Syirik berasal dari
bahasa Arab اَلشِّرْكُ (as-syirku) yang
berarti bercampur, bergabung, atau bersekutu. Menurut bahasa, kata “as-syirku”
ini adalah kata yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang terjadi antara
dua pihak atau lebih.
Sedangkan secara terminologi,
syirik adalah “menyekutukan Allah dengan selain-Nya”. Tetapi makna ini tidak
akan jelas bagi Anda jika Anda tidak mempelajari ilmunya. Hal-hal apa saja yang
termasuk syirik dan apa saja yang bukan, harus diketahui dengan ilmu, bukan
main akal-akalan. Nah artikel ini akan membantu Anda untuk memahami bagaimana
sesungguhnya yang dimaksud dengan syirik, apa yang termasuk syirik dan apa yang
bukan, sesuai dengan ilmu dan dalil-dalilnya, insya Allah.
Satu hal yang harus
dipahami oleh setiap muslim adalah bahwa syirik merupakan dosa besar, bahkan
paling besar menurut ajaran Islam. Semua nabi dan rasul Allah membawa ajaran
ini (membebaskan manusia dari syirik dan membawa mereka kepada tauhid).
Karena merupakan dosa
besar, apalagi paling besar, maka setiap muslim harus berhati- hati dengan dosa
ini, jangan sampai jatuh ke dalamnya. Tetapi selain itu—dan ini yang kadang
seolah terlupakan oleh sebagian orang—jangan pula gampang-gampang saja menuduh
orang lain telah berbuat syirik. Dosa zina saja yang levelnya di bawah syirik,
tidak boleh kita sembarangan menuduh-nuduh orang, apalagi dosa syirik.
Yang membuat prihatin
pula adalah adanya orang-orang yang keliru di dalam tuduhan. Karena kurang
memahami ilmunya, akhirnya suatu perbuatan yang bukan syirik (seperti tawassul,
tabarruk, penghormatan ke guru, atau lain sebagainya) dituduh-tuduh sebagai
perbuatan syirik.
Hati-hati di dalam
menuduh syirik. Karena bukankah perbuatan syirik itu adalah kekafiran? (kalau masih
ragu, silakan buka surat al-Maidah ayat 72-73 dan renungkan dengan baik). Maka
siapa yang menuduh syirik berarti dia telah menuduh kafir. Sementara Rasulullah
saw mengingatkan kita tentang bahaya menuduh kafir sebagai berikut:
“Barangsiapa
memanggil seseorang dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”,
padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan atau perkataannya itu akan
kembali kepada dirinya sendiri”.[HR Muslim]
Artinya, orang yang
menuduh-nuduh musyrik kepada orang lain hendaknya juga merasa takut dan
hati-hati jangan sampai justru dirinya yang dianggap telah syirik/musyrik oleh
Allah.
Pelajari dulu ilmu
tentang syirik dan tauhid dengan betul. Pikirkan dulu betul-betul sebelum Anda
menuduh orang lain agar jangan sampai Anda keliru di dalam tuduhan Anda itu.
Karena syirik adalah dosa besar, bahkan dosa paling besar, maka tuduhan
tentangnya tentu bukanlah tuduhan yang main-main.
Baiklah. Sekarang kita
terangkan apa sajakah yang termasuk syirik dan apa pula yang bukan. Mari diperhatikan
dengan baik.
Yang tergolong ke dalam
dosa syirik adalah hal-hal sebagai berikut:
1)
menyekutukan Allah di dalam hal penciptaan
Allah lah yang telah
menciptakan alam ini. Dan segala sesuatu selain Allah adalah alam. Segala
sesuatu selain Allah adalah makhluk (ciptaan) Allah. Allah lah yang telah
menciptakan langit, bumi, dan segala isinya, baik yang hidup maupun yang mati,
yang besar maupun yang kecil, yang tampak maupun yang tidak tampak.
Dalil-dalil tentang
penciptaan oleh Allah ini banyak sekali di Alquran. Salah satunya, misalnya:
“Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui
segala sesuatu” (QS. Al-An’am/6: 101)
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada
di bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya
menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Albaqarah:
29)
Maka meyakini bahwa ada
sesuatu yang lain yang telah menciptakan alam ini selain Allah adalah syirik.
Akan tetapi bukan
syirik jika Anda misalnya ditanya oleh seseorang: “Siapa yang membuat kue
ini?” lalu Anda menjawab dengan jujur: “yang membuatnya adalah istri saya”.
Kenapa bukan syirik?
