Tuesday, 30 May 2017

Hukum Musik/Nyanyian Dalam Islam (Dalil dan Bantahan) (2)



Ini adalah bagian ke-2 dari 3 tulisan. Jika Anda belum membaca bagian pertamanya, silakan klik di sini: bagian 1.

Kedua:
Tidak ada dalil yang shahih sekaligus sharih (jelas) yang mengharamkan musik/nyanyian.


Pada bagian pertama telah kita terangkan bahwa untuk mengharamkan sesuatu yang telah diciptakan Allah, diharuskan adanya dalil yang shahih sekaligus sharih. Jika tidak, maka sesuatu tersebut harus dikembalikan kepada hukum asalnya yakni halal atau mubah.

Coba perhatikan, kenapa daging babi itu status hukumnya haram? Karena jelas ada dalil yang shahih dan juga sharih yang mengharamkannya. Dalilnya antara lain surat al-Baqarah ayat 173. Dalilnya shahih (karena merupakan ayat Alquran) dan juga sharih (karena jelas-jelas di ayat itu dinyatakan haram). Perhatikanlah bunyi ayat tersebut berikut ini:

“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. al-Baqarah: 173).

Pada ayat tersebut terlihat jelas dan tegas Allah meng-haramkannya. Jadi dalilnya shahih (benar) dan juga sharih (jelas/tegas).

Kemudian, kita harus memahami pula bahwa keharaman itu ada dua macam. Ada haram ‘ainiy (haram secara zatnya), dan ada haram sababiy (haram karena sebabnya).

Haram ‘ainiy adalah haram secara zat, artinya, memang bendanya atau substansi yang disebut itu yang diharamkan. Misalnya, Allah mengharamkan babi. Memang babi itulah yang diharamkan. Sampai kapan pun dan di mana pun babi itu tetap haram. Sesuatu yang haram ‘ainiy, tidak bisa dihalalkan kecuali karena faktor darurat.

Sesuatu yang haram ‘ainiy (haram secara zat), maka selamanya ia tetap haram kecuali ketika ada faktor darurat (keterpaksaan) yang mengiringinya. Contoh: daging babi. Daging babi itu haram ‘ainiy. Oleh karena itu, ia tidak akan pernah berubah menjadi halal kecuali kalau ada faktor darurat yang mengiringinya. Misal: Suatu saat, manusia tersesat di hutan. Tak ada makanan di tempat itu kecuali daging babi. Kalau dia tidak memakan daging babi tersebut, maka dia bisa mati atau kepayahan (karena tidak ada makanan lain yang dapat ia makan ketika itu, sementara kondisi tubuhnya sudah membutuhkan makanan). Maka dalam kondisi tersebut berarti dia telah mengalami darurat (keterpaksaan). Maka bolehlah baginya memakan daging babi tersebut sekedarnya, yakni sekedar untuk mempertahankan hidupnya menjelang dia bisa mendapatkan makanan yang halal.

Sedangkan haram sababiy adalah sesuatu yang diharamkan karena sebabnya. Artinya, benda atau substansinya itu sendiri sebenarnya halal. Akan tetapi karena ada sesuatu hal yang haram yang sedang melekat pada dirinya, maka benda tersebut menjadi haram. Manakala penyebab haramnya sudah hilang/dihilangkan, maka benda tersebut kembali menjadi halal. Jadi, penghalalannya tidak harus dikait-kaitkan dengan kondisi darurat.

Contoh: baju hasil curian. Baju ini haram karena sebabnya, yakni mencuri. Ketika status mencuri itu dapat dihilangkan, maka baju itu kembali menjadi halal. Misalnya dengan cara kita datang kepada yang punya, lalu kita beli baju tersebut kepadanya (kita bayar harganya). Maka ketika dia telah rela dengan pembelian itu, dan uang kita telah diterimanya, maka halallah baju tersebut untuk kita. Status hukumnya telah berubah karena sebab keharamannya telah dihilangkan. Inilah haram sababiy (haram karena sebab).

