. Bisa kita terima.

Benarkah zakat gaji itu wajib dikeluarkan sekali sebulan?
Tidak benar. Zakat gaji itu tergolong zakat harta yang diqiyaskan kepada zakat uang dinar (emas) atau dirham (perak). Kewajibannya berlaku hanya apabila seseorang mampu menyimpan harta (setelah dikurangi oleh pemakaian kebutuhan) sampai sejumlah nishab dan telah mencapai haul. Yang dimaksud dengan haul adalah bahwa harta sejumlah nishab itu telah menjadi miliknya selama satu tahun qomariah (354 hari). Berarti kewajiban zakat gaji ini hanyalah sekali setahun. Dasarnya sabda Rasulullah saw:
Dari Ibnu Umar. Rasulullah saw telah bersabda: “Tidak ada zakat pada harta seseorang sebelum satu tahun dimilikinya”. (H.R. Daruquthni)

Kalau ada orang yang mengeluarkan zakat gaji itu sekali sebulan bagaimana, boleh atau tidak, sah atau tidak?
Hal ini sebenarnya terbagi menjadi dua:
1. bagi orang yang telah memenuhi syarat nishab dan haul berarti ia memang telah wajib untuk berzakat. Orang yang telah wajib berzakat dianjurkan untuk menunaikan zakat itu secepat mungkin dan setuntas mungkin sebab harta zakat itu adalah hak orang lain. Kalau ia tunda-tunda berarti ia telah menahan-nahan hak orang lain. Dengan penunaian sekali sebulan, disadari atau tidak, berarti telah terjadi penundaan penuntasan pembayaran zakat. Hal ini pada dasarnya tidak boleh. Tapi bagi orang-orang yang hartanya sangat banyak sehingga jumlah zakatnya itu juga sangat banyak, dan dia menjadi kesulitan untuk membayar zakatnya secara sekaligus atau dikhawatirkan terjadi hal-hal yang berbahaya karenanya, maka diperbolehkanlah pembayaran itu secara bertahap sampai tuntas (dengan cara sekali sebulan atau lain-lain). Ini adalah sebuah rukhsoh (keringanan) baginya.
2. bagi orang yang belum memenuhi syarat nishab dan haul, berarti belum ada kewajiban zakat padanya. Kalau dia membayar juga tiap bulan, sebenarnya itu sedekah biasa. Kalau dia niatkan itu sebagai zakat, padahal waktu kewajibannya belum datang kepadanya, maka ada ulama yang tidak mensahkan atau tidak membolehkan. Di antara yang tidak membolehkan (ta’jil zakat) adalah: Imam Malik, Rubai’ah, Sufyan Ats-Tsauri, Dawud, dan Abu ‘Ubaid bin Al-Harits (lihat Fiqih Wanita, karya Syeikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, hal. 271). Mengingat hal itu sama dengan menunaikan shalat sementara waktu shalatnya belum masuk, atau menunaikan puasa Ramadhan sementara bulan Ramadhannya belum datang.
Namun ada juga ulama yang membolehkan (seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan Az-Zuhri), karena mengingat zakat itu adalah hak orang lain. Hak orang lain itu, makin cepat diserahkan kepada pemiliknya tentu saja semakin baik. Namun pembolehan ini berlaku hanya jika harta itu memang telah mencapai nishab namun belum mencapai haul (lihat Ihya Ulumiddin , Jilid I, tentang zakat). Kalau harta itu juga belum mencapai nishab-nya, maka pembayaran tiap bulan itu tidak bisa disebut sebagai zakat. Itu hanya sebagai sedekah biasa saja. 

Bagaimana kalau ada instansi yang mewajibkan pemotongan langsung terhadap gaji karyawannya tiap bulan atas nama zakat?
Tentu saja itu tidak boleh dilakukan kecuali kepada karyawan yang memang telah wajib zakat dan ia merasa kesulitan untuk membayarnya secara sekaligus. Atau ia merasa kesulitan untuk menyerahkannya sendiri kepada yang berhak menerimanya dan ia setuju untuk dipotong langsung oleh instansinya tersebut karena alasan itu. Tapi kalau pemotongan itu dilakukan secara semena-mena, atau terhadap karyawan yang belum wajib berzakat karena tidak memenuhi syarat nishab dan haul, maka itu bisa diketegorikan sebuah kezaliman, perampokan, apalagi atas nama Tuhan atau agama. Dosanya tentu berlipat ganda. Naudzu billahi min dzalik.

