Terjadilah
perbincangan di antara kami selanjutnya. Panjang lebar. Saya menjelaskan
kekeliruan dari alasan si guru tersebut.
Perbincangan
itu saya rasa bermanfaat untuk dituangkan di blog ini. Tapi tentu saja saya
tidak akan men-share perbincangan itu persis seperti aslinya, karena ada
privasi-privasi dan pribadi-pribadi yang harus dijaga kehormatannya.
Agar
lebih selamat dan bermanfaat, saya akan melanjutkan tulisan ini dengan dialog
imajiner saja. Karena yang penting adalah sharing ilmunya. Ya kan?! Saya tak
ingin membawa Anda untuk bergosip. Yuk kita mulai.
Teman:
“Bagaimana
itu Ustadz, pendapat teman saya itu (guru yang melarang tersebut)?
Saya:
Ya
kalau menurut saya, pendapat seperti itu tentu saja tidak benar. Mungkin teman
Ibu itu tidak tahu kali ya, atau lupa, bahwa ibadah itu di dalam Islam ada dua
macam: Ibadah Mahdhoh (مَـحْضَة ) dan Ibadah Ghairu Mahdhoh (غَيْرُ مَـحْضَة ).
Ibadah
Mahdhoh adalah ibadah yang murni dan baku. Bentuk, waktu, dan
tata-caranya memang sudah diatur sedemikian rupa. Biasanya ada rukun dan syaratnya.
Harus dikerjakan betul-betul seperti apa yang sudah digariskan oleh Nabi
Muhammad saw, baik waktu maupun tatacaranya. Contoh ibadah dalam kategori ini
misalnya, shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain.
Saya
kasi contoh. Shalat Subuh, misalnya. Shalat Subuh ini harus dikerjakan di waktu
Subuh, tidak boleh di waktu yang lain (kecuali ada alasan-alasan tertentu yang
dapat dibenarkan seperti ketiduran, lupa, dan sebagainya). Rakaatnya juga harus
dua rakaat, tidak boleh ditambah atau dikurangi.
Begitu
pula zakat. Harus dikerjakan menurut aturan mainnya yang baku. Harus diserahkan
hanya kepada manusia-manusia tertentu (delapan golongan manusia), tidak boleh
kepada yang lainnya.
Haji
begitu juga. Harus dikerjakan di Mekkah. Waktunya harus pada waktu-waktu haji,
tidak boleh pilih waktu-waktu lain.
Dan
begitulah seterusnya ibadah yang tergolong Mahdhoh ini. Cukup terikat
dan tidak bebas, baik dari segi waktu maupun tata-caranya.
Tetapi
ibadah yang masuk dalam kategori Ghairu Mahdhoh, tidaklah seperti itu.
Ia agak bebas, meskipun tentu saja bukan tidak ada aturan sama sekali. Waktunya
bisa kita pilih-pilih. Bisa direncanakan. Bisa diagendakan. Bisa kita
musyawarahkan, dan lain sebagainya.
Contoh
Ibadah Ghairu Mahdhoh: membaca Alquran, shalawat kepada Nabi, mengajarkan ilmu
yang bermanfaat, ceramah agama, memberikan nasehat, silaturahmi, dan lain-lain.
Sangat banyak ibadah Ghairu Mahdhoh ini. Bahkan suatu perbuatan yang
biasa-biasa saja sekalipun, asalkan itu tidak dilarang oleh agama, bisa menjadi
ibadah ghairu mahdhoh jika ia diniatkan untuk ibadah.
Misalnya,
makan atau minum. Makan dan minum ini pada dasarnya adalah kegiatan biasa,
bukan ibadah. Buktinya, orang kafir (non muslim) pun melakukannya. Bahkan
binatang dan tumbuhan pun melakukannya.
Tetapi
bagi seorang muslim, kegiatan makan dan minum ini bisa menjadi ibadah. Yaitu
apabila ia lakukan dengan tanpa melanggar aturan Allah (seperti tidak memakan
yang haram) dan diniatkan karena Allah atau untuk melakukan hal-hal yang
diperintahkan Allah.
Contoh:
si A mau mengerjakan shalat Zuhur. Tapi ia merasa bahwa perutnya sudah amat
lapar, atau ia merasa bahwa tenaganya harus di-cas dulu dengan makan dan minum.
Maka ia memutuskan untuk makan dan minum dulu sebelum shalat. Ia ingin
tenaganya lebih ready ketika shalat. Dan ia ingin meminimalisir kemungkinan
tidak khusyu’ karena teringat makan dan minum ketika shalat.
Karena
si A makan dan minum dengan niat atau tujuan yang seperti itu, dan ia pun juga
makan-minum dengan sesuatu yang halal, maka dapatlah makan dan minum si A
tersebut dinilai ibadah. Ibadahnya masuk kategori mana? Kategori ibadah Ghairu
Mahdhoh.
