Thursday, 11 May 2017

Hakekat Syirik, Bentuk, dan Macamnya (Non Wahabi) (3)



Ini adalah bagian terakhir dari 3 tulisan. Jika Anda belum membaca bagian pertama dan keduanya, maka silakan klik di sini: bagian 1 ;  bagian 2

Baiklah, kita lanjutkan. Yang termasuk perkara syirik lainnya adalah:

5) Menganggap ada orang atau sesuatu yang setara atau sama persis dengan Allah, baik dalam keseluruhan sifat/kemampuan Allah ataupun dalam sebagiannya.

Contoh: misalkan Anda mengetahui seseorang yang sakti, katakanlah ia bernama si C. Anda menganggap si C punya kemampuan mengetahui segala sesuatu. Anda meyakini bahwa apapun yang Anda lakukan, apapun yang Anda pikirkan, apapun yang Anda ucapkan di dalam hati Anda, di mana pun dan kapan pun, pasti akan diketahui oleh si C itu karena saking saktinya dia. Maka jika seperti ini keyakinan Anda tentang si C itu, berarti secara sadar atau pun tidak, Anda telah menganggap si C setara dengan Allah. Ini adalah syirik, meskipun dalam hal kemampuan yang lain Anda tidak menganggap si C sampai sehebat itu.


Akan tetapi jika Anda sekedar menganggap bahwa si C punya kelebihan dalam hal mengetahui sesuatu, tetapi tetap berkeyakinan bahwa kelebihannya itu pasti tidak akan sehebat Allah. Dia pasti tidak akan mampu mengetahui segala sesuatu. Dia pasti tidak akan selalu tahu tentang apa yang Anda rasakan, Anda pikirkan, Anda ucapkan dalam hati, dan lain sebagainya, maka ini tidaklah syirik.

Berlebihnya kemampuan seseorang di dalam suatu hal jika dibandingkan dengan orang-orang lainnya, adalah hal yang mungkin terjadi di dunia ini. Tetapi jangan sampai kita menganggap kelebihannya itu akan setara dengan Allah. Kemampuannya itu pasti tidak akan sehebat Allah. Kemampuannya itu juga pasti tidak akan permanen dan berdiri sendiri, akan tetapi hanya selalu bergantung kepada kehendak dan izin Allah. Jadi jika Allah menghendaki, bisa saja suatu saat kemampuan atau kelebihan dia itu menjadi hilang atau berkurang.

Begitu juga di dalam hal sifat-sifat manusia. Ada manusia yang sifat penyantun atau penyayangnya itu luar biasa jika dibandingkan dengan manusia-manusia lain pada umumnya. Contohnya adalah Rasulullah saw. Beliau amat penyantun dan penyayang kepada orang-orang beriman. Dalam Alquran surat at-Taubah ayat 128 Allah menyebut sifat Rasulullah saw ini dengan rauf dan rohim padahal Allah swt juga bersifat rauf dan rahim. Apakah ini syirik? Kalau syirik, tidak mungkin Allah menyebut seperti itu kepada Rasulullah saw karena Rasulullah juga adalah seorang makhluk.

Jadi penyamaan yang syirik itu adalah penyamaan yang setara atau sama persis. Kita sebagai bangsa Indonesia dalam hal ini punya kelebihan jika dibandingkan dengan bangsa Arab. Bahasa kita (bahasa Indonesia) memungkinkan kita untuk mengungkapkan kelebihan atau penyamaan dengan tetap menghindari penyetaraan/sama persis. Untuk manusia/makhluk, kita bisa menggunakan kata amat/sangat, sedangkan untuk Allah, kita bisa menggunakan kata Maha.

Contoh: Untuk mengungkapkan kelebihan Rasulullah dalam hal sifat  penyantun dan penyayang nya, kita bisa mengatakan: “Rasulullah itu amat penyantun dan amat penyayang kepada orang-orang beriman”. Sedangkan untuk Allah, kita akan mengatakan: “Allah itu bersifat  Maha Penyantun dan Maha Penyayang”. Jadi penyamaannya tercapai (sama-sama penyantun dan penyayang), tetapi penyetaraannya terhindari (karena si makhluk menggunakan kata  amat, sedangkan Allah menggunakan kata Maha) sehingga jelas tidak bernilai syirik.

