Tuesday, 30 May 2017

Hukum Musik/Nyanyian Dalam Islam (Dalil dan Bantahan) (3)



Ini adalah bagian ke-3 (terakhir) dari tulisan ini. Kalau Anda belum membaca bagian pertama dan kedua-nya silakan klik di sini: bagian 1, bagian 2.

Baiklah, kita lanjutkan.

Kalau di bagian ke-2 kita telah membuktikan kesalahan mereka yang mengharamkan musik dalam menggunakan ayat-ayat Alquran. Maka di bagian ke-3 ini kita akan membuktikan kesalahan mereka dalam penggunaan hadits-hadits Nabi saw yang berkaitan dengan musik.


Kita telah katakan bahwa tidak ada dalil Alquran maupun hadits yang dapat digunakan untuk mengharamkan musik/nyanyian secara mutlak. Khususnya tentang hadits, tidak ada satu pun hadits yang terkesan melarang nyanyian/musik yang tidak mendapat kritikan atau celaan di kalangan ahli hadits. Semua hadits yang berkaitan dengan pengharaman musik/nyanyian selalu mendapat kritikan dari kalangan ahli hadits. Jika ada yang shahih, maka dinilai tidak sharih (tidak jelas/tidak tegas). Atau jika ada yang sharih, maka dinilai tidak shahih.

Bahkan Al-Qadhi Abubakar bin Al-‘Arabie mengatakan: “Tidak ada satu pun hadits yang sah yang berhubungan dengan diharamkannya nyanyian”. Ibnu Hazm pun berkata: “Semua hadits yang menerangkan tentang haramnya nyanyian adalah batil atau palsu”.
(lihat Halal dan Haram Dalam Pandangan Islam, karya Syeikh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi, jilid 2, halaman 161)

Sekarang, mari kita lihat sebagian dari hadits-hadits tersebut dan kita perhatikan di mana segi kekurangannya sehingga tidak dapat dipakai untuk mengharamkan musik/nyanyian secara mutlak.

a. Hadits Pertama : Sharih Tapi Tidak Shahih
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits berikut ini sebagai dalil:

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ 
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau saw menghitung salah satu di antaranya adalah budak wanita penyanyi dan alat-alat musik”. (HR. Tirmizy) 

Meskipun matan hadits ini dari segi istidlal termasuk sangat jelas dan tegas menyebut nama alat musik, sehingga tidak bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang lain, bahkan acamannya juga jelas, yaitu bala’, tetapi sayangnya para ulama umumnya memvonis hadits ini dha’if (lemah). Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy, jelas-jelas menyebutkan dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa hadits tersebut tidak shahih. 

Maka bagi mereka yang mempermasalahkan nyanyian dan musik, hadits ini tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkannya. Karena untuk mengharamkan sesuatu, tidak boleh dilandasi dengan hadits yang status hukumnya lemah. 

b. Hadits Kedua : (Mungkin) Shahih (hanya mungkin, karena ada ulama yang mempermasalahkannya) Tetapi Tidak Sharih 

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ 
Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan, sutera, khamar, dan alat musik. (HR. Bukhari)

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy’ari. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya.

Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits mu’allaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Mengapa demikian? 

Ternyata hadits ini termasuk dalam kategori mu’allaqat (معلقات), meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berijtihad bahwa hadits ini tersambung lewat sembilan jalur periwayatan. Namun semua jalur itu melewati satu orang perawi yang banyak diperdebatkan oleh para ulama, yaitu perawi bernama Hisyam bin Ammar. 

Mereka yang tidak mempermasalahkan Hisyam, bersikeras menyebut bahwa Bukhari tidak mencacatnya. Selain itu, Hisyam ini adalah khatib di Damaskus, juga ahli Al-Quran serta ahli hadits negeri itu.

Namun para ulama lain mempermasalahkan. Antara lain adalah apa yang dikomentari Abu Daud tentang Hisyam, yaitu bahwa Hisyam sebagai orang yang meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebut Hisyam sebagai pernah berstatus shaduq tapi kemudian sudah berubah. An-Nasa’i menyebutnya sebagai : la ba’sa bihi. Sebutan ini tidak menghasilkan mutlak kepercayaan. Di samping itu, di antara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab). 