Nah
maulid Nabi itu kenapa terus dilakukan oleh para ulama dan kaum muslimin?
Karena ia memang suatu kegiatan yang bernilai ibadah, yakni ibadah ghairu mahdhoh.
Kenapa
dikatakan ibadah? Karena isinya adalah hal-hal yang memang dianjurkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, yaitu: membaca Alquran, shalawat Nabi, penyampaian ilmu
dan nasehat agama, beramah-tamah dengan sesama muslim, makan-minum bersama, dan
lain-lain. Semua kegiatan itu adalah ibadah. Semua kegiatan itu dilakukan dan
dianjurkan oleh Nabi. Tetapi karena kategori ibadahnya adalah ibadah ghairu
mahdhoh, maka tidak harus persis seperti Nabi tentang waktu dan formatnya.
Kalau
ibadah ghairu Mahdhoh harus persis seperti Nabi, justru akan sangat memberikan
kesulitan bagi umat bahkan boleh dikatakan tidak akan mungkin dilakukan.
Contoh:
Anda mau melakukan ceramah agama. Ini ibadah (ibadah ghairu mahdhoh). Tetapi
kalau harus persis seperti dilakukan oleh Nabi, baik waktu maupun caranya, Maka
bagaimana mungkin? Intonasi Anda, mimik Anda, ekspresi Anda, gerak-tangan Anda,
dan lain-lain, tidak akan bisa sama persis dengan apa yang telah dilakukan oleh
Nabi.
Masalah
waktu juga begitu. Bagaimana mungkin menyamakannya dengan waktu Nabi? Nabi
ceramah hari apa saja, jam berapa saja, berapa lama durasinya? Apa harus
begitu? Tidak. Kalau diharuskan begitu justru akan menjadi teramat sulit dan
hampir tidak akan mungkin untuk dilakukan.
Nah
inilah kelapangan Islam. Inilah rahmat Allah untuk para hamba-Nya. Mereka diberikan
bentuk ibadah Ghairu Mahdhoh, yang agak bebas waktu dan caranya dibandingkan
dengan ibadah Mahdhoh.
Dengan
adanya bentuk ibadah Ghairu Mahdhoh ini, para hamba-Nya berkemungkinan untuk
menjadikan seluruh aktivitas hidupnya menjadi ibadah. Kalau tidak ada bentuk
ibadah Ghairu Mahdhoh, maka akan sangat sedikit sekali ibadah yang dilakukan
oleh manusia di dalam hidupnya. Padahal tidaklah diciptakan manusia oleh Allah
kecuali untuk beribadah kepada-Nya.
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar
mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Az-Zariyat: 56)
Karena
manusia tidak diciptakan oleh Allah kecuali untuk beribadah kepada-Nya, maka
sesungguhnya hidup manusia itu secara idealnya harus full digunakan
untuk beribadah. Seluruh aktifitas manusia harus diusahakan agar selalu
bernilai ibadah. Nah, hal ini akan tidak mungkin jika tidak ada ibadah Ghairu
Mahdhoh.
Jadi
Maulid Nabi itu, bukan tidak pernah dibuat oleh Nabi. Isinya kan baca Alquran,
shalawat nabi, ceramah agama, makan-minum bersama, beramah-tamah, dan lain-lain.
Semuanya adalah hal-hal yang telah dianjurkan dan pernah dibuat oleh Nabi saw dan
para sahabatnya. Hanya karena semua itu tergolong ke dalam ibadah Ghairu
Mahdhoh, maka ia boleh saja dikumpulkan dalam suatu waktu atau momen. Dan boleh
saja momen itu diberi nama dengan Peringatan Maulid Nabi saw.
Teman:
Terus
kalau mereka sekarang tidak lagi mengerjakan peringatan Maulid Nabi itu lagi,
bagaimana Ustadz? Apa mereka berdosa?
Saya:
Kalau
sekedar tidak mengerjakan, itu tidak berdosa. Tetapi yang melarang-larang,
itu BERDOSA.
Yang
tidak mengerjakan, tidak berdosa. Asalkan mereka tidak mengerjakannya itu bukan
karena benci, tetapi mungkin hanya karena tidak sempat, atau karena sedang ada
halangan dan kesibukan.
Tetapi
meskipun tidak berdosa, mereka harus tahu bahwa mereka itu telah sangat rugi.
Mereka sangat rugi karena telah kehilangan banyak pahala. Kenapa? Karena kalau
peringatan Maulid Nabi itu diadakan, akan terjadilah pada hari itu: adanya
orang yang membaca Alquran dengan didengarkan oleh sekian banyak manusia
(didengarkan oleh para siswa, para guru, para undangan, para tetangga sekolah,
dan lain-lain).
