Tuesday, 30 May 2017

Hukum Musik/Nyanyian Dalam Islam (Dalil dan Bantahan) (1)


Apa hukum musik atau nyanyian dalam Islam?
Jika Anda hanya membutuhkan jawaban singkat/kesimpulan, maka dapatlah kami katakan bahwa hukum dasar musik/nyanyian itu adalah halal atau mubah (boleh). Perubahan hukumnya kemudian, adalah tergantung kepada penggunaannya. Jika musik/nyanyian digunakan kepada yang haram, maka ia menjadi haram. Jika ia digunakan kepada yang halal, maka ia tetap halal. Dan jika ia digunakan untuk sesuatu yang berpahala, maka ia juga berpahala.

Akan tetapi jika Anda tidak puas dengan hanya jawaban singkat tersebut, maka silakan Anda lanjutkan membaca artikel ini.


Artikel ini merupakan bagian pertama dari 3 (tiga) tulisan. Kami menyarankan Anda membaca ketiga-tiganya agar pemahaman Anda komprehensif di dalam perkara ini. Sebab tidak segala sesuatu itu dapat dijelaskan secara instan atau singkat. Keengganan untuk menyelami suatu masalah secara komprehensif, sering menyebabkan orang terjebak pada kesalah-pahaman atau pengambilan kesimpulan yang tidak tepat. Orang-orang sekarang menyebutnya dengan istilah “gagal-paham”. Anda tentunya tidak mau mengalami gagal-paham kan? Maka bacalah artikel-artikel ini secara menyeluruh, mulai dari bagian 1 sampai ke-3-nya. Insya Allah, Anda akan mendapatkan pemahaman yang tepat dan benar. Yuk, kita mulai.

Bismillahirrohmanirrohim.
Kalau Anda searching di internet, tentang hukum musik dan nyanyian ini, mungkin Anda akan menemukan adanya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Ada yang jelas-jelas meng-haram-kan, tetapi ada pula yang jelas-jelas menghalalkan. Ada yang mengatakan bahwa hukumnya tergantung kepada penggunaannya: jika digunakan untuk yang haram, maka hukumnya menjadi haram. Dan jika digunakan untuk yang halal atau berpahala, maka hukumnya juga menjadi halal atau berpahala. Lalu mana yang benar dari aneka pendapat ini?

Artikel ini akan membantu Anda untuk meneguhkan hati Anda tentang hukum musik dan nyanyian di dalam Islam, insya Allah. Mudah-mudahan Allah memudahkan penjelasannya dan membimbing kita kepada kebenaran, aamiin.

Imam al-Ghazali sebenarnya telah memberikan suatu penjelasan yang bagus sekali tentang hukum musik dan nyanyian ini di dalam kitab beliau Ihya Ulumiddin (pada Bab assama’ di bagian rub’il adat) . Dengan panjang lebar beliau terangkan masalah ini secara jernih dan penuh keilmuan. Bukan penjelasan berdasarkan hawa nafsu, gegabah, dan kebodohan.

Kami amat menyarankan Anda untuk membaca penjelasan beliau tersebut di dalam kitab itu. Dan sebenarnya kami menilai cukuplah penjelasan beliau itu menjadi pegangan bagi Anda di dalam masalah ini. Beliau adalah seorang ulama yang tidak diragukan lagi ketaqwaannya kepada Allah swt. Beliau mumpuni di dalam berbagai disiplin ilmu agama. Beliau menguasai ilmu ushul fiqih, sebuah ilmu yang harus dimiliki oleh orang-orang yang ingin menelurkan suatu hukum tentang suatu masalah di dalam Islam. Maka menjadikan beliau rujukan di dalam suatu masalah keislaman sebenarnya sudah tepat.