Nah, sekarang, bagaimana dengan musik/nyanyian? Ternyata tidak ada dalil yang shahih sekaligus sharih yang mengharamkannya, baik di Alquran maupun di hadits-hadits Nabi saw. Jika ada yang shahih, tetapi tidak sharih. Jika ada yang sharih, tetapi tidak shahih. Begitu semua dalil yang terkesan melarang musik/nyanyian (nanti akan kita buktikan lebih lanjut di bawah).

Kalaupun ada sebuah dalil yang menurut sebagian pihak telah memenuhi syarat keduanya yakni shahih sekaligus sharih (meskipun sebagian pihak menolak keshahihannya), maka ternyata dalil tersebut masih bisa dipertanyakan jenis keharamannya: apakah haram karena zatnya, atau haram karena sebabnya. Dan ternyata, penelitian ulama membuktikan, kalaupun seandainya hukum musik/nyanyian itu haram, maka haramnya adalah haram sababiy (haram karena sebab), bukan haram ‘ainiy (haram secara zat). Sebab, kalau musik/nyanyian itu haram secara zat, maka semestinya ia tidak akan pernah dibolehkan oleh Rasulullah saw kecuali dalam kondisi darurat. Nyatanya, Rasulullah pernah membolehkan musik/nyayian bukan pada kondisi-kondisi darurat, seperti pada suatu hari raya, pada saat siti ‘Aisyah ingin menikahkan salah-seorang kerabatnya, pada saat Rasulullah disambut kedatangannya di Madinah, dan lain-lain. Berarti haramnya musik itu bukan secara zatnya, tetapi karena ada suatu sebab yang mengiringinya.

Dalil-Dalil yang Membolehkan Musik/Nyanyian

Perhatikan dalil-dalil yang membolehkan musik/nyanyian berikut ini:

“Dari ‘Aisyah ra. Sesungguhnya Abu Bakar pernah masuk kepadanya, sedang di sampingnya ada gadis yang sedang menyanyi dan memukul gendang pada hari Mina (Idul Adha), sedang Nabi saw menutup wajahnya dengan pakaiannya. Maka diusirlah dua gadis itu oleh Abu Bakar. Lantas Nabi membuka wajahnya dan berkata kepada Abu Bakar: ‘Biarkanlah mereka itu hai Abu Bakar, sebab hari ini adalah hari raya (=hari bersenang-senang)’ (HR. Bukhari dan Muslim)[1]

“Dari Aisyah ra bahwa ketika dia mengantar penganten perempuan ke tempat laki-laki Anshar, maka Nabi bertanya: Hai ‘Aisyah, apakah mereka ini disertai dengan suatu hiburan (lahwu)? Sebab orang-orang Anshar gemar sekali terhadap hiburan” (HR. Bukhari)

Maksud hadits ini adalah Nabi saw menawarkan atau mengingatkan Aisyah untuk membawa penyanyi agar menyenangkan hati orang-orang Anshar yang akan didatanginya itu. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: ‘Aisyah pernah menikahkan salah-seorang kerabatnya dengan orang Anshar. Kemudian Rasulullah saw datang dan bertanya: “Apakah akan kalian hadiyahkan gadis itu?” Mereka menjawab: “Benar”. Rasulullah saw bertanya lagi: “Apakah kalian kirim bersamanya orang yang akan bernyanyi?” Aisyah menjawab: “Tidak”. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Anshar adalah kaum yang menyukai rayuan. Maka alangkah baiknya kalau kalian utus bersamanya (bersama penganten perempuan itu) seorang yang mengatakan: kami datang, kami datang, selamat datang kami, selamat datang kamu” (HR. Ibnu Majah)

Ada seseorang yang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Aku telah bernadzar kepada Allah, jika anda (Rasulullah) kembali dalam keadaan selamat, aku berjanji akan memainkan rebana.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jika engkau bernadzar maka lakukanlah, jika belum maka jangan engkau lakukan.” (HR. Tirmidzi, Shahih At-Tirmidzi, hadits no. 3690)

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara pernikahan, beliau datang dan berkumpul bersama para sahabatnya. Kemudian datang dua orang anak kecil perempuan yang memainkan rebana. Mereka menyebutkan kebaikan para sahabat yang telah wafat di medan jihad (dalam perang Badar), ketika salah satunya menjanjung Nabi (mengatakan bahwa Rasulullah mengetahui tentang hari esok) Rasulullah berkata: “Tinggalkanlah ucapan tersebut, ucapkan saja yang tadi kau katakan.” (Sahih Al Bukhari volume 5 Book of Maghaazi Hadith 4001)

Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam bukunya As-Simaa’ menyebutkan, Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa’id bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya’bi.