Bagaimana kalau ada orang yang belum wajib berzakat, namun dengan kesadarannya sendiri ia mengeluarkan sebagian dari gajinya setiap bulan sebagai sedekah biasa, apakah itu boleh?
Kalau yang seperti itu, bukan hanya boleh, bahkan bagus. Itu adalah salah satu bentuk pengamalan dari al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 3: wamimma rozaqnahum yunfiqun. Artinya: “Dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka”.
Tapi perlu digarisbawahi di sini bahwa sedekah biasa itu tidak ada aturan harus 2,5 % dari gaji. Berapa besarnya terserah kemampuan dan kerelaan dari orang yang bersangkutan saja.

Berapakah nishab untuk zakat gaji itu?
Memang ada beberapa pendapat tentang ukuran nishab ini. Ada yang mengatakan 93,6 gram emas, ada yang mengatakan 94 gram emas, ada pula yang mengatakan 85 gram emas. Kenapa bisa terjadi perbedaan pendapat seperti itu? Sebab ukuran nishab yang sebenarnya itu menurut hadits Nabi saw, jika menurut ukuran emas, adalah dua puluh dinar. Rasulullah saw bersabda: “Tidak wajib atasmu zakat kecuali engkau telah memiliki dua puluh dinar” (H.R. Abu Dawud). Berapa gramkah dua puluh dinar itu? Dari sinilah muncul perbedaan. Tetapi kami cendrung memilih pendapat 85 gram emas karena berdasarkan contoh beberapa mata uang dinar dari masa awal-awal Islam yang terdapat di beberapa museum dunia, didapati bahwa satu dinar itu sama dengan 4,25 gram emas (lihat Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jil. 3, hal. 335). Jika 20 dinar (berarti 20 x 4,25), tentu menjadi 85 gram emas.
Orang Minang biasa menghitung emas dengan ukuran ameh. Berapa ameh kah nishab zakat itu?
Satu ameh orang Minang itu sama dengan 2,5 gram. Kalau disesuaikan, 85 gram itu berarti sama dengan 34 ameh. [Buya Amin/Media Muslim]

4 comments:

  1. lihat juga http://al-ilmu.biz/artikel-islami/zakat-profesi-adakah%E2%80%A6/comment-page-1/#comment-513

    ReplyDelete
  2. Jadi untuk Zakat profesi/yang sebenarnya tidak ada pada zaman Rasulullah Sholallohu'alaihi wa sallam tidak bisa dibayarkan setiap bulan ya Pak Ustadz? Saya berkerja di sebuah Yayasan, dan ada beberapa orang yang berdonasi dengan niat "Zakat" via rekening, apakah tetap harus kita distribusikan ke Penerima zakat yang 8 golongan atau bisa dianggap dana sedekah saja ya.? Terimakasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harus diberitahukan kepada mereka bahwa itu bukan zakat. Kalau mau disalurkan, itu hanya sedekah biasa. Kalau mereka tetap rela untuk disalurkan sebagai sedekah biasa, silakan disalurkan.
      Penyaluran sedekah biasa tidak harus kepada yang 8 golongan. boleh kepada yg lain, asalkan hal2 yg diridhoi Allah SWT.
      Dan saya sangat menganjurkan kepada orang2 yg berkecimpung di bidang zakat agar mempelajari betul-betul seluk beluk ilmu zakat. Agar jangan sampai pelaksanaan, pengelolaan, dan penyalurannya tidak sesuai dengan apa yg semestinya menurut Islam. Takutlah kepada Allah, karena ini adalah amanah dari-Nya.

      Delete
  3. Bagaimana cara menghitung zakat penghasilan

    ReplyDelete

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...