Apa
hukum musik atau nyanyian dalam Islam?
Jika
Anda hanya membutuhkan jawaban singkat/kesimpulan, maka dapatlah kami katakan
bahwa hukum dasar musik/nyanyian itu adalah halal atau mubah (boleh).
Perubahan hukumnya kemudian, adalah tergantung kepada penggunaannya. Jika
musik/nyanyian digunakan kepada yang haram, maka ia menjadi haram. Jika ia
digunakan kepada yang halal, maka ia tetap halal. Dan jika ia digunakan untuk
sesuatu yang berpahala, maka ia juga berpahala.
Akan
tetapi jika Anda tidak puas dengan hanya jawaban singkat tersebut, maka silakan
Anda lanjutkan membaca artikel ini.
Artikel
ini merupakan bagian pertama dari 3 (tiga) tulisan. Kami menyarankan Anda
membaca ketiga-tiganya agar pemahaman Anda komprehensif di dalam perkara ini.
Sebab tidak segala sesuatu itu dapat dijelaskan secara instan atau singkat.
Keengganan untuk menyelami suatu masalah secara komprehensif, sering
menyebabkan orang terjebak pada kesalah-pahaman atau pengambilan kesimpulan
yang tidak tepat. Orang-orang sekarang menyebutnya dengan istilah
“gagal-paham”. Anda tentunya tidak mau mengalami gagal-paham kan? Maka bacalah
artikel-artikel ini secara menyeluruh, mulai dari bagian 1 sampai ke-3-nya.
Insya Allah, Anda akan mendapatkan pemahaman yang tepat dan benar. Yuk, kita
mulai.
Bismillahirrohmanirrohim.
Kalau
Anda searching di internet, tentang hukum musik dan nyanyian ini, mungkin Anda
akan menemukan adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Ada yang
jelas-jelas meng-haram-kan, tetapi ada pula yang jelas-jelas menghalalkan. Ada
yang mengatakan bahwa hukumnya tergantung kepada penggunaannya: jika digunakan
untuk yang haram, maka hukumnya menjadi haram. Dan jika digunakan untuk yang
halal atau berpahala, maka hukumnya juga menjadi halal atau berpahala. Lalu
mana yang benar dari aneka pendapat ini?
Artikel
ini akan membantu Anda untuk meneguhkan hati Anda tentang hukum musik dan
nyanyian di dalam Islam, insya Allah. Mudah-mudahan Allah memudahkan
penjelasannya dan membimbing kita kepada kebenaran, aamiin.
Imam
al-Ghazali sebenarnya telah memberikan suatu penjelasan yang bagus sekali
tentang hukum musik dan nyanyian ini di dalam kitab beliau Ihya Ulumiddin
(pada Bab assama’ di bagian rub’il adat) . Dengan panjang lebar
beliau terangkan masalah ini secara jernih dan penuh keilmuan. Bukan penjelasan
berdasarkan hawa nafsu, gegabah, dan kebodohan.
Kami
amat menyarankan Anda untuk membaca penjelasan beliau tersebut di dalam kitab
itu. Dan sebenarnya kami menilai cukuplah penjelasan beliau itu menjadi
pegangan bagi Anda di dalam masalah ini. Beliau adalah seorang ulama yang tidak
diragukan lagi ketaqwaannya kepada Allah swt. Beliau mumpuni di dalam berbagai
disiplin ilmu agama. Beliau menguasai ilmu ushul fiqih, sebuah ilmu yang harus
dimiliki oleh orang-orang yang ingin menelurkan suatu hukum tentang suatu
masalah di dalam Islam. Maka menjadikan beliau rujukan di dalam suatu masalah
keislaman sebenarnya sudah tepat.
Kami
menduga bahwa hanya kerendahan hati beliau sajalah yang membuat beliau tidak
membuat suatu mazhab. Beliau dikenal mengikuti Mazhab Imam Asy-Syafi’i di dalam
masalah-masalah Fiqih. Namun demikian, beliau ternyata mampu mengkritisi
pendapat mazhab yang diikutinya itu jika suatu saat, di dalam masalah-masalah
tertentu, beliau merasakan suatu kejanggalan di dalam pendapat mazhab tersebut atau
beliau menilai bahwa mazhab lain lebih benar atau tepat pendapatnya di dalam
masalah tersebut (contoh: dalam bagian-bagian tertentu yang berkaitan dengan
hukum air, beliau menilai bahwa Mazhab
Imam Malik lebih tepat daripada Mazhab Imam Asy-Syafi’i).