Akan tetapi kalau dalam bahasa Arab, tidak begitu. Kata “amat penyantun” dengan kata “Maha Penyantun”, sama-sama diungkapkan dengan kata rauf (رَءُوْف). Sedangkan kata “amat penyayang” dan kata “Maha Penyayang”, sama-sama diungkapkan dengan kata rohim (رَحِيْم). Sehingga untuk menentukan syirik atau tidaknya, benar-benar bergantung kepada keyakinan atau i’tiqad yang terdapat di dalam hati orang yang bersangkutan. Orang yang mendengar tidak bisa menentukan langsung atau memvonis langsung apakah si penyebutnya itu syirik atau tidak.

Contoh: Ketika si D, misalnya, menyebut kalimat: زَيْدٌ رَحِيْمٌ, maka si pendengar atau si pembaca tidak akan bisa langsung menentukan apakah si D itu bermaksud mengatakan bahwa Zaid itu Maha Penyayang (sehingga bernilai syirik), atau sekedar menyatakan bahwa Zaid itu amat penyayang (sifat penyayangnya amat menonjol atau lebih besar jika dibandingkan dengan orang lain) sehingga tidak bernilai syirik. Sebab kedua arti itu mungkin untuk kalimat tersebut. Jadi nilai syirik atau tidaknya kalimat tersebut, benar-benar bergantung kepada maksud atau keyakinan yang ada di hati si D ketika menyebut atau menuliskannya.

Di sinilah saya rasa permasalahannya sehingga kadang-kadang ada sebagian orang yang salah paham dan menuduh-nuduh syirik terhadap tulisan atau syair-syair ulama Arab yang memuji-muji Rasulullah saw. Padahal sang ulama itu hanya memuji Rasulullah dengan sifat-sifat yang pantas dan memang ada pada beliau saw seperti sifat rauf dan rahim tadi. Tetapi karena sifat-sifat tersebut juga ada pada Allah swt dan si penuduh ini bodoh tentang ilmu tauhid dan syirik yang benar, maka ia sembrono dan berani saja menuduh-nuduh sang ulama itu telah melakukan kesyirikan.

Sesungguhnya istilah “Tauhid Asma wa Sifat” itu sudah bagus. Hanya saja sayang, dalam sebagian pemahaman atau konsepnya, ternyata mereka mengalami kekurangan atau kekeliruan.

6) Mengadakan tandingan bagi Allah

Allah berfirman: “ ...karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah: 22)

Ibnu Mas’ud pernah bertanya kepada Rasulullah saw:
“Ya Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?
Rasul menjawab: “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Dia lah yang telah menciptakanmu?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Contoh mengadakan tandingan bagi Allah, misalnya, adalah sebagaimana yang tergambar dalam hadits berikut:
Ada seseorang yang berkata kepada Nabi: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka Nabi bersabda: “Apakah engkau akan menjadikan aku tandingan bagi Allah? Katakanlah: ‘atas kehendak Allah saja’” (HR. Ibnu Majah dan lainnya)

Bagaimana hubungannya dengan apa yang telah dijelaskan pada poin nomer 1 (di bagian 1 dari tulisan ini) bahwa bukankah menyebutkan kalimat majazi itu dibolehkan?

Benar, kita telah menerangkan bahwa menyebut kalimat yang bernilai majazi itu diperbolehkan selama ia sesuai dengan apa yang terlihat atau diketahui secara zahir. Akan tetapi hendaknya janganlah kalimat majazi itu disebutkan mengiringi kalimat yang bernilai hakiki, karena akan menimbulkan kerancuan dan kebingungan terutama bagi pendengar yang masih awam tingkat pemahaman ilmu tauhidnya. Dengan kata lain, dikhawatirkan kalimat yang benilai majazi itu akan juga dianggap bernilai hakiki sehingga terkesan menjadikan tandingan bagi Allah swt.

Jadi, kalau Anda sudah mengatakan misalnya: “Istri saya yang membuat kue ini tadi pagi” (kalimat yang bernilai majazi), janganlah kemudian Anda iringi kalimat itu dengan kalimat hakiki: “dan juga Allah” walaupun di dalam keyakinan Anda jelas perbedaannya akan yang mana yang hakiki dan yang mana yang majazi. Sebab hal itu tidak perlu dan memang akan menimbulkan kesan mengadakan tandingan bagi Allah.