Bukankah tadi dikatakan bahwa yang menciptakan atau membuat segala sesuatu itu
adalah Allah? Maka kue itu, tentunya juga Allah yang menciptakan atau
membuatnya. Lalu kenapa bukan syirik kalau kita menjawab bahwa yang membuatnya
adalah istri kita?
Nah di sinilah yang
penting untuk diketahui dan dipahami. Tolong diperhatikan betul penjelasan ini
karena ia akan diperlukan pula untuk penjelasan pada poin-poin berikutnya.
Perhatikanlah,
saudaraku, insya Allah bermanfaat.
Secara hakikat (secara
yang sesungguhnya) memang benar bahwa segala sesuatu itu Allah lah yang membuat
atau menciptakannya. Termasuk kue itu. Allah pulalah sebenarnya yang
telah menciptakan atau membuatnya. Tetapi ini adalah pengetahuan secara
hakikat/hakiki.
Pengetahuan secara
hakiki ini harus selalu diketahui dan diyakini di dalam hati. Tetapi tidak
wajib untuk selalu disebut di dalam ucapan.
Manakala Allah swt
menggunakan sesuatu atau seorang makhluk-Nya di dalam suatu penciptaan atau
perbuatan-Nya sehingga dalam pandangan lahir/inderawi yang nampak berbuat atau
melakukannya itu adalah makhluk-Nya itu, maka seseorang boleh saja mengatakan
dengan mulutnya bahwa yang melakukan atau membuat sesuatu itu adalah makhluk
tersebut asalkan pengetahuan secara hakikat tetap terpatri di dalam hatinya.
Artinya, dia tetap meyakini bahwa sesungguhnya yang membuat kue itu adalah
Allah swt. Istrinya hanya perantara saja yang diciptakan dan digerakkan oleh
Allah swt untuk membuat kue tersebut. Dengan kata lain, dia harus mengetahui
dan menyadari bahwa ucapannya yang mengatakan bahwa yang membuat kue itu adalah
istrinya, adalah ucapan yang bernilai majazi, bukan hakiki.
Dalil tentang bolehnya
kita mengucapkan kalimat yang bernilai majazi ini antara lain sebagai berikut:
“Dan (ingatlah) ketika engkau (Muhammad) berkata
kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah
memberi nikmat kepadanya: ‘Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah
kepada Allah’” (QS. al-Ahzab/33: 37)
Perhatikan kalimat yang
bergaris-bawah pada ayat di atas. Di situ dikatakan: “dan engkau juga telah memberi nikmat
kepadanya”. Engkau di situ adalah Nabi Muhammad saw, dan yang
diberi nikmat adalah Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi saw). Artinya,
pemberian nikmat yang dilakukan oleh Nabi saw kepada Zaid itu boleh disebutkan
walaupun sebenarnya itu bernilai majazi. Pada hakekatnya, tidak ada yang
memberi nikmat kepada Zaid selain Allah swt. Tetapi karena pemberian nikmat ini
dilakukan dengan menggunakan makhluk-Nya sebagai perantara (dalam hal ini
adalah Nabi Muhammad saw) maka eksistensi makhluk-Nya sebagai pelaku itu boleh
disebut, asalkan harus dipahami bahwa itu bernilai majazi.
Hubungan antara
perbuatan majazi (perbuatan yang dilakukan oleh makhluk) dengan perbuatan
hakiki (perbuatan Allah swt) dapat tergambar dari ayat berikut:
“... dan bukan engkau
yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar ...” (QS.
al-Anfal/8: 17)
Perhatikan ayat di
atas. Dalam ayat tersebut terkumpul dua kalimat: kalimat majazi dan kalimat
hakiki. Dalam dimensi majazi, yang melempar itu adalah engkau (makhluk).
Tetapi dalam dimensi hakiki, bukan engkau (makhluk) yang melempar,
melainkan Allah swt. Dan keduanya terjadi secara bersamaan/berbarengan
ibarat wayang yang digerakkan oleh seorang dalang. Bukan Arjuna (wayang) yang
bergerak ketika Arjuna itu bergerak, tetapi dalanglah sesungguhnya yang
bergerak.
Kalau seseorang
menyebut suatu makhluk sebagai pelaku, dengan tanpa memiliki ilmu dan keyakinan
tentang hakekat yang sebenarnya dari apa yang diucapkannya itu, maka kalimatnya
tersebut bernilai syirik. Terlebih lagi jika dia menafikan pengetahuan hakekat
di hatinya, atau meyakini bahwa apa yang terlihat secara lahir itulah yang
hakiki/sebenarnya, maka ucapannya itu pasti tergolong syirik.