Katakanlah, bahwa hadits ini shahih, karena terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih bisa dipermasalahkan.

Misalnya, kalau pun periwayatan hadits ini diterima, apa-apa yang disebutkan di dalam hadits ini ternyata tidak semuanya dapat diharamkan secara mutlak. Contohnya, dalam hadits ini disebutkan sutera. Apakah sutera diharamkan secara mutlak? Sutera diharamkan hanya untuk kaum laki-laki, sedangkan untuk kaum perempuan, sutera itu halal.

Hadits ini juga menyebut kata al-hira (الحِرَ) yang artinya adalah kemaluan. Apakah kemaluan diharamkan secara mutlak? Ternyata tidak. Jika seseorang melakukan pernikahan, maka kemaluan istri atau suaminya menjadi halal untuknya. Jika seseorang lelaki memiliki budak perempuan, maka kemaluan budak perempuannya itu juga halal baginya.

Itulah mengapa sehingga dalam terjemahan hadits ini, kata al-hira (الحِرَ) biasanya diterjemahkan menjadi perzinaan. Sebab kemaluan yang diharamkan adalah kemaluan dengan jalan perzinaan.  

Dari 4 (empat) hal yang disebutkan di dalam hadits tersebut, hanya satu hal yang dapat diharamkan secara mutlak, yaitu khamr (arak), karena khamr telah jelas diharamkan di dalam Alquran. Sedangkan 3 (tiga) hal lainnya --musik, kemaluan, dan sutera-- adalah hal yang tidak mutlak keharamannya sebagaimana yang telah kita jelaskan alasannya.

Kalau musik di dalam hadits ini dihukumi haram, maka keharamannya harus dipandang sebagai haram sababiy (haram karena sebab, sebagaimana yang telah kita jelaskan di bagian 2 dari tulisan ini). Bukti bahwa keharamannya adalah sababiy adalah karena ia dibolehkan pada momen-momen yang bukan darurat. Nabi pernah membolehkan musik/nyanyian pada hari raya dan pernah pula membolehkannya pada hari pernikahan padahal dua momen tersebut tidaklah dapat dikatakan momen darurat. Jika musik/nyanyian pada dasarnya adalah haram, maka semestinya Nabi tidak mengizinkannya walaupun pada hari raya atau pada waktu pernikahan karena keduanya adalah bukan momen darurat.

Sesuatu yang haram karena sebab-nya, maka ketika sebab itu dapat dihilangkan atau dihindari, maka sesuatu itu kembali kepada hukum asalnya yakni boleh atau halal. Sesuatu yang halal atau mubah, maka ketika ia digunakan untuk hal-hal yang diridhoi oleh Allah, maka ia justru akan berpahala, insya Allah.

Sebab yang membuat musik diharamkan --sebagaimana yang telah kita terangkan pula-- adalah karena ia di zaman awal-awal Islam amat identik dengan kemaksiatan (seperti minuman keras dan perbuatan mesum). Maka jika faktor kemaksiatan dapat dihilangkan, maka hukum musik kembali kepada asalnya yakni halal atau mubah.

c. Hadits Ketiga : Sharih Tapi Tidak Shahih
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ 
Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad) 

Hadits ini juga tegas sekali menyebutkan tentang salah satu tugas Rasulullah SAW, yaitu menghancurkan seruling dan alat-alat musik. Kalau seandainya hadits ini shahih, pastilah para ulama tidak pernah berbeda pendapat tentang kewajiban menghancurkan alat-alat musik. Atau setidak-tidaknya, mengharamkan alat musik secara aklamasi. 

Masalahnya justru karena hadits ketiga ini didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan bahwa dalam rangkaian para perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama Ali bin Yazid. 