Jika Sebab Keharamannya Dapat Dihindari, Maka Hukum Musik/Nyanyian Adalah Halal

Kalau sudah nyata bahwa haramnya musik/nyanyian itu adalah haram karena sebab, maka dapatlah dicari apa sebab yang mengharamkannya itu. Ternyata, berdasarkan penelitian ulama (seperti Imam Al-Ghazali), sebab haramnya adalah karena musik/nyanyian di zaman Rasulullah itu identik dengan minuman keras, perbuatan mesum, perjudian, atau pelalaian kewajiban. Artinya, musik/nyanyian di zaman itu identik dengan kemaksiatan. Maka kalau faktor kemaksiatan bisa dihilangkan, maka hukum musik/nyanyian dapat kembali kepada hukum asalnya yakni halal/mubah. Sesuatu yang halal atau mubah jika digunakan untuk sesuatu yang berpahala, maka hukumnya akan berpahala pula. Demikianlah kesimpulan yang kami rasa benar tentang masalah musik/nyanyian.

Ada orang yang mengambil kesimpulan (setelah melihat dalil-dalil yang terkesan melarang/mengharamkan dan dalil-dali yang terkesan membolehkan/menghalalkan) tentang musik/nyanyian sebagai berikut: “Musik/nyanyian itu pada dasarnya haram, kecuali ketika hari raya dan pernikahan. Dan alat musik yang dibolehkan hanyalah rebana”. Dapat dibenarkankah kesimpulan yang seperti ini?

Menurut hemat kami, kesimpulan seperti ini dibuat oleh orang-orang yang tidak mengerti bagaimana cara mengistimbath hukum di dalam Islam. Mereka sepertinya tidak menguasai atau bahkan tidak mengetahui kaidah-kaidah ushul Fiqh. Mereka hanya melihat hadits-hadits, kemudian mengambil kesimpulan dengan pikiran sendiri. Mereka mengabaikan kaedah-kaedah yang telah dibuat dan disetujui oleh para ulama yang harus dipakai ketika ingin memutuskan sebuah hukum di dalam Islam agar hukum tersebut menjadi tepat sesuai dengan karakter dan tujuan agama Islam itu sendiri.

Contoh, perkataan bahwa “musik/nyanyian itu pada dasarnya haram”, ini adalah menyalahi kaedah yang mengatakan: “Hukum asal segala sesuatu itu mubah/boleh kecuali ada dalil yang menyelisihnya”. Terlihat mereka tidak pandai di dalam mengembalikan suatu persoalan ke dasarnya dulu sebelum kemudian memutuskan hukum yang selanjutnya.

Kaedah-kaedah ushul fiqh yang telah dibuat dan disetujui oleh para pakar hukum Islam bukanlah kaedah-kaedah sembarangan. Kaedah-kaedah tersebut dibuat dan disepakati oleh para ulama yang pakar dalam masalah hukum Islam. Kaedah-kaedah tersebut dibuat dari pemahaman yang komprehensif tentang hukum Islam. Kaedah-kaedah tersebut dibuat demi memandu manusia agar lebih mudah dan tidak salah ketika ingin memutuskan suatu hukum di dalam Islam.

Kemudian perkataan mereka yang membatasi bahwa “musik/nyanyian itu hanya boleh pada hari raya atau pernikahan. Dan alat musik yang dibolehkan hanyalah rebana”, ini juga lagi-lagi menunjukkan bahwa mereka memang tidak pandai dalam memutuskan sebuah hukum di dalam Islam.