Kami
setuju dengan hasil kesimpulan beliau tentang masalah musik/nyanyian dan kami
mengagumi penjelasan-penjelasan beliau untuk sampai kepada kesimpulan tersebut.
Sesungguhnya bagi orang-orang yang mau memperhatikan penjelasan beliau secara
seksama, dan tidak diiringi dengan kebodohan dan buruk sangka, akan nyatalah
bahwa beliau sudah mencapai suatu kesimpulan yang tepat dan tak dapat
diremehkan di dalam masalah ini. Hanya orang-orang awam atau bodoh sajalah yang
akan meremehkan suatu kesimpulan yang telah dibuat oleh Imam al-Ghazali tentang
suatu perkara agama. Dan sesungguhnya di dunia ini, ada orang-orang yang
sebenarnya tak layak untuk mengeluarkan pendapat tentang masalah agama, tetapi
mereka berani-beraninya memutuskan perkara sehingga menyesatkan banyak manusia.
Mereka sebenarnya tak menguasai kaidah-kaidah yang diperlukan untuk dapat
mengistimbath hukum di dalam suatu perkara agama, tetapi berani-beraninya
berbicara dengan pendapat pribadinya yang menyelisihi pendapat ulama sebelumnya
yang jelas-jelas mumpuni di bidang agama.
Janganlah
Anda pikir dengan hanya sekedar berilmu di dalam bahasa Arab (tahu arti
kosa-kata bahasa Arab dan ilmu nahwu-sharaf) dan dapat menilai sebuah hadits
itu shahih atau tidak, lantas Anda jadi merasa sudah ahli di bidang agama dan
layak untuk menelurkan sebuah hukum di dalam Islam. Tidak, Anda masih jauh jika
Anda belum menguasai ilmu Ushul Fiqh, misalnya. Anda masih jauh jika Anda belum
mengetahui bagaimana hubungan hadits yang satu dengan hadits yang lainnya
meskipun terlihat bertentangan.
Jika
metode Anda selama ini adalah mengambil hadits yang satu dan mencampakkan
hadits-hadits yang lain karena perbedaan tingkat kesahihannya, berhati-hatilah
Anda. Anda bukan orang yang ahli agama. Anda bukan orang yang layak untuk
mengeluarkan suatu hukum alias berfatwa. Bahkan pemahaman-pemahaman agama Anda
selama ini sesungguhnya harus dipertanyakan kembali kebenarannya. Jika tidak,
sungguh kami khawatir Anda akan termasuk orang-orang yang sebenarnya telah
menyesatkan manusia tetapi merasa sebaliknya (merasa telah menunjuki manusia).
Na’udzu billahi min zalik.
Baiklah,
artikel ini sekedar ingin membantu. Sekedar ingin menguatkan hati-hati yang
masih bimbang tentang bagaimana hukum musik dan nyanyian di dalam Islam.
Wal-hal, penulis ingin menegaskan bahwa pendapat Imam al-Ghazali lah yang lebih
tepat, yakni bahwa hukum musik atau nyanyian itu pada dasarnya mubah (boleh).
Ia menjadi berpahala jika digunakan untuk hal-hal yang berpahala (seperti
menyanyikan bait-bait yang mengandung kebenaran dan ajakan kebaikan yang sesuai
dengan ajaran Islam), dan ia menjadi berdosa atau haram jika digunakan kepada hal-hal
yang haram (hal-hal yang sifatnya maksiat, seperti untuk mengiringi
tarian-tarian telanjang, atau digunakan untuk melantunkan bait-bait yang
mengandung kemusyrikan, kemungkaran, dsb).
Kenapa
pendapat beliau dinilai lebih tepat?
Pertama:
karena
sesuai dengan kaidah agama bahwa: “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah,
kecuali ada dalil yang menyelisihinya”[1].