Kami menduga bahwa hanya kerendahan hati beliau sajalah yang membuat beliau tidak membuat suatu mazhab. Beliau dikenal mengikuti Mazhab Imam Asy-Syafi’i di dalam masalah-masalah Fiqih. Namun demikian, beliau ternyata mampu mengkritisi pendapat mazhab yang diikutinya itu jika suatu saat, di dalam masalah-masalah tertentu, beliau merasakan suatu kejanggalan di dalam pendapat mazhab tersebut atau beliau menilai bahwa mazhab lain lebih benar atau tepat pendapatnya di dalam masalah tersebut (contoh: dalam bagian-bagian tertentu yang berkaitan dengan hukum air,  beliau menilai bahwa Mazhab Imam Malik lebih tepat daripada Mazhab Imam Asy-Syafi’i).

Kami setuju dengan hasil kesimpulan beliau tentang masalah musik/nyanyian dan kami mengagumi penjelasan-penjelasan beliau untuk sampai kepada kesimpulan tersebut. Sesungguhnya bagi orang-orang yang mau memperhatikan penjelasan beliau secara seksama, dan tidak diiringi dengan kebodohan dan buruk sangka, akan nyatalah bahwa beliau sudah mencapai suatu kesimpulan yang tepat dan tak dapat diremehkan di dalam masalah ini. Hanya orang-orang awam atau bodoh sajalah yang akan meremehkan suatu kesimpulan yang telah dibuat oleh Imam al-Ghazali tentang suatu perkara agama. Dan sesungguhnya di dunia ini, ada orang-orang yang sebenarnya tak layak untuk mengeluarkan pendapat tentang masalah agama, tetapi mereka berani-beraninya memutuskan perkara sehingga menyesatkan banyak manusia. Mereka sebenarnya tak menguasai kaidah-kaidah yang diperlukan untuk dapat mengistimbath hukum di dalam suatu perkara agama, tetapi berani-beraninya berbicara dengan pendapat pribadinya yang menyelisihi pendapat ulama sebelumnya yang jelas-jelas mumpuni di bidang agama.

Janganlah Anda pikir dengan hanya sekedar berilmu di dalam bahasa Arab (tahu arti kosa-kata bahasa Arab dan ilmu nahwu-sharaf) dan dapat menilai sebuah hadits itu shahih atau tidak, lantas Anda jadi merasa sudah ahli di bidang agama dan layak untuk menelurkan sebuah hukum di dalam Islam. Tidak, Anda masih jauh jika Anda belum menguasai ilmu Ushul Fiqh, misalnya. Anda masih jauh jika Anda belum mengetahui bagaimana hubungan hadits yang satu dengan hadits yang lainnya meskipun terlihat bertentangan.

Jika metode Anda selama ini adalah mengambil hadits yang satu dan mencampakkan hadits-hadits yang lain karena perbedaan tingkat kesahihannya, berhati-hatilah Anda. Anda bukan orang yang ahli agama. Anda bukan orang yang layak untuk mengeluarkan suatu hukum alias berfatwa. Bahkan pemahaman-pemahaman agama Anda selama ini sesungguhnya harus dipertanyakan kembali kebenarannya. Jika tidak, sungguh kami khawatir Anda akan termasuk orang-orang yang sebenarnya telah menyesatkan manusia tetapi merasa sebaliknya (merasa telah menunjuki manusia). Na’udzu billahi min zalik.

Baiklah, artikel ini sekedar ingin membantu. Sekedar ingin menguatkan hati-hati yang masih bimbang tentang bagaimana hukum musik dan nyanyian di dalam Islam. Wal-hal, penulis ingin menegaskan bahwa pendapat Imam al-Ghazali lah yang lebih tepat, yakni bahwa hukum musik atau nyanyian itu pada dasarnya mubah (boleh). Ia menjadi berpahala jika digunakan untuk hal-hal yang berpahala (seperti menyanyikan bait-bait yang mengandung kebenaran dan ajakan kebaikan yang sesuai dengan ajaran Islam), dan ia menjadi berdosa atau haram jika digunakan kepada hal-hal yang haram (hal-hal yang sifatnya maksiat, seperti untuk mengiringi tarian-tarian telanjang, atau digunakan untuk melantunkan bait-bait yang mengandung kemusyrikan, kemungkaran, dsb).

Kenapa pendapat beliau dinilai lebih tepat?