Sebuah pembatasan itu perlu dalil tersendiri yang jelas-jelas terlihat bahwa Rasulullah itu membatasi. Kalau hanya kebetulan bahwa Rasulullah membolehkannya pada hari raya dan pernikahan, itu tidak lantas harus dimaknai membatasi. Itu hanya satu bentuk contoh pembolehan dari Rasulullah agar bisa dikiaskan kepada pembolehan-pembolehan yang lain. Sebab tidak mungkin bagi Rasulullah saw untuk mencontohkan semua bentuk pembolehan. Apakah untuk membolehkan makan pakai sendok, misalnya, maka berarti Rasulullah saw harus lebih dulu makan pakai sendok pula, atau mengizinkan sahabatnya melakukan itu terlebih dulu, padahal sendok di zaman itu belum ada?

Maka demikian pula halnya dengan musik. Apakah untuk membolehkan alat musik piano, misalnya, lantas Rasulullah saw harus memainkan piano terlebih dulu di zamannya atau mengizinkan sahabatnya memainkan piano? Bagaimana mungkin Rasulullah melakukan itu sedangkan piano di zaman itu belum ada?

Jadi, jika kebetulan pada zaman Rasulullah saw alat musik yang dimainkan hanyalah rebana, tidak lantas berarti bahwa alat musik yang dibolehkan dalam Islam hanyalah rebana. Rebana itu hanya sampel dari alat musik. Tidak mungkin Rasulullah mencontohkan semua alat musik di zaman beliau, terlebih lagi alat-alat musik yang di zaman itu memang belum ada.

Dengan dibolehkannya bermain rebana di zaman Rasulullah, maka isi pesannya adalah: “memainkan alat musik itu boleh”.

Dengan dibolehkannya bernyanyi dan bermain rebana di hari raya, di hari pernikahan, di waktu menyambut orang yang telah lama dirindukan, maka isi pesannya adalah: memainkan musik dan bernyanyi di momen-momen yang mengandung kebahagiaan adalah boleh (selama tidak diiringi dengan hal-hal yang bersifat maksiat tentunya). Dan kebolehan tersebut tidaklah berarti pembatasan. Artinya, kapan pun dan di mana pun, bermain musik dan bernyanyi itu sebenarnya boleh selama tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan syariat di dalamnya.

Demikianlah semestinya cara mengambil kesimpulan hukum di dalam Islam. Jadi, kelirulah logika yang membolehkan sesuatu hanya kalau Rasulullah telah mencontohkannya secara persis terlebih dulu di masa hidupnya. Sebab hal ini akan membuat hukum Islam menjadi kerdil dan primitif. Hukum Islam jadi terlihat hanya cocok untuk manusia-manusia di masa lalu (yakni di masa Rasulullah itu saja), padahal Islam adalah agama yang disiapkan Allah untuk semua zaman. Tidak mungkin sebuah agama yang diperuntukkan untuk semua zaman lantas agama itu ternyata bersifat kaku dan sempit. Tidak mungkin. Kecuali jika agama tersebut hanya agama bikin-bikinan saja, bukan berasal dari Tuhan Pencipta alam ini.

Islam adalah agama yang benar, bahkan satu-satunya agama yang benar sejak zaman Nabi Muhammad saw. Diturunkan oleh satu-satunya Tuhan di alam ini. Pencipta alam ini. Tuhan yang bersifat Maha cerdas dan Maha Bijaksana. Diperuntukkan untuk semua manusia di semua tempat dan zaman, makhluk yang pasti akan mengalami dinamika dan perkembangan. Maka tidak mungkin ajaran dan hukum-hukumnya bersifat kaku dan sempit. Tidak mungkin, bahkan sangat tidak mungkin.