Demikian pula sebaliknya. Kalau Anda sedang mengatakan sebuah kalimat yang bernilai hakiki, maka janganlah Anda iringi kalimat itu dengan kalimat yang bernilai majazi. Sebab juga dapat menimbulkan kerancuan pemahaman bagi yang mendengarnya dan terkesan mengadakan tandingan bagi Allah.

Contoh, kalau Anda sudah mengucapkan: “Yang memberi makan ikan-ikan di kolam ini adalah Allah” (ini kalimat hakiki), janganlah Anda iringi pula dengan kalimat majazi: “dan juga saya”. Sebab akan menimbulkan kerancuan dan dapat menyebabkan terjerumus ke dalam mengadakan tandingan bagi Allah.

Dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa termasuk menjadikan tandingan bagi Allah adalah ucapan: “Demi Allah dan demi hidupmu serta demi hidupku, wahai fulan”.

7) Meyakini bahwa ada sesuatu yang wujud, atau dapat berbuat, atau memberi pengaruh secara merdeka dari Allah (artinya, terlepas dari kehendak, pengetahuan, atau izin dan kekuasaan Allah)

Tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari kehendak, pengetahuan, ataupun dari izin dan kekuasaan Allah. Tidak ada satupun. Baik manusia atau jin. Baik setan atau malaikat. Baik makhluk hidup atau benda mati. Baik yang bergerak atau diam. Semuanya selalu berada di dalam kekuasaan Allah. Semuanya selalu berada di dalam pengetahuan dan pengawasan Allah. Semuanya terjadi dan ada (ataupun tiada) dengan izin, kehendak, dan kekuasaan Allah swt.

Bahkan yang sebenarnya adalah: tak ada makhluk yang bisa berbuat, tak ada makhluk yang bisa berpengaruh, bahkan tak ada makhluk yang wujud (sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian 1 di poin nomer 1 tentang pandangan tauhid).

Yang berbuat sebenarnya hanya Allah. Yang berpengaruh sebenarnya hanya Allah. Karena yang wujud sebenarnya hanya Allah.

Maka tak ada sesungguhnya obat yang dapat menyembuhkan. Yang menyembuhkan hanya Allah. Tak ada api yang dapat membakar. Yang membakar hanya Allah. Tak ada pisau yang melukai. Yang melukai hanya Allah. Dan begitulah seterusnya pada berbagai hal. Alam tak punya kekuatan apa-apa. Yang punya kekuatan hanyalah Allah. Bahkan mereka tak satupun yang wujud. Yang wujud sesungguhnya hanyalah Allah.

Oleh karena itu, jika meyakini bahwa ada sesuatu yang wujud selain Allah saja sudah tergolong syirik,  maka apakah lagi jika meyakini bahwa ada suatu benda atau makhluk yang dapat terlepas/merdeka dari Allah? Tentu lebih besar lagi nilai syiriknya.

Allah berfirman: “Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. al-Baqarah: 20)

Saya rasa hal ini sudah cukup jelas dan tidak perlu lagi untuk diterangkan secara lebih panjang lebar.

Demikianlah perkara-perkara syirik yang harus kita ketahui. Semua yang di atas itu adalah syirik besar yang dapat menghapuskan semua amal manusia yang bersangkutan dan menyebabkan dia keluar dari Islam jika ia mati di dalamnya (mati sebelum bertaubat darinya, bagi yang pernah melakukan atau terjerumus).

Di samping itu, masih ada lagi yang dinamakan dengan syirik kecil, yakni beramal-ibadah kepada Allah tetapi bukan karena Allah, alias riya’ (beramal karena mengharapkan balasan atau pujian dari orang lain/makhluk). Syirik kecil ini tidak mengeluarkan orang dari Islam, akan tetapi juga berbahaya dan juga harus dihindari. Sebab amal-ibadah yang dilakukan dengan riya’ itu tidak akan berpahala alias tidak diterima oleh Allah swt.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang menurutku lebih aku khawatirkan menimpamu dibandingkan Al-Masih Ad-Dajjal?’
Para sahabat menjawab: “Ya, mau, ya Rasulallah”
Beliau melanjutkan: “Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri melakukan shalat, dia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada orang yang memperhatikannya”. (H.R. Ahmad)

Semoga risalah kecil ini dapat dipahami dan bermanfaat. Walhamdulillahi Robbil alamin.
(Buya Amin/Media Muslim)

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...