Pertama:
karena sesuai dengan kaidah agama bahwa: “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil yang menyelisihinya”[1].

Perkara musik dan nyanyian pada dasarnya adalah perkara ‘adah atau mu’amalah manusia. Dan kaidah yang berlaku untuk perkara ‘adah atau mu’amalah adalah kaedah di atas.

Jika ada orang yang mengatakan hukum dasar musik adalah haram, berarti ia adalah orang yang tidak menguasai ilmu agama. Tidak mengerti bagaimana semestinya mendudukkan sesuatu perkara di dalam Islam. Tidak menguasai (atau bahkan mungkin tidak memiliki) ilmu-ilmu yang diperlukan untuk meng-istinbath hukum. Jadi, dia adalah orang yang tidak layak untuk berfatwa dan tidak layak untuk dijadikan rujukan di dalam hukum-hukum agama.

Tidak ada satu pun dari imam mazhab yang empat yang berani mengatakan musik atau nyanyian itu haram, meskipun mereka mengeluarkan pendapat-pendapat yang terkesan tidak menyukainya. Kenapa? Karena mereka tahu, bahwa hukum dasar segala sesuatu itu adalah mubah alias halal. Dan kemudian, untuk mengubah status yang halal tadi menjadi haram adalah sesuatu yang BERAT. Berat tanggung-jawabnya di sisi Allah. Berat resikonya di hadapan Allah, karena mengharamkan yang halal itu sama dengan perbuatan syirik dan syirik adalah dosa terbesar di dalam Islam.

Oleh karena itu, untuk mengharamkan sesuatu yang dasarnya mubah atau halal itu diperlukan dalil yang tidak hanya shahih (benar), tetapi juga harus sharih (jelas/tegas). Atau sebaliknya, tidak hanya sharih, tetapi juga harus shahih. Jika kurang syarat salah-satunya, apalagi jika tidak terpenuhi kedua-duanya, maka janganlah coba-coba mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah swt. Janganlah mengharamkan sesuatu yang telah diciptakan Allah untuk para hamba-Nya di bumi ini sebagai bentuk rahmat dan kasih-sayang dari-Nya.

“Dialah Zat yang telah menciptakan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya” (QS. al-Baqarah: 29)

“Katakanlah: siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan rizki yang baik-baik itu?” (QS. al-A’raf: 32)

Anda boleh saja mengatakan: “saya benci terhadap ini atau itu karena alasannya begini dan begitu”. Tetapi sampai kepada mengharamkannya ... TUNGGU DULU, dan berhati-hatilah Anda! Jika Anda tidak menemukan suatu dalil yang shahih sekaligus sharih untuk mengharamkan perkara tersebut, maka janganlah perkara itu Anda haramkan. Amat berat pertanggung-jawaban Anda kepada Allah, dan akan amat besar kemurkaan Allah kepada Anda jika Anda berani mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan-Nya.

Bohonglah orang-orang yang mengatakan bahwa para Imam Mazhab (Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hanbali) telah mengharamkan musik/nyanyian. Mereka (para Imam itu) hanya mengeluarkan kalimat-kalimat yang menunjukkan ketidak-sukaan. Tetapi mereka tidak berani sampai mengharamkannya.

Kenapa mereka mengeluarkan kalimat-kalimat yang menunjukkan ketidak-sukaan terhadap musik/nyanyian? Karena --menurut hemat penulis-- mereka adalah orang-orang yang tingkat zuhudnya sudah demikian tinggi terhadap perkara dunia. Mereka menilai bahwa musik/nyanyian itu lebih cendrung membuat orang-orang lalai kepada Allah dan lalai terhadap perkara-perkara akhirat. Di antara mereka ada juga yang menilai bahwa musik itu menyuburkan kemunafikan di dalam hati.

