Ini adalah bagian ke-3 (terakhir) dari tulisan ini.
Kalau Anda belum membaca bagian pertama dan kedua-nya silakan klik di sini: bagian 1, bagian 2.
Baiklah, kita lanjutkan.
Kalau di bagian ke-2 kita telah membuktikan kesalahan
mereka yang mengharamkan musik dalam menggunakan ayat-ayat Alquran. Maka di
bagian ke-3 ini kita akan membuktikan kesalahan mereka dalam penggunaan
hadits-hadits Nabi saw yang berkaitan dengan musik.
Kita telah katakan bahwa tidak ada dalil Alquran
maupun hadits yang dapat digunakan untuk mengharamkan musik/nyanyian secara
mutlak. Khususnya tentang hadits, tidak ada satu pun hadits yang terkesan
melarang nyanyian/musik yang tidak mendapat kritikan atau celaan di kalangan
ahli hadits. Semua hadits yang berkaitan dengan pengharaman musik/nyanyian
selalu mendapat kritikan dari kalangan ahli hadits. Jika ada yang shahih,
maka dinilai tidak sharih (tidak jelas/tidak tegas). Atau jika ada yang sharih,
maka dinilai tidak shahih.
Bahkan Al-Qadhi Abubakar bin Al-‘Arabie mengatakan:
“Tidak ada satu pun hadits yang sah yang berhubungan dengan diharamkannya
nyanyian”. Ibnu Hazm pun berkata: “Semua hadits yang menerangkan tentang
haramnya nyanyian adalah batil atau palsu”.
(lihat Halal dan Haram Dalam Pandangan Islam, karya
Syeikh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi, jilid 2, halaman 161)
Sekarang, mari kita lihat sebagian dari hadits-hadits
tersebut dan kita perhatikan di mana segi kekurangannya sehingga tidak dapat
dipakai untuk mengharamkan musik/nyanyian secara mutlak.
a. Hadits Pertama : Sharih Tapi Tidak Shahih
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik
menggunakan hadits berikut ini sebagai dalil:
إِذَا
فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu
bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas
perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau saw menghitung salah
satu di antaranya adalah budak wanita penyanyi dan alat-alat musik”. (HR. Tirmizy)
Meskipun matan hadits ini dari segi istidlal termasuk
sangat jelas dan tegas menyebut nama alat musik, sehingga tidak bisa
ditafsirkan menjadi sesuatu yang lain, bahkan acamannya juga jelas, yaitu
bala’, tetapi sayangnya para ulama umumnya memvonis hadits ini dha’if (lemah).
Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy, jelas-jelas menyebutkan
dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa hadits tersebut tidak shahih.
Maka bagi mereka yang mempermasalahkan nyanyian dan
musik, hadits ini tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkannya. Karena untuk
mengharamkan sesuatu, tidak boleh dilandasi dengan hadits yang status hukumnya
lemah.
b. Hadits Kedua : (Mungkin) Shahih (hanya mungkin, karena ada ulama yang
mempermasalahkannya) Tetapi Tidak Sharih
لَيَكُونَنَّ
مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ
وَالمَعَازِفَ
Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan
kemaluan, sutera, khamar, dan alat musik. (HR. Bukhari)
Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits
ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik
Al-Asy’ari. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi
para ulama memperselisihkannya.
Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits
ini adalah hadits mu’allaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan
oleh Ibnu Hazm. Mengapa demikian?
Ternyata hadits ini termasuk dalam kategori mu’allaqat
(معلقات), meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar
Al-Asqalani berijtihad bahwa hadits ini tersambung lewat sembilan jalur
periwayatan. Namun semua jalur itu melewati satu orang perawi yang banyak
diperdebatkan oleh para ulama, yaitu perawi bernama Hisyam bin Ammar.
Mereka yang tidak mempermasalahkan Hisyam, bersikeras
menyebut bahwa Bukhari tidak mencacatnya. Selain itu, Hisyam ini adalah
khatib di Damaskus, juga ahli Al-Quran serta ahli hadits negeri itu.
Namun para ulama lain mempermasalahkan. Antara lain
adalah apa yang dikomentari Abu Daud tentang Hisyam, yaitu bahwa Hisyam sebagai
orang yang meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebut
Hisyam sebagai pernah berstatus shaduq tapi kemudian sudah berubah. An-Nasa’i
menyebutnya sebagai : la ba’sa bihi. Sebutan ini tidak menghasilkan
mutlak kepercayaan. Di samping itu, di antara para ulama menyatakan bahwa matan
dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab).