Pandangan tauhid
sesungguhnya menghendaki penafian wujud segala sesuatu selain Allah. Artinya,
segala sesuatu itu harus dipandang tidak ada. Yang ada hanya Allah. Selain
Allah, meskipun nampak atau terasa, harus dipandang tidak ada, atau dipandang
sebagai bayangan atau citra belaka karena pada hakikatnya semua itu memang tidak
ada.
Segala sesuatu itu diadakan,
bukan ada. Yang ada
hanyalah Allah, dan Dia lah yang telah mengadakan segala sesuatu. Dari
apa diadakan? Dari sesuatu yang tidak ada. Maka bagaimana mungkin
sesuatu yang diadakan dari yang tidak ada itu dapat dikatakan ada?
Inilah pandangan
tauhid. Inilah pandangan/pengetahuan hakikat (hakiki). Inilah yang sebenarnya.
Tetapi sekali lagi,
pandangan tauhid ini tidak harus selalu diucapkan. Kenapa? Karena kita
dihidupkan pada alam majazi. Pada alam atau dimensi majazi, yang nampak itu
bukan Allah. Yang terdengar itu bukan Allah. Apalagi tidak semua orang pula di
dunia ini beriman kepada Allah. Akan sulit sekali kalau di alam majazi seperti
ini, kita diharuskan untuk selalu berbicara secara hakiki. Kita akan dianggap
gila atau stress.
Jadi, pandangan tauhid
ini cukuplah selalu berada di hati. Tidak harus selalu diucapkan.
Pandangan tauhid atau
pengetahuan-pengetahuan secara hakiki itu hendaknya diucapkan pada saat-saat
tertentu saja sesuai dengan momen dan kebutuhannya. Seperti sekarang ini. Kita
sedang membicarakan masalah syirik. Maka tentu saja amat pantas, bahkan harus,
kita buka pandangan tauhid ini. Harus kita ungkap bagaimana yang sebenarnya.
Harus kita jelaskan segala sesuatu sesuai dengan ilmu dan kebenarannya.
2)
menyekutukan Allah di dalam hal pengaturan dan pengurusan-Nya terhadap alam
Selain menciptakan,
Allah juga mengurus dan mengatur makhluk-makhluk-Nya. Apapun di alam ini, Allah
lah yang mengurus dan mengaturnya. Allah
yang mengurus dan mengatur matahari. Allah yang mengurus dan mengatur
bulan. Allah yang mengatur malam dan siang. Allah yang menurunkan hujan,
menghidupkan tumbuh-tumbuhan, mengalirkan sungai-sungai, menjaga laut dan
isinya, memberi makan-minum semua makhluk-Nya, memberi dan mengatur rezeki
mereka, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Allah disebut Rabbul ‘alamin
yang artinya: Pengatur/Pengurus seluruh alam (namun dalam Quran terjemahan,
biasanya kata Rabb itu diterjemahkan sebagai Tuhan saja, mungkin
demi memudahkan penerjemahan).
Dalil-dalil tentang ini
amat banyak di Alquran. Salah-satunya yang paling mudah untuk dicari adalah
surat al-Fatihah ayat 2:
“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (QS.
al-Fatihah: 2)
Maka meyakini bahwa ada
sesuatu yang lain yang melakukan segala pengaturan dan pengurusan seperti
tersebut di atas selain Allah, adalah syirik.
Oleh karena itu, jika
engkau membutuhkan sesuatu, maka mintalah kepada Allah. Jika engkau terpaksa
meminta kepada manusia, maka anggaplah manusia itu hanya sebagai perantara atau
jalan saja dari Allah. Jika ada nikmat, rezeki, bantuan, atau lain sebagainya
yang datang kepadamu, maka engkau harus meyakini bahwa semua itu sesungguhnya
adalah dari Allah.
Akan tetapi saya
ingatkan lagi di sini, bahwa tidak syirik jika misalnya seorang pasien
rawat-inap ditanya oleh dokternya: “Siapa yang memberi makan kepadamu tadi siang?”.
Lalu si pasien menjawab: “Ibu saya” (karena yang menyuapi dia tadi siang adalah
ibunya). Dengan syarat bahwa ucapan itu dipandang sebagai ucapan majazi dan
bukan hakiki (sesuai dengan penjelasan yang terdapat pada poin nomer 1).