Perkara
musik dan nyanyian pada dasarnya adalah perkara ‘adah atau mu’amalah manusia.
Dan kaidah yang berlaku untuk perkara ‘adah atau mu’amalah adalah
kaedah di atas.
Jika
ada orang yang mengatakan hukum dasar musik adalah haram, berarti ia adalah
orang yang tidak menguasai ilmu agama. Tidak mengerti bagaimana semestinya mendudukkan
sesuatu perkara di dalam Islam. Tidak menguasai (atau bahkan mungkin tidak
memiliki) ilmu-ilmu yang diperlukan untuk meng-istinbath hukum. Jadi,
dia adalah orang yang tidak layak untuk berfatwa dan tidak layak untuk dijadikan
rujukan di dalam hukum-hukum agama.
Tidak
ada satu pun dari imam mazhab yang empat yang berani mengatakan musik atau
nyanyian itu haram, meskipun mereka mengeluarkan pendapat-pendapat yang
terkesan tidak menyukainya. Kenapa? Karena mereka tahu, bahwa hukum dasar
segala sesuatu itu adalah mubah alias halal. Dan kemudian, untuk mengubah
status yang halal tadi menjadi haram adalah sesuatu yang BERAT. Berat
tanggung-jawabnya di sisi Allah. Berat resikonya di hadapan Allah, karena
mengharamkan yang halal itu sama dengan perbuatan syirik dan syirik adalah dosa
terbesar di dalam Islam.
Oleh
karena itu, untuk mengharamkan sesuatu yang dasarnya mubah atau halal itu
diperlukan dalil yang tidak hanya shahih (benar), tetapi juga harus sharih
(jelas/tegas). Atau sebaliknya, tidak hanya sharih, tetapi juga
harus shahih. Jika kurang syarat salah-satunya, apalagi jika tidak
terpenuhi kedua-duanya, maka janganlah coba-coba mengharamkan sesuatu yang
telah dihalalkan Allah swt. Janganlah mengharamkan sesuatu yang telah
diciptakan Allah untuk para hamba-Nya di bumi ini sebagai bentuk rahmat dan
kasih-sayang dari-Nya.
“Dialah
Zat yang telah menciptakan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya”
(QS. al-Baqarah: 29)
“Katakanlah:
siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk
hamba-hamba-Nya dan rizki yang baik-baik itu?” (QS. al-A’raf: 32)
Anda
boleh saja mengatakan: “saya benci terhadap ini atau itu karena alasannya
begini dan begitu”. Tetapi sampai kepada mengharamkannya ... TUNGGU DULU, dan berhati-hatilah
Anda! Jika Anda tidak menemukan suatu dalil yang shahih sekaligus sharih untuk
mengharamkan perkara tersebut, maka janganlah perkara itu Anda haramkan. Amat
berat pertanggung-jawaban Anda kepada Allah, dan akan amat besar kemurkaan
Allah kepada Anda jika Anda berani mengharamkan sesuatu yang telah
dihalalkan-Nya.
Bohonglah
orang-orang yang mengatakan bahwa para Imam Mazhab (Imam Syafi’i, Imam Maliki,
Imam Hanafi, dan Imam Hanbali) telah mengharamkan musik/nyanyian. Mereka (para
Imam itu) hanya mengeluarkan kalimat-kalimat yang menunjukkan ketidak-sukaan.
Tetapi mereka tidak berani sampai mengharamkannya.
Kenapa
mereka mengeluarkan kalimat-kalimat yang menunjukkan ketidak-sukaan terhadap
musik/nyanyian? Karena --menurut hemat penulis-- mereka adalah orang-orang yang
tingkat zuhudnya sudah demikian tinggi terhadap perkara dunia. Mereka menilai
bahwa musik/nyanyian itu lebih cendrung membuat orang-orang lalai kepada Allah
dan lalai terhadap perkara-perkara akhirat. Di antara mereka ada juga yang
menilai bahwa musik itu menyuburkan kemunafikan di dalam hati.