Orang
yang membaca Alquran berpahala. Orang-orang yang mendengarkannya juga berpahala.
Dan semua pahala orang yang membaca dan mendengarkan bacaan Alquran pada saat
itu, juga akan didapatkan oleh orang-orang yang menyebabkan terjadinya bacaan
Alquran tersebut (yaitu para panitia penyelenggara, kepsek yang menyetujui, para
pengumpul dana, dan lain-lain). Hitunglah berapa banyak orang yang mendengarkan
bacaan Alquran pada hari itu. Semua mereka berpahala, dan pahala mereka semua
juga akan didapatkan oleh orang-orang yang telah menyebabkan terjadinya acara
itu tanpa mengurangi pahala para pendengar dan pembaca Alquran itu
masing-masing.
Itu
baru pahala dari segi bacaan Alqurannya. Maka bayangkan pula pahala yang
didapat dari bacaan shalawat Nabi yang dikumandangkan pada hari itu. Bayangkan
pula pahala yang didapatkan dari ceramah agama yang diadakan pada peringatan
maulid Nabi tersebut. Pahala dari makan dan minum bersama. Pahala dari
beramah-tamah, saling senyum dan bertukar-pikiran pada hari itu, dan lain-lain.
Dipandang
dari segi ini, sungguh sangat rugi mereka yang tidak mengadakan Peringatan Maulid
Nabi saw ini. Mereka kehilangan sekian banyak pahala yang semestinya bisa
mereka dapatkan.
Sedangkan
bagi yang melarang-larang, itu BERDOSA. Karena ia telah mencegah-cegah
orang dari berbuat kebaikan. Ia telah mencegah manusia dari berbagai kegiatan ibadah kepada Allah
(berbagai ibadah Ghairu Mahdhoh).
Dengan
melarang peringatan maulid Nabi, secara tidak langsung berarti ia telah mencegah
terjadinya pembacaan Alquran, telah mencegah manusia dari bershalawat, telah
menghalangi manusia dari ceramah agama, telah mencegah manusia dari makan-minum
bersama, dan lain-lain. Karena itu semualah isi dari acara Peringatan Maulid Nabi
saw. Dengan melarang Peringatan Maulid Nabi, berarti ia telah mencegah
terjadinya semua kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya itu. Padahal semua itu adalah
hal-hal yang telah diperintahkan oleh Allah swt. Semua itu adalah bentuk ibadah
Ghairu Mahdhoh. Inilah yang seringkali tidak disadari oleh mereka yang
melarang-larang peringatan Maulid Nabi saw.
Ingatlah,
bahwa melarang manusia dari kebaikan (melarang yang makruf) adalah salah-satu
ciri orang munafik yang disebutkan Allah di dalam Alquran (surat at-Taubah ayat
67). Tidak takutkah kita tergolong sebagai orang munafik? Nauzubillahi min
zalik.
Teman:
Kalau
berdosa, kok bisa ada ya, yang melarang peringatan Maulid Nabi itu? Padahal
mereka para ustad juga lho?
Saya:
Ya
kan, tidak semua orang berilmu itu, ilmunya benar. Ada orang yang berilmu,
tetapi ilmunya salah. Bisa jadi karena salah pemahaman, salah tafsir, dan
lain-lain. Karena itu kita kan disuruh untuk memilih-milih siapa orang yang
akan kita jadikan guru.
Nabi
juga menyebutkan bahwa tidak semua ulama itu benar. Ada juga ulama yang su’
(ulama yang jelek/jahat). Ulama yang su’ ini bisa jadi karena ilmunya tidak
benar, atau bisa jadi karena ia telah menyelewengkan ilmu agama yang ada
padanya karena tergoda hawa nafsu dan materi duniawi. Bisa jadi pula karena tidak
sesuai antara ilmu dengan amalnya. Wallohu a’lam.
Teman:
Jadi,
kami sekarang harusnya bagaimana, Ustad? Apakah kami biarkan saja atau
diusahakan kembali Peringatan Maulid Nabi itu?
Saya:
Kalau
bisa tentu diusahakan kembali. Tapi harus dengan cara yang baik. Yang tidak
paham harus diberikan pemahaman terlebih dulu. Jangan main paksa dan terjadi
keributan. Tunjukkan saja artikel ini kepada yang belum paham. Atau ditambah
lagi dengan tulisan-tulisan lain yang membahas masalah Peringatan Maulid Nabi
ini.
Insya
Allah, kalau mereka mengerti, mereka akan cinta kepada Maulid Nabi dan akan
tidak semudah itu saja untuk meninggalkannya.
Baca
juga di blog ini tentang Dalil dan Keutamaan Maulid Nabi saw
Walhamdulillahi
Rabbil ‘alamin.
Keterangan Foto: Hanya ilustrasi.
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...