Sekarang, mari kita buktikan bahwa dalil-dalil yang dipakai oleh kelompok yang mengharamkan musik/nyanyian sesungguhnya tidak ada yang shahih sekaligus sharih. Mari perhatikan:

Dalil Berdasarkan Alquran

Tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang secara tegas menyebut kata musik, alat musik atau lagu dan nyanyian. Sehingga dalil-dalil terkait dengan musik dan lagu di dalam Al-Quran umumnya bersifat penafsiran atas istilah-istilah yang punya makna banyak. Di antara istilah-istilah yang sering ditafsirkan para ulama sebagai musik dan lagu adalah :

a. Surat Luqman : Lahwal Hadits
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

Para ulama yang menyebutkan bahwa makna lahwal-hadits (لهو الحديث) adalah lagu/nyanyian diantaranya adalah Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Al-Abbas, Jabir bin Abdillah, ridwanullahi ‘alaihim ajma’in. Demikian juga dengan pendapat Mujahid dan Ikrimah, mereka menafsirkan lahwal-hadits sebagai lagu atau nyanyian. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ayat ini turun terkait dengan lagu dan nyanyian.

Jawaban:
Istilah lahwal-hadits (لهو الحديث) di dalam surat Luqman, memang cukup sering ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai nyanyian dan lagu. Namun para ulama yang tidak berpendapat seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Misalnya Adh-Dhahhak, beliau menafsirkan istilah ini sebagai syirik, dan bukan nyanyian dan musik. Sedangkan Al-Hasan mengatakan bahwa maknanya adalah syirik dan kufur.

Ibnu Hazm menolak pengharaman musik bila menggunakan ayat ini, dengan beberapa alasan, antara lain :

Pertama, penafsiran versi Mujahid tidak bisa diterima, karena yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Rasulullah SAW. Dan beliau SAW tidak menjelaskan seperti yang ditafsirkan oleh Mujahid.

Kedua, penafsiran Mujahid ini sifatnya sepihak saja, tidak mewakili penafsiran kebanyakan ulama. Sementara ada begitu banyak shahabat dan tabi’in yang menghalalkan musik.

Ketiga, kalau ditafsirkan bahwa yang dimaksud lahwal-hadits itu hanya terbatas alat musik, maka penafsiran ini batil. Sebab bisa saja orang membeli benda yang lain lalu dijadikan alat permainan dan digunakan untuk menyesatkan orang. 

Katakanlah misalnya ada orang membeli mushaf Al-Quran, lalu dijadikan alat untuk menyesatkan orang dan permainan. Lantas apakah haram hukumnya membeli mushaf Al-Quran hanya karena ada orang tertentu yang menjadikannya sebagai penyesat dan permainan?
Jawabnya tentu tidak. Kalau mau mengharamkan, seharusnya yang diharamkan adalah ketika menjadikan suatu benda sebagai alat untuk menyesatkan manusia dan permainan, bukan mengharamkan benda tersebut.

b. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Dan tidaklah sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, kecuali hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)

Menurut pendukung haramnya nyanyian dan musik, Allah SWT telah mengharamkan nyanyian dan musik lewat ayat ini. Logika yang digunakan adalah bahwa kalau sekedar bersiul dan bertepuk tangan saja sudah haram, apalagi bernyanyi dan bermusik. Tentu hukumnya jauh lebih haram lagi.

Jawaban:
Ketika berhujjah dengan ayat tentang tentang orang-orang kafir di zaman jahiliyah beribadah dengan cara bertepuk dan bersiul, sehingga hasil kesimpulannya bahwa nyanyian dan musik itu menjadi haram, maka metode pengambilan kesimpulan hukumnya terlihat lemah sekali.

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Dan tidaklah sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, kecuali hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)

Ayat ini tidak secara langsung menyebutkan tentang musik dan lagu. Ayat ini hanya bercerita tentang bagaimana orang-orang di masa jahiliyah melakukan ibadah dengan cara bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan. Akan tetapi, oleh kalangan yang ingin mengharamkan lagu dan musik, perbuatan orang-orang jahiliyah di masa lalu yang diceritakan di ayat ini kemudian dikaitkan dengan keharaman bernyanyi dan bermusik.

Padahal yang diharamkan adalah menyembah Allah dengan cara bersiul dan bertepuk tangan, yang mana hal itu merupaan perbuatan orang-orang kafir di masa jahiliyah.