3)
Mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram
Mengharamkan atau
menghalalkan sesuatu adalah hak Allah semata-mata. Tidak boleh ada seorang pun
yang mengambil alih hak Allah ini. Karena itu, kalau ada seseorang yang berani
mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan atau menghalalkan sesuatu yang telah
Allah haramkan, maka orang itu ternilai telah berbuat syirik.
Kalau ada orang
(katakanlah ia bernama si B) yang berani mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram, lalu ada orang-orang yang patuh mengikuti si B dalam
hal itu, maka orang-orang tersebut dianggap telah menjadikan si B itu sebagai
tuhan. Hal ini didasarkan pada firman Allah berikut:
“Mereka
telah menjadikan para pastur dan rahib-rahib mereka sebagai arbab
(tuhan-tuhan) selain Allah dan (mereka juga telah mempertuhankan) Al Masih
putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali hanya menyembah Tuhan
Yang Esa. tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah: 31)
Ketika
ayat ini didengar oleh ‘Adiy ibnu Hatim (seorang sahabat yang asalnya Nasrani
kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim kemudian berkata kepada Rasulullah saw:
“Sesungguhnya mereka (orang-orang Nasrani) tidak menyembah para pastur dan
rahib-rahib itu”.
Maksudnya,
‘Adiy ibnu Hatim ini heran, kenapa Allah memvonis bahwa orang-orang Nasrani
telah menjadikan para pastur dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan padahal
mereka tidak pernah menyembah para pastur dan rahib-rahib itu?
Rasulullah menjawab: “Betul. Tetapi mereka (para
pastur dan rahib-rahib itu) telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal,
dan menetapkan halal terhadap sesuatu yang haram, lalu mereka (orang-orang
Nasrani itu) mengikutinya. Maka, itulah penyembahannya terhadap mereka” (HR.
Tirmizi dan yang lainnya).
Jadi,
berhati-hatilah Anda-Anda yang suka mengharamkan ini dan itu padahal Allah swt
belum tentu mengharamkannya. Anda haramkan ziarah kubur, apa benar Allah
mengharamkannya? Kalau alasannya demi menghindarkan orang dari syirik, apa benar
setiap orang yang berziarah kubur itu pasti melakukan syirik? Jangan-jangan
demi menghindarkan orang dari syirik, justru Anda sendiri yang jatuh ke dalam
syirik itu karena telah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah
swt.
Anda
haramkan musik, apa benar Allah swt telah mengharamkannya? Kalau musik dan
nyanyian itu pada dasarnya haram, lalu kenapa ada hadits-hadits sohih yang
menggambarkan bahwa Rasulullah saw itu tidak melarang orang yang sedang
melakukan musik atau nyanyian itu di dekat beliau? (silakan cari dan lihat
karangan para ulama yang tidak mengharamkan musik dan nyanyian, Anda akan
menemukan dalil-dalil tentang itu di sana).
<<Bisa juga Anda baca artikel
berikut di blog ini (klik):
Anda haramkan orang
untuk mencicipi hidangan yang diletakkan tuan rumah pada acara kenduri
kematian, sudah benarkah pendapat Anda itu? Tidakkah Anda sudah terjerumus pada
mengharamkan sesuatu yang halal? Mohon dicek lagi sikap-sikap Anda yang seperti
itu agar jangan sampai Anda terjerumus ke dalam salah-satu bentuk dari syirik
yang nomer 3 ini, yakni mengharamkan yang halal.
Pada pilkada DKI 2017
kemarin, saya juga khawatir dengan orang-orang yang telah menghalalkan memilih
pemimpin yang non muslim padahal paslon yang muslim itu ada. Bukankah memilih
pemimpin yang kafir itu sudah jelas-jelas Allah larang di banyak ayat al-Quran
(QS.3:28, QS.3:149, QS.4:138-139, QS.5:51, dan masih banyak lagi yang lainnya)?
Lalu kenapa engkau masih saja menghalalkannya? Kenapa engkau berani
menghalalkan apa yang telah Allah haramkan? Tidak takutkah engkau jatuh ke
lembah syirik yang merupakan dosa paling besar yang akan mengakibatkan
terhapusnya seluruh amal kebaikanmu di sisi Allah? Sekali lagi saya ingatkan: menghalalkan
yang haram itu juga tergolong syirik. Jadi berhati-hatilah wahai para
saudaraku sekalian, dan bertaubatlah kalian benar-benar wahai orang-orang yang
sudah terlanjur selagi engkau masih diberi kesempatan hidup oleh Allah swt
sekarang ini.
Bersambung ke bagian 2 (klik)
(Buya Amin/Media
Muslim)
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...