Katakanlah, bahwa hadits ini shahih, karena terdapat
dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih bisa
dipermasalahkan.
Misalnya, kalau pun periwayatan hadits ini diterima,
apa-apa yang disebutkan di dalam hadits ini ternyata tidak semuanya dapat diharamkan
secara mutlak. Contohnya, dalam hadits ini disebutkan sutera. Apakah
sutera diharamkan secara mutlak? Sutera diharamkan hanya untuk kaum laki-laki,
sedangkan untuk kaum perempuan, sutera itu halal.
Hadits ini juga menyebut kata al-hira (الحِرَ) yang artinya adalah kemaluan.
Apakah kemaluan diharamkan secara mutlak? Ternyata tidak. Jika seseorang
melakukan pernikahan, maka kemaluan istri atau suaminya menjadi halal untuknya.
Jika seseorang lelaki memiliki budak perempuan, maka kemaluan budak
perempuannya itu juga halal baginya.
Itulah mengapa sehingga dalam terjemahan hadits ini,
kata al-hira (الحِرَ) biasanya diterjemahkan menjadi perzinaan.
Sebab kemaluan yang diharamkan adalah kemaluan dengan jalan perzinaan.
Dari 4 (empat) hal yang disebutkan di dalam hadits
tersebut, hanya satu hal yang dapat diharamkan secara mutlak, yaitu khamr (arak),
karena khamr telah jelas diharamkan di dalam Alquran. Sedangkan 3 (tiga) hal
lainnya --musik, kemaluan, dan sutera-- adalah hal yang tidak mutlak
keharamannya sebagaimana yang telah kita jelaskan alasannya.
Kalau musik di dalam hadits ini dihukumi haram, maka
keharamannya harus dipandang sebagai haram sababiy (haram karena sebab,
sebagaimana yang telah kita jelaskan di bagian 2
dari tulisan ini). Bukti bahwa keharamannya adalah sababiy adalah
karena ia dibolehkan pada momen-momen yang bukan darurat. Nabi pernah
membolehkan musik/nyanyian pada hari raya dan pernah pula membolehkannya pada
hari pernikahan padahal dua momen tersebut tidaklah dapat dikatakan momen darurat.
Jika musik/nyanyian pada dasarnya adalah haram, maka semestinya Nabi tidak
mengizinkannya walaupun pada hari raya atau pada waktu pernikahan karena
keduanya adalah bukan momen darurat.
Sesuatu yang haram karena sebab-nya, maka ketika sebab
itu dapat dihilangkan atau dihindari, maka sesuatu itu kembali kepada hukum
asalnya yakni boleh atau halal. Sesuatu yang halal atau mubah, maka ketika ia
digunakan untuk hal-hal yang diridhoi oleh Allah, maka ia justru akan
berpahala, insya Allah.
Sebab yang membuat musik diharamkan --sebagaimana yang
telah kita terangkan pula-- adalah karena ia di zaman awal-awal Islam amat
identik dengan kemaksiatan (seperti minuman keras dan perbuatan mesum). Maka
jika faktor kemaksiatan dapat dihilangkan, maka hukum musik kembali kepada
asalnya yakni halal atau mubah.
c. Hadits Ketiga : Sharih Tapi Tidak Shahih
إِنَّ
اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ
الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ
Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat
dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk
menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)
Hadits ini juga tegas sekali menyebutkan tentang salah
satu tugas Rasulullah SAW, yaitu menghancurkan seruling dan alat-alat musik.
Kalau seandainya hadits ini shahih, pastilah para ulama tidak pernah berbeda
pendapat tentang kewajiban menghancurkan alat-alat musik. Atau
setidak-tidaknya, mengharamkan alat musik secara aklamasi.
Masalahnya justru karena hadits ketiga ini didhaifkan
oleh banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan bahwa dalam rangkaian
para perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama Ali bin Yazid.
Maka wajar kalau banyak ulama yang tidak membenarkan
pengharaman alat-alat musik, lantaran dalil yang digunakan untuk
mengharamkannya justru bermasalah, karena merupakan hadits dhaif. Hadits
dhaif memang boleh digunakan untuk meningkatkan semangat dalam mendapatkan
keutamaan, tetapi seluruh ulama sepakat menolak hadits dhaif untuk menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal.
d. Hadits Keempat : Menutup Telinga Bukan Berarti
Haram
عَنْ
نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ
فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا
نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ
يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ
اللهِ سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا – رواه أحمد وأبو داود
وابن ماجه ‘
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling
gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan
kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau
dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya sampai
saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan
kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar
seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu
Majah).