Adapun bersiul dan bertepuk tangan di luar konteks ibadah kepada Allah, sama sekali tidak terkait dengan hukum halal dan haram. Artinya, tidak ada keharaman dari bertepuk dan bersiul, asalkan tidak ada berkaitan dengan ibadah. Misalnya adat dan budaya serta gestur yang ada di suatu masyarakat dalam berkomunikasi dengan sesama, tentu tidak bisa diharamkan begitu saja.

Di suatu peradaban tertentu, rasa kagum atas suatu hal biasa diungkapkan dengan cara bersiul. Atau rasa hormat dan bahagia biasa diungkapkan dengan bahasa tubuh yaitu bertepuk tangan spontan. Bahasa tubuh seperti itu tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan sebuah peribadatan di peradaban yang lain.

Kalau bersiul dan bertepuk tidak selalu menjadi haram, apalagi bernyanyi dan bermusik, yang sama sekali tidak ada hubungannya. Maka tidak tepat rasanya mengharamkan nyanyian dan musik dengan menggunakan ayat ini.

c. Surat Al-Isra’ : Suara
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)

Yang menjadi titik perhatian dalam ayat ini adalah kata bi shautika (بصوتك). Dalam pendapat mereka, ayat ini termasuk ayat yang mengharamkan nyanyian dan musik; lewat tafsir dan pendapat dari Mujahid. Beliau memaknainya dengan : bi-llahwi wal ghina (باللهو والغناء). Al-Lahwi sering diartikan dengan hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-ghina’ adalah nyanyian dan lagu.

Jawaban:
Pendapat itu hanya pendapat satu orang saja, yaitu Mujahid. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kita pun tidak harus selalu terpaku kepada pendapatnya. Sebab masih banyak ulama ahli tafsir yang tidak berpendapat demikian. Misalnya dengan penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa maknanya adalah segala ajakan yang mengajak ke arah maksiat kepada Allah.

Departemen Agama RI tampaknya lebih menggunakan Tafsir Ibnu Abbas dari pada pendapat Mujahid. Sebab kalau kita baca terjemahan ayat ini dalam versi Departemen Agama RI, kata itu diterjemahkan menjadi : ‘dengan ajakanmu’, sama sekali tidak terkait dengan urusan nyanyian dan musik.

d. Surat Al-Furqan : Az-Zuur
وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)

Menurut mereka, kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama. Maka mendengarkan nyanyian dan lagu hukumnya haram menurut penafsiran ayat ini.

Jawaban:
Nyaris kebanyakan pendapat para ulama ahli tafsir tentang ayat ini tidak sampai ke arah mengharamkan nyanyian dan lagu, karena terlalu jauh penyimpangan maknanya.

Ayat ini menceritakan tentang ciri-ciri orang yang disebut sebagai ibadurrahman atau hamba-hamba Allah yang beriman, di mana salah satu cirinya adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.

Kalau pun ada ulama yang menafsirkan maknanya, tidak selalu berupa haramnya nyanyian dan musik. Misalnya penafsrian Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa la yasyhaduna az-zuur adalah tidak melakukan syirik atau menyembah berhala.

Titik pangkalnya adalah pada kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), yang di dalam terjemahan versi Departemen Agama RI diartikan dengan: memberi kesaksian palsu (bukan bermain musik atau lagu), sebagaimana zhahirnya lafadz ayat ini.

e. Surat Al-Qashash : Laghwi
Sebagian ulama mengharamkan musik/nyanyian karena dianggap sebagai bentuk laghwi atau kesia-siaan, dan menurut mereka hal itu dilarang di dalam Al-Quran Al-Kariem, yakni berdasarkan ayat ini:

وَ إِذَا سَمِعوُاُ اللَغُوَ أَعُرَضواُ عَنُه وَقَالواُ لَنا أَعُمَالنَا وَلَكمُ أَعُمَالَكمُ سَلَم عَلَيُكمُ لَا نَبُتَغِي الُجَاهِلِيُنَ
Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu. Kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil”. (QS. Al-Qashash : 55)

Jawaban:
Tidak semua musik/nyanyian dapat dikategorikan ke dalam laghwi atau kesia-siaan. Sebab jika pasti kesia-siaan, maka tidak mungkin Rasulullah saw akan menyarankannya ketika Aisyah ingin membawa salah-seorang kerabatnya untuk dinikahkan dengan orang Anshar.