Mereka
berhak berpendapat seperti itu. Akan tetapi bagaimanapun, pendapat tersebut
masih bisa dinilai subjektif dan tidak selalu benar untuk semua orang. Karena
bukan mustahil ada orang-orang yang hatinya tidak lalai kepada Allah meskipun sedang
diperdengarkan musik. Dan andaikata musik dinilai dapat melalaikan, maka
bukankah perkara-perkara lain juga dapat melalaikan? Bahkan semua hal,
sesungguhnya bisa saja melalaikan orang dari mengingat Allah. Lantas apakah
semua hal itu menjadi harus diharamkan? Tentu tidak.
Jika
Anda suatu saat dilalaikan oleh istri Anda dari mengingat Allah, misalnya, maka
apakah lantas istri Anda tersebut harus diharamkan untuk selamanya? Jika Anda
suatu saat dilalaikan oleh tugas-tugas kuliah Anda di kampus, misalnya, maka
apakah itu berarti bahwa Anda menjadi haram kuliah untuk selamanya? Kesimpulan
macam apa ini jika memang harus diterapkan di dalam hidup kita?! Akan banyak
terjadi kekacauan jika cara pengambilan hukum adalah seperti ini. Oleh karena
itu, cara pengambilan hukum seperti ini tentu saja tidak tepat dan tidak dapat
diterima.
Maka
demikianlah dengan musik. Musik tidak serta-merta harus diharamkan hanya karena
dinilai sebagai sesuatu yang dapat melalaikan orang dari Allah. Yang perlu
diperbaiki adalah segi kelalaiannya itu. Bukan musiknya yang harus diharamkan. Bahkan
sesungguhnya, tidak mustahil pada akal jika musik/nyanyian itu justru dapat
dijadikan sarana untuk mengingatkan manusia kepada Allah dan kepada jalan-jalan
kebaikan/akhirat.
Bagaimanapun
adanya, yang jelas, satu hal yang harus dipegang adalah bahwa para Imam Mazhab
yang empat itu tidak berani mengharamkan musik/nyanyian meskipun mereka
cendrung tidak menyukainya.
Ini
harus didudukkan wahai ‘ibadallah, terutama kepada orang-orang yang
berani-berani saja atau gampang-gampang saja mengharam-haramkan sesuatu. Akan
ada kerusakan besar jika sesuatu yang sebenarnya halal itu malah diharamkan.
Kerusakan besar terhadap manusia atau kerusakan besar terhadap citra Islam itu
sendiri sebagai satu-satunya agama yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia
dan alam semesta. Bahkan bukan mustahil akan muncul salah-sangka manusia kepada
Allah, Sang Pencipta mereka. Mereka akan lari dari Allah atau mereka akan lari
dari Islam sejauh yang mereka bisa karena menilai/menyangka bahwa Islam itu
tidak cocok atau tidak sesuai dengan fitrah mereka.
Anda
yang tidak berpikir jauh (apalagi zuhud Anda telah tinggi terhadap dunia dan
Anda tidak memiliki suatu pekerjaan yang harus berhubungan dengan musik)
mungkin akan ringan saja bagi Anda ketika mendengar ada orang yang mengharamkan
musik. Tetapi bagi orang-orang yang pemikirannya luas, atau bagi orang-orang
yang telah mengenal keindahan Allah dan agama-Nya secara cukup jauh, atau
orang-orang yang telah mengenal karakter manusia dan karakter agama ini secara
cukup dalam, pengharaman musik bukanlah sesuatu yang ringan saja. Mereka
mengerti bahwa pada pengharaman seperti ini, akan ada kerusakan besar yang
mengiringinya. Itulah mengapa ternyata orang-orang yang membantah hukum
haramnya musik bukanlah orang-orang yang dapat diremehkan saja. Di antara
mereka, ternyata ada orang-orang sekelas Imam al-Ghazali.
Imam
Al-Ghazali menyempatkan diri membahas musik/nyanyian ini secara panjang lebar
di dalam kitabnya, Ihya’ Ulumiddin. Padahal kami yakin, orang sekelas
beliau ini tidak membutuhkan musik. Orang sekelas beliau ini sudah kurang
kecendrungan hatinya terhadap dunia, apalagi terhadap hiburan-hiburan seperti
nyanyian dan musik.