Maka wajar kalau banyak ulama yang tidak membenarkan pengharaman alat-alat musik, lantaran dalil yang digunakan untuk mengharamkannya justru bermasalah, karena merupakan hadits dhaif. Hadits dhaif memang boleh digunakan untuk meningkatkan semangat dalam mendapatkan keutamaan, tetapi seluruh ulama sepakat menolak hadits dhaif untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. 

d. Hadits Keempat : Menutup Telinga Bukan Berarti Haram
عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ  سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا – رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه ‘
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadits ini punya dua kelemahan sekaligus, yaitu dari segi isnad dan istidlal. Dari segi sanad, hadits ini divonis sebagai hadits munkar oleh Abu Daud. Meski pun ada juga yang menentangnya. Namun kalau pun hadits ini diterima dari segi isnad, masih juga bermasalah dari segi istidlal. Mengapa?

Karena hadits ini sama sekali tidak menyebutkan halal atau haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadits ini memang dari segi istidlal bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman mendengar suara musik. Namun kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena ada beberapa kejanggalan dalam detailnya, seperti :

Pertama, seandainya hukum mendengar suara musik itu memang benar-benar haram, seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan berlalu dari penggembala. Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup seruling. Sebagai ahli fiqih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau mendiamkan kemungkaran, dan hanya sekedar menghindar. Tapi yang beliau lakukan hanya menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa ini disimpulkan sebagai haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat. 

Kedua, seandainya hukum mendengar musik itu memang benar-benar haram secara mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak hanya menutup telinganya sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan pembantunya, Nafi’, untuk ikut juga menutup telinga, seperti yang beliau lakukan dan sebagaimana yang konon dilakukan oleh Rasulullah SAW. 
Tetapi kenyataannya, Ibnu Umar sama sekali tidak memerintahkan Nafi’ untuk menutup telinga. Malah beliau bertanya apakah Nafi’ masih mendengarnya. Maka karena tidak ada kejelasan pasti apakah mendengar musik itu haram atau tidak di hadits ini, bisa saja kita berasumsi bahwa ketika Rasulullah SAW menutup telinganya, adalah bukan karena haramnya, melainkan karena sebab-sebab yang lain. 

Sebab-sebab yang lain itu misalnya karena momentumnya tidak tepat. Mengingat di waktu-waktu tertentu, Rasulullah SAW justru membolehkan nyanyian dan musik untuk diperdengarkan dan dimainkan, misalnya ketika Hari Raya, pernikahan, atau ketika dalam peperangan. Atau boleh jadi si penggembala kurang pandai memainkan alat musiknya sehingga terkesan memekakkan telinga, fals dan sumbang sehingga beliau SAW menutup telinganya sambil meninggalkannya. 

Kalau seandainya meniup seruling itu haram, seharusnya Rasulullah SAW bukan menutup telinga, tetapi beliau menegur penggembala itu secara langsung. Mustahil buat seorang Nabi mendiamkan kemungkaran di depan mata. Karena hal itu berarti tidak amanah dalam menjalankan tugas-tugas kenabian. 

e. Hadits Kelima: Tidak Shahih dan Tidak Sharih 
Sebagian kalangan yang ingin mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits tentang semua perbuatan sia-sia hukumnya batil, kecuali memanah, melatih kuda dan bercumbu dengan istri.

كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ 
Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatih kuda, dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)

Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari segi keshahihannya dan dari istidlalnya. Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi menyebutkan bahwa ada idhthirab di dalam hadits ini. 

Sedangkan kelemahan dari segi istidlal ialah bahwa hadits ini sama sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai sesuatu yang batil. Berarti, bukan dalil yang sharih untuk mengharamkan sesuatu. Sedangkan kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik itu termasuk batil karena umumnya hadits ini, yang tidak batil hanya ada tiga perbuatan saja, maka akan ada begitu banyak perbuatan yang batil di sekeliling kita. Hal ini terasa aneh dan mengesankan seakan-akan Islam adalah agama yang begitu sempit.