Kemudian, kalaupun ia tergolong laghwi (kesia-siaan), maka tidak otomatis pula ia bernilai haram, sebab ada perbuatan laghwi yang menurut Alquran tidak mendatangkan dosa. Salah satunya adalah orang yang ber-laghwi ketika mengucapkan sumpah, di mana Allah SWT tidak mempermasalahkannya, sebagaimana tersebut pada ayat berikut :

لاَ يُؤَخِذُكُمُ اللَهُ بِالَلغُو ِفِي أَيُمَانَكمُ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan laghwi di dalam sumpah-sumpahmu (maksudnya, kata sumpah yang dilontarkan dengan tanpa maksud bersumpah. Orang-orang Arab terkadang menyebut kata وَاللّهِ [demi Alloh] padahal ia tidak bermaksud bersumpah—Pen) tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 225)

f. Surat An-Najm : Samidun
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)

Yang menjadi titik utama dari ayat ini adalah kata samidun (سامدون), dimana Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.

Jawaban:
Kata samidun (سامدون) pada dasarnya tidak berarti “orang yang bernyanyi”. Dalam Alquran terjemahan versi Departemen Agama, kata itu diartikan sebagai “orang yang lengah”. Sedangkan ditilik dari tafsirannya, kata samidun juga tidak harus ditafsirkan sebagai “orang yang bernyanyi”. Adh-Dhahhak menafsirkan as-samud (السمود) sebagai al-lahwu wa al-la’bu yang artinya “pekerjaan yang sia-sia dan permainan”.

Apapun tafsiran yang dipilih untuk kata samidun di ayat ini, ayat ini tidak serta-merta dapat digunakan untuk mengharamkan musik/nyanyian secara mutlak. Sebab yang dicela adalah perbuatan melengahkan ayat Alquran ketika ayat Alquran itu dibacakan atau disampaikan. Sedangkan melengahkan Alquran tidak harus selalu dengan bernyanyi atau bermain musik. Orang yang duduk sambil membaca buku pun dapat saja melengahkan Alquran. Lalu apakah lantas dengan demikian hukum membaca buku menjadi haram secara mutlak? Tentu tidak. Haramnya hanyalah ketika dia membaca buku dalam rangka melengahkan Alquran. Jadi, melengahkan Alquran-nya lah yang diharamkan, bukan membaca bukunya.

Maka demikian pulalah halnya dengan musik/nyanyian. Seorang yang bermain musik atau bernyanyi, kan bisa saja menghentikan musik dan nyanyiannya itu ketika ayat Alquran dibacakan kepadanya. Kalau itu mereka lakukan, maka mereka tidak dapat dianggap sebagai orang yang melengahkan Alquran.

Demikianlah beberapa ayat yang pernah digunakan orang untuk mengharamkan musik atau nyanyian. Ternyata ayat-ayat tersebut tidaklah secara jelas berbicara tentang musik/nyanyian apalagi mengharamkannya. Pengharaman musik/nyanyian yang dikait-kaitkan dengan ayat-ayat tersebut sifatnya hanyalah penafsiran secara subjektif sebagian kalangan yang masih sangat bisa dibantah kebenarannya sebagaimana yang telah kita buktikan/paparkan.

Bersambung ke bagian 3 (klik), insya Allah.

(Buya Amin/Media Muslim)
29 mei 2017 M/3 Ramadhan 1438 H.

Ket: Bagian ke-2 ini dikutip dan diedit dari tulisan Ust. Ahmad Sarwat Lc.

==========================
[1] lihat Halal dan Haram Dalam Pandangan Islam, jilid 2, hal 160, karya Syeikh Muhammad Yusuf Al-Qardhawi.

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...