Kami
yakin Imam al-Ghazali meluangkan waktunya untuk membahas masalah musik/nyanyian
bukanlah demi kepentingan pribadinya, tetapi demi kepentingan umat dan agama
ini. Demi menyadarkan umat yang sudah terjebak kepada mengharamkan yang halal.
Demi memproteksi Islam pada segi keindahan dan kesesuaiannya dengan fitrah
manusia.
Sebagai
seorang pemikir besar dan ulama yang mendalam ilmunya, Imam al-Ghazali
menyadari betul bahwa Islam bukan hanya untuk orang-orang yang telah tinggi
rasa zuhudnya terhadap dunia. Bahkan orang-orang yang rendah rasa zuhudnya itu jauh
lebih banyak daripada orang-orang yang tinggi rasa zuhudnya, dan mereka semua
membutuhkan Islam. Jika perkara musik ini tidak didudukkan, bisa jadi
orang-orang yang rendah rasa zuhudnya akan lari dari Islam karena salah-sangka
terhadap Islam, dan itu akan menyebabkan mereka terjerumus ke dalam kebinasaan
yang jauh lebih besar dibandingkan jika mereka menyukai musik namun tetap
berada di dalam Islam.
Islam
juga bukan hanya untuk orang-orang yang jangkauan akalnya pendek dan malas
berpikir. Bagi orang-orang yang mau memikirkan suatu masalah secara mendalam,
jelas akan terasa aneh dan janggal jika Islam mengharamkan musik/nyanyian.
Bagaimana mungkin sebuah suara (baik suara manusia atau suara alat) menjadi
diharamkan hanya karena suara itu disusun dan diatur sedemikian rupa sehingga
menghasilkan efek keindahan yang mana keindahan itu disukai sendiri oleh jiwa
dan fitrah manusia. Bahkan tidak hanya disukai manusia, hewan pun (dan konon
pula tumbuh-tumbuhan) menyukai suara-suara yang indah, dan suara-suara indah
itu berefek baik terhadap mereka. Imam al-Ghazali mencontohkan, misalnya,
bagaimana seekor unta ternyata menjadi bertambah semangat dan tangkas ketika
dilantunkan kepadanya sebuah nyanyian atau lagu.
Artinya,
bagi orang-orang yang berfikir, pengharaman musik atau nyanyian secara mutlak
jelas terasa tidak sesuai dengan fitrah manusia atau bahkan makhluk hidup
lainnya. Mungkinkah Islam, sebuah agama yang benar yang diturunkan oleh Zat
yang telah menciptakan makhluk dengan segala fitrahnya akan memberlakukan suatu
hukum yang bertentangan dengan fitrah makhluk itu sendiri? Jelas ini tidak bisa
diterima oleh nurani dan akal yang sehat.
Jadi,
tentunya, orang-orang seperti Imam al-Ghazali menyadari bahwa pendapat yang
mengharamkan musik/nyanyian secara mutlak, jika dianggap remeh dan dibiarkan,
akan dapat mencoreng citra Islam yang sebenarnya. Akan dapat membuat orang
menjadi salah-sangka/buruk sangka terhadap Islam. Dan tentunya, itu akan
membuat mereka lari dari Islam.
Oleh
karena itulah kiranya Imam al-Ghazali menyempatkan dirinya membahas masalah
musik secara panjang-lebar demi menyingkap kepada manusia terutama kepada para
ulama yang telah keliru akan duduk-perkara yang sebenarnya. Jika segala perkara
telah didudukkan pada tempatnya, insya Allah tidak akan terasa kejanggalan pada
jiwa manusia, dan segala sesuatunya akan lebih terjamin untuk dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Islam.
Bersambung
ke bagian 2, insya Allah.
(Buya
Amin/Media Muslim)
=====================
[1]
Untuk penjelasan lebih lanjut tentang kaedah ini, silakan lihat Halal dan
Haram Dalam Pandangan Islam, edisi lengkap, karya Syekh Muhammad Yusuf El
Qardlawi, jilid 1, hal. 21 dst.
Jazakallah. Mohon izin untuk menyebarkan artikel ini di media sosial.
ReplyDeleteMashaAllah, kritis dan komunikatif. Banyak paragraf yang membuat saya membatin "BENAR!" berkali-kali... Jazakallah :3
ReplyDelete