Untuk
menjawab pertanyaan di atas, coba bayangkan terlebih dulu seandainya Anda
adalah seorang pemilik sebuah perusahaan. Karena sesuatu hal, Anda ingin ada
seseorang yang menggantikan atau mewakili Anda dalam mengelola dan memimpin
perusahaan tersebut. Anda cari-cari orang yang layak dan berkualitas untuk hal
itu.
Pada
akhirnya, Anda menemukan dua orang yang lumayan bagus. Katakanlah si A dan si
B. Anda harus memilih salah satunya. Si A ternilai cerdas, berpengalaman, berdisiplin
tinggi, dan lain-lain. Dari segi kualitas, pokoknya si A ini tidak kalah oke dengan
si B. Bahkan menurut sebagian orang, si A lebih berkualitas daripada si B.
Tapi
sayangnya, si A ini tidak percaya dan tidak mengakui bahwa Anda adalah pemilik
perusahaan tersebut. Si A malah mengklaim atau menyatakan bahwa pemilik
perusahaan ini sebenarnya adalah si anu (orang selain Anda). Kira-kira, jika
itu yang terjadi, maka akan maukah Anda mengangkat si A untuk menjadi pemimpin
di perusahaan Anda itu? Akan Anda izinkankah para karyawan Anda untuk
mengangkat si A menjadi pemimpin di perusahaan Anda itu? Jawabannya tentu tidak.
Anda pasti tidak akan mau dan tidak akan memperbolehkan si A untuk menjadi
pemimpin di perusahaan yang Anda miliki itu.
Nah,
begitulah kira-kira gambaran kenapa Islam melarang memilih pemimpin kafir.
Alasannya adalah karena alam ini adalah milik Allah dan harus dikelola sesuai
dengan aturan-aturan Allah (yakni Alquran dan Sunnah). Sementara si kafir,
tidak percaya kepada Allah. Dan tentunya, tidak percaya pula kepada
aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah. Maka bagaimana mungkin Allah
akan mengizinkan seseorang yang mengingkari Dia dan aturan-aturan-Nya itu untuk
menjadi pemimpin dan pengelola di alam yang dimiliki-Nya ini.
Allah
ingin agar “perusahaan” (baca: alam semesta) milik-Nya ini dikelola sesuai aturan-aturan
yang telah ditetapkan-Nya. Maka bagaimana mungkin Dia akan mengizinkan “para
karyawan”-Nya (baca: umat Islam) untuk memilih seseorang yang jelas-jelas mengingkari-Nya,
tidak mau menerima aturan-aturan dari-Nya, untuk menjadi pemimpin di “perusahaan”-Nya.
Inilah yang harus dipahami oleh orang-orang yang masih saja ragu tentang hukum haramnya
memilih pemimpin kafir di dalam Islam.
Semua
negeri, semua tempat, di manapun, termasuk Jakarta, adalah milik Allah.
Umpamakanlah ia (tempat di manapun itu) adalah “perusahaan” Allah. Umat Islam
adalah “para karyawan” di dalam perusahaan Allah tersebut. Maka bagaimana
mungkin umat Islam dibenarkan untuk mengangkat seseorang yang mengingkari Allah
di “perusahaan” yang dimiliki oleh Allah itu. Semoga dapat dipahami dan bermanfaat.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. [Maltusiro/Media Muslim]
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...