Mereka berhak berpendapat seperti itu. Akan tetapi bagaimanapun, pendapat tersebut masih bisa dinilai subjektif dan tidak selalu benar untuk semua orang. Karena bukan mustahil ada orang-orang yang hatinya tidak lalai kepada Allah meskipun sedang diperdengarkan musik. Dan andaikata musik dinilai dapat melalaikan, maka bukankah perkara-perkara lain juga dapat melalaikan? Bahkan semua hal, sesungguhnya bisa saja melalaikan orang dari mengingat Allah. Lantas apakah semua hal itu menjadi harus diharamkan? Tentu tidak.

Jika Anda suatu saat dilalaikan oleh istri Anda dari mengingat Allah, misalnya, maka apakah lantas istri Anda tersebut harus diharamkan untuk selamanya? Jika Anda suatu saat dilalaikan oleh tugas-tugas kuliah Anda di kampus, misalnya, maka apakah itu berarti bahwa Anda menjadi haram kuliah untuk selamanya? Kesimpulan macam apa ini jika memang harus diterapkan di dalam hidup kita?! Akan banyak terjadi kekacauan jika cara pengambilan hukum adalah seperti ini. Oleh karena itu, cara pengambilan hukum seperti ini tentu saja tidak tepat dan tidak dapat diterima.

Maka demikianlah dengan musik. Musik tidak serta-merta harus diharamkan hanya karena dinilai sebagai sesuatu yang dapat melalaikan orang dari Allah. Yang perlu diperbaiki adalah segi kelalaiannya itu. Bukan musiknya yang harus diharamkan. Bahkan sesungguhnya, tidak mustahil pada akal jika musik/nyanyian itu justru dapat dijadikan sarana untuk mengingatkan manusia kepada Allah dan kepada jalan-jalan kebaikan/akhirat.

Bagaimanapun adanya, yang jelas, satu hal yang harus dipegang adalah bahwa para Imam Mazhab yang empat itu tidak berani mengharamkan musik/nyanyian meskipun mereka cendrung tidak menyukainya.

Ini harus didudukkan wahai ‘ibadallah, terutama kepada orang-orang yang berani-berani saja atau gampang-gampang saja mengharam-haramkan sesuatu. Akan ada kerusakan besar jika sesuatu yang sebenarnya halal itu malah diharamkan. Kerusakan besar terhadap manusia atau kerusakan besar terhadap citra Islam itu sendiri sebagai satu-satunya agama yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia dan alam semesta. Bahkan bukan mustahil akan muncul salah-sangka manusia kepada Allah, Sang Pencipta mereka. Mereka akan lari dari Allah atau mereka akan lari dari Islam sejauh yang mereka bisa karena menilai/menyangka bahwa Islam itu tidak cocok atau tidak sesuai dengan fitrah mereka.

Anda yang tidak berpikir jauh (apalagi zuhud Anda telah tinggi terhadap dunia dan Anda tidak memiliki suatu pekerjaan yang harus berhubungan dengan musik) mungkin akan ringan saja bagi Anda ketika mendengar ada orang yang mengharamkan musik. Tetapi bagi orang-orang yang pemikirannya luas, atau bagi orang-orang yang telah mengenal keindahan Allah dan agama-Nya secara cukup jauh, atau orang-orang yang telah mengenal karakter manusia dan karakter agama ini secara cukup dalam, pengharaman musik bukanlah sesuatu yang ringan saja. Mereka mengerti bahwa pada pengharaman seperti ini, akan ada kerusakan besar yang mengiringinya. Itulah mengapa ternyata orang-orang yang membantah hukum haramnya musik bukanlah orang-orang yang dapat diremehkan saja. Di antara mereka, ternyata ada orang-orang sekelas Imam al-Ghazali.

Imam Al-Ghazali menyempatkan diri membahas musik/nyanyian ini secara panjang lebar di dalam kitabnya, Ihya’ Ulumiddin. Padahal kami yakin, orang sekelas beliau ini tidak membutuhkan musik. Orang sekelas beliau ini sudah kurang kecendrungan hatinya terhadap dunia, apalagi terhadap hiburan-hiburan seperti nyanyian dan musik.