Mengharamkan musik dengan hadits ini ibarat membunuh lalat dengan menggunakan meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban-korban lain (yang semestinya tidak menjadi korban) menjadi berjatuhan.

f. Hadits Keenam: Haramnya Lonceng Tidak Lantas Berarti Haramnya Musik

Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Ada beberapa hadits yang terkesan melarang lonceng, di antaranya :

الجَرَسُ مَزَامِيْرِ الشَّيْطَانِ
Lonceng itu adalah serulingnya setan (HR. Muslim)

لاَ تَدْخُلُ المَلآئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ جُلْجُلْ وَلاَ جَرَسٌ لاَ تَصْحَبُ المَلآئِكَةُ رُفْقَةً فِيْهَا كَلْبٌ أَوْ جَرَسٌ
Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat jul-jul dan lonceng. Dan malaikat tidak akan menemani orang-orang yang di rumah mereka ada anjing dan lonceng. (HR. Muslim)

أَنَّ رَسُولَ اللهِ  أَمَرَ باِلأَجْرَاسِ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ أَعْنَاقِ الإِبِلِ يَوْمَ بَدْرٍ
Bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar memotong lonceng dari leher unta pada hari Badar. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Namun jikalaupun hadits-hadits tersebut shahih dan sharih sehingga menjadi sah untuk mengharamkan lonceng, tetapi tidak otomatis menjadi dalil pula untuk mengharamkan musik/nyanyian. Sebab:

1. Hadits-hadits tersebut tidak berbicara tentang musik, sehingga bukan merupakan dalil yang sharih untuk mengharamkan musik, dan
2. Dalil-dalil yang shahih dan sharih yang membolehkan musik itu ada, sebagaimana yang telah kita sampaikan di bagian-bagian sebelumnya. Tidak mungkin Rasulullah membolehkan musik/nyanyian pada hari raya, pada hari pernikahan, atau pada saat penyambutan dirinya jika hukum musik pada dasarnya haram (mana mungkin Rasulullah mengizinkan umatnya untuk berhari raya atau melangsungkan pernikahan dengan sesuatu yang haram?!). Sesuatu yang haram hanya dapat dibolehkan pada kondisi-kondisi darurat, sedangkan hari raya atau pernikahan bukanlah kondisi-kondisi darurat. Oleh karena itu, mengatakan bahwa hukum dasar musik adalah haram merupakan pendapat yang aneh dan tidak dapat diterima.

Masih ada lagi hadits-hadits lain yang digunakan orang untuk mengharamkan musik. Tetapi semuanya tidak ada yang shahih sekaligus sharih sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan musik. Cukuplah enam itu sebagai contoh pembuktian.

Kesimpulannya, menurut hemat kami, musik/nyanyian itu tidak bisa diharamkan secara mutlak. Sebab Rasulullah saw pernah membolehkannya dan tidak ada dalil yang shahih sekaligus sharih untuk mengharamkannya. Kalaupun disebut haram, maka keharamannya harus dipandang sebagai haram sababiy (haram karena sebab), bukan haram ‘ainiy atau haram mutlak. Dan sebab keharamannya adalah karena musik/nyanyian di zaman itu amat identik dengan perbuatan-perbuatan maksiat seperti diiringi dengan minuman keras atau perbuatan-perbuatan mesum. Sesuatu yang haram sababiy, jika faktor sebab yang mengharamkannya dapat dihindari, maka sesuatu itu kembali kepada hukum asalnya yakni halal atau mubah. Oleh karena itu, jika musik/nyanyian itu dapat dihindarkan dari faktor-faktor maksiat, maka hukum musik/nyanyian itu pun kembali kepada halal. Dan jika sesuatu yang halal digunakan untuk hal-hal yang berpahala, maka insya Allah, ia pun akan berpahala pula.

Namun demikian, meskipun kami di dalam hal ini menentang pengharaman musik/nyanyian secara mutlak, kami tetap menganjurkan agar kita lebih banyak disibukkan kepada hal-hal lain yang lebih bermanfaat dan lebih penting. Sibukkanlah diri dengan membaca dan mempelajari Alquran/hadits. Sibukkanlah diri dengan mempelajari ilmu agama dan lain-lain. Gunakanlah musik/nyanyian sekeperluannya saja, dan tentunya hanya dalam hal-hal kebaikan saja dan tidak mengandung maksiat.

Demikianlah tulisan kami ini. Semoga dapat dipahami dan bermanfaat. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

(Buya Amin/Media Muslim)
  
Ket: Bagian ke-3 ini juga dikutip dan diedit dari tulisan Ust Ahmad Sarwat Lc, semoga Allah merahmati beliau.

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...