Hadits ini punya dua kelemahan sekaligus, yaitu dari
segi isnad dan istidlal. Dari segi sanad, hadits ini divonis sebagai hadits
munkar oleh Abu Daud. Meski pun ada juga yang menentangnya. Namun kalau pun
hadits ini diterima dari segi isnad, masih juga bermasalah dari segi
istidlal. Mengapa?
Karena hadits ini sama sekali tidak menyebutkan halal
atau haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadits ini memang dari
segi istidlal bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman mendengar suara musik.
Namun kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena ada beberapa kejanggalan
dalam detailnya, seperti :
Pertama, seandainya hukum mendengar suara musik itu
memang benar-benar haram, seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan berlalu dari
penggembala. Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup seruling. Sebagai
ahli fiqih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau mendiamkan
kemungkaran, dan hanya sekedar menghindar. Tapi yang beliau lakukan hanya
menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa ini disimpulkan
sebagai haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat.
Kedua, seandainya hukum mendengar musik itu memang
benar-benar haram secara mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak hanya menutup
telinganya sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan pembantunya, Nafi’,
untuk ikut juga menutup telinga, seperti yang beliau lakukan dan sebagaimana
yang konon dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Tetapi kenyataannya, Ibnu Umar sama sekali tidak
memerintahkan Nafi’ untuk menutup telinga. Malah beliau bertanya apakah Nafi’
masih mendengarnya. Maka karena tidak ada kejelasan pasti apakah mendengar
musik itu haram atau tidak di hadits ini, bisa saja kita berasumsi bahwa ketika
Rasulullah SAW menutup telinganya, adalah bukan karena haramnya, melainkan
karena sebab-sebab yang lain.
Sebab-sebab yang lain itu misalnya karena momentumnya
tidak tepat. Mengingat di waktu-waktu tertentu, Rasulullah SAW justru
membolehkan nyanyian dan musik untuk diperdengarkan dan dimainkan, misalnya
ketika Hari Raya, pernikahan, atau ketika dalam peperangan. Atau boleh jadi si
penggembala kurang pandai memainkan alat musiknya sehingga terkesan memekakkan
telinga, fals dan sumbang sehingga beliau SAW menutup telinganya sambil
meninggalkannya.
Kalau seandainya meniup seruling itu haram, seharusnya
Rasulullah SAW bukan menutup telinga, tetapi beliau menegur penggembala itu
secara langsung. Mustahil buat seorang Nabi mendiamkan kemungkaran di depan
mata. Karena hal itu berarti tidak amanah dalam menjalankan tugas-tugas
kenabian.
e. Hadits Kelima: Tidak Shahih dan Tidak Sharih
Sebagian kalangan yang ingin mengharamkan nyanyian dan
musik menggunakan hadits tentang semua perbuatan sia-sia hukumnya batil,
kecuali memanah, melatih kuda dan bercumbu dengan istri.
كُلُّ
مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ
وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ
Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki
muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatih kuda, dan mencumbui
istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)
Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari segi
keshahihannya dan dari istidlalnya. Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi menyebutkan
bahwa ada idhthirab di dalam hadits ini.
Sedangkan kelemahan dari segi istidlal ialah bahwa
hadits ini sama sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai sesuatu yang
batil. Berarti, bukan dalil yang sharih untuk mengharamkan sesuatu. Sedangkan
kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik itu termasuk batil karena umumnya
hadits ini, yang tidak batil hanya ada tiga perbuatan saja, maka akan ada
begitu banyak perbuatan yang batil di sekeliling kita. Hal ini terasa aneh dan
mengesankan seakan-akan Islam adalah agama yang begitu sempit.