Kami yakin Imam al-Ghazali meluangkan waktunya untuk membahas masalah musik/nyanyian bukanlah demi kepentingan pribadinya, tetapi demi kepentingan umat dan agama ini. Demi menyadarkan umat yang sudah terjebak kepada mengharamkan yang halal. Demi memproteksi Islam pada segi keindahan dan kesesuaiannya dengan fitrah manusia.

Sebagai seorang pemikir besar dan ulama yang mendalam ilmunya, Imam al-Ghazali menyadari betul bahwa Islam bukan hanya untuk orang-orang yang telah tinggi rasa zuhudnya terhadap dunia. Bahkan orang-orang yang rendah rasa zuhudnya itu jauh lebih banyak daripada orang-orang yang tinggi rasa zuhudnya, dan mereka semua membutuhkan Islam. Jika perkara musik ini tidak didudukkan, bisa jadi orang-orang yang rendah rasa zuhudnya akan lari dari Islam karena salah-sangka terhadap Islam, dan itu akan menyebabkan mereka terjerumus ke dalam kebinasaan yang jauh lebih besar dibandingkan jika mereka menyukai musik namun tetap berada di dalam Islam.

Islam juga bukan hanya untuk orang-orang yang jangkauan akalnya pendek dan malas berpikir. Bagi orang-orang yang mau memikirkan suatu masalah secara mendalam, jelas akan terasa aneh dan janggal jika Islam mengharamkan musik/nyanyian. Bagaimana mungkin sebuah suara (baik suara manusia atau suara alat) menjadi diharamkan hanya karena suara itu disusun dan diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan efek keindahan yang mana keindahan itu disukai sendiri oleh jiwa dan fitrah manusia. Bahkan tidak hanya disukai manusia, hewan pun (dan konon pula tumbuh-tumbuhan) menyukai suara-suara yang indah, dan suara-suara indah itu berefek baik terhadap mereka. Imam al-Ghazali mencontohkan, misalnya, bagaimana seekor unta ternyata menjadi bertambah semangat dan tangkas ketika dilantunkan kepadanya sebuah nyanyian atau lagu.

Artinya, bagi orang-orang yang berfikir, pengharaman musik atau nyanyian secara mutlak jelas terasa tidak sesuai dengan fitrah manusia atau bahkan makhluk hidup lainnya. Mungkinkah Islam, sebuah agama yang benar yang diturunkan oleh Zat yang telah menciptakan makhluk dengan segala fitrahnya akan memberlakukan suatu hukum yang bertentangan dengan fitrah makhluk itu sendiri? Jelas ini tidak bisa diterima oleh nurani dan akal yang sehat.

Jadi, tentunya, orang-orang seperti Imam al-Ghazali menyadari bahwa pendapat yang mengharamkan musik/nyanyian secara mutlak, jika dianggap remeh dan dibiarkan, akan dapat mencoreng citra Islam yang sebenarnya. Akan dapat membuat orang menjadi salah-sangka/buruk sangka terhadap Islam. Dan tentunya, itu akan membuat mereka lari dari Islam.

Oleh karena itulah kiranya Imam al-Ghazali menyempatkan dirinya membahas masalah musik secara panjang-lebar demi menyingkap kepada manusia terutama kepada para ulama yang telah keliru akan duduk-perkara yang sebenarnya. Jika segala perkara telah didudukkan pada tempatnya, insya Allah tidak akan terasa kejanggalan pada jiwa manusia, dan segala sesuatunya akan lebih terjamin untuk dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan sesuai dengan yang dikehendaki oleh Islam.

Bersambung ke bagian 2, insya Allah.

(Buya Amin/Media Muslim)

=====================
[1] Untuk penjelasan lebih lanjut tentang kaedah ini, silakan lihat Halal dan Haram Dalam Pandangan Islam, edisi lengkap, karya Syekh Muhammad Yusuf El Qardlawi, jilid 1, hal. 21 dst.

2 comments:

  1. Jazakallah. Mohon izin untuk menyebarkan artikel ini di media sosial.

    ReplyDelete
  2. MashaAllah, kritis dan komunikatif. Banyak paragraf yang membuat saya membatin "BENAR!" berkali-kali... Jazakallah :3

    ReplyDelete

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...