Mengharamkan musik dengan hadits ini ibarat membunuh
lalat dengan menggunakan meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban-korban
lain (yang semestinya tidak menjadi korban) menjadi berjatuhan.
f. Hadits Keenam: Haramnya Lonceng Tidak Lantas
Berarti Haramnya Musik
Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya
keberadaan lonceng di dalam rumah. Ada beberapa hadits yang terkesan melarang
lonceng, di antaranya :
الجَرَسُ
مَزَامِيْرِ الشَّيْطَانِ
Lonceng itu adalah serulingnya setan (HR. Muslim)
لاَ
تَدْخُلُ المَلآئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ جُلْجُلْ وَلاَ جَرَسٌ لاَ تَصْحَبُ
المَلآئِكَةُ رُفْقَةً فِيْهَا كَلْبٌ أَوْ جَرَسٌ
Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di
dalamnya terdapat jul-jul dan lonceng. Dan malaikat tidak akan menemani
orang-orang yang di rumah mereka ada anjing dan lonceng. (HR. Muslim)
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ أَمَرَ باِلأَجْرَاسِ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ أَعْنَاقِ الإِبِلِ
يَوْمَ بَدْرٍ
Bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar memotong
lonceng dari leher unta pada hari Badar. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Namun jikalaupun hadits-hadits tersebut shahih dan
sharih sehingga menjadi sah untuk mengharamkan lonceng, tetapi tidak otomatis
menjadi dalil pula untuk mengharamkan musik/nyanyian. Sebab:
1. Hadits-hadits tersebut tidak berbicara tentang
musik, sehingga bukan merupakan dalil yang sharih untuk mengharamkan musik, dan
2. Dalil-dalil yang shahih dan sharih yang membolehkan
musik itu ada, sebagaimana yang telah kita sampaikan di bagian-bagian sebelumnya.
Tidak mungkin Rasulullah membolehkan musik/nyanyian pada hari raya, pada hari
pernikahan, atau pada saat penyambutan dirinya jika hukum musik pada dasarnya
haram (mana mungkin Rasulullah mengizinkan umatnya untuk berhari raya atau
melangsungkan pernikahan dengan sesuatu yang haram?!). Sesuatu yang haram hanya
dapat dibolehkan pada kondisi-kondisi darurat, sedangkan hari raya atau
pernikahan bukanlah kondisi-kondisi darurat. Oleh karena itu, mengatakan bahwa
hukum dasar musik adalah haram merupakan pendapat yang aneh dan tidak dapat
diterima.
Masih ada lagi hadits-hadits lain yang digunakan orang
untuk mengharamkan musik. Tetapi semuanya tidak ada yang shahih sekaligus
sharih sehingga tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan musik. Cukuplah
enam itu sebagai contoh pembuktian.
Kesimpulannya, menurut hemat kami, musik/nyanyian itu
tidak bisa diharamkan secara mutlak. Sebab Rasulullah saw pernah membolehkannya
dan tidak ada dalil yang shahih sekaligus sharih untuk mengharamkannya.
Kalaupun disebut haram, maka keharamannya harus dipandang sebagai haram sababiy
(haram karena sebab), bukan haram ‘ainiy atau haram mutlak. Dan
sebab keharamannya adalah karena musik/nyanyian di zaman itu amat identik
dengan perbuatan-perbuatan maksiat seperti diiringi dengan minuman keras atau
perbuatan-perbuatan mesum. Sesuatu yang haram sababiy, jika faktor sebab
yang mengharamkannya dapat dihindari, maka sesuatu itu kembali kepada hukum
asalnya yakni halal atau mubah. Oleh karena itu, jika musik/nyanyian itu dapat
dihindarkan dari faktor-faktor maksiat, maka hukum musik/nyanyian itu pun
kembali kepada halal. Dan jika sesuatu yang halal digunakan untuk hal-hal yang
berpahala, maka insya Allah, ia pun akan berpahala pula.
Namun demikian, meskipun kami di dalam hal ini
menentang pengharaman musik/nyanyian secara mutlak, kami tetap menganjurkan
agar kita lebih banyak disibukkan kepada hal-hal lain yang lebih bermanfaat dan
lebih penting. Sibukkanlah diri dengan membaca dan mempelajari Alquran/hadits.
Sibukkanlah diri dengan mempelajari ilmu agama dan lain-lain. Gunakanlah
musik/nyanyian sekeperluannya saja, dan tentunya hanya dalam hal-hal kebaikan saja
dan tidak mengandung maksiat.
Demikianlah tulisan kami ini. Semoga dapat dipahami
dan bermanfaat. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
(Buya Amin/Media Muslim)
Ket: Bagian ke-3 ini juga dikutip dan diedit dari tulisan Ust Ahmad Sarwat Lc, semoga Allah merahmati beliau.
Ket: Bagian ke-3 ini juga dikutip dan diedit dari tulisan Ust Ahmad Sarwat Lc, semoga Allah merahmati beliau.
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...