Ini adalah bagian
terakhir dari 3 tulisan. Jika Anda belum membaca bagian pertama dan keduanya,
maka silakan klik di sini: bagian 1 ; bagian 2
Baiklah, kita
lanjutkan. Yang termasuk perkara syirik lainnya adalah:
5) Menganggap
ada orang atau sesuatu yang setara atau sama persis dengan Allah, baik dalam
keseluruhan sifat/kemampuan Allah ataupun dalam sebagiannya.
Contoh: misalkan Anda
mengetahui seseorang yang sakti, katakanlah ia bernama si C. Anda menganggap si
C punya kemampuan mengetahui segala sesuatu. Anda meyakini bahwa apapun yang
Anda lakukan, apapun yang Anda pikirkan, apapun yang Anda ucapkan di dalam hati
Anda, di mana pun dan kapan pun, pasti akan diketahui oleh si C itu karena
saking saktinya dia. Maka jika seperti ini keyakinan Anda tentang si C itu,
berarti secara sadar atau pun tidak, Anda telah menganggap si C setara dengan
Allah. Ini adalah syirik, meskipun dalam hal kemampuan yang lain Anda tidak
menganggap si C sampai sehebat itu.
Akan tetapi jika Anda
sekedar menganggap bahwa si C punya kelebihan dalam hal mengetahui sesuatu,
tetapi tetap berkeyakinan bahwa kelebihannya itu pasti tidak akan sehebat
Allah. Dia pasti tidak akan mampu mengetahui segala sesuatu. Dia pasti tidak
akan selalu tahu tentang apa yang Anda rasakan, Anda pikirkan, Anda ucapkan
dalam hati, dan lain sebagainya, maka ini tidaklah syirik.
Berlebihnya kemampuan
seseorang di dalam suatu hal jika dibandingkan dengan orang-orang lainnya,
adalah hal yang mungkin terjadi di dunia ini. Tetapi jangan sampai kita
menganggap kelebihannya itu akan setara dengan Allah. Kemampuannya itu pasti
tidak akan sehebat Allah. Kemampuannya itu juga pasti tidak akan permanen dan
berdiri sendiri, akan tetapi hanya selalu bergantung kepada kehendak dan izin
Allah. Jadi jika Allah menghendaki, bisa saja suatu saat kemampuan atau
kelebihan dia itu menjadi hilang atau berkurang.
Begitu juga di dalam
hal sifat-sifat manusia. Ada manusia yang sifat penyantun atau penyayangnya itu
luar biasa jika dibandingkan dengan manusia-manusia lain pada umumnya.
Contohnya adalah Rasulullah saw. Beliau amat penyantun dan penyayang kepada
orang-orang beriman. Dalam Alquran surat at-Taubah ayat 128 Allah menyebut
sifat Rasulullah saw ini dengan rauf dan rohim padahal Allah swt
juga bersifat rauf dan rahim. Apakah ini syirik? Kalau syirik,
tidak mungkin Allah menyebut seperti itu kepada Rasulullah saw karena
Rasulullah juga adalah seorang makhluk.
Jadi penyamaan yang
syirik itu adalah penyamaan yang setara atau sama persis. Kita sebagai bangsa
Indonesia dalam hal ini punya kelebihan jika dibandingkan dengan bangsa Arab.
Bahasa kita (bahasa Indonesia) memungkinkan kita untuk mengungkapkan kelebihan
atau penyamaan dengan tetap menghindari penyetaraan/sama persis. Untuk
manusia/makhluk, kita bisa menggunakan kata amat/sangat, sedangkan untuk
Allah, kita bisa menggunakan kata Maha.
Contoh: Untuk
mengungkapkan kelebihan Rasulullah dalam hal sifat penyantun dan penyayang nya, kita bisa
mengatakan: “Rasulullah itu amat penyantun dan amat penyayang kepada
orang-orang beriman”. Sedangkan untuk Allah, kita akan mengatakan: “Allah itu
bersifat Maha Penyantun dan Maha Penyayang”.
Jadi penyamaannya tercapai (sama-sama penyantun dan penyayang), tetapi
penyetaraannya terhindari (karena si makhluk menggunakan kata amat, sedangkan Allah menggunakan kata Maha)
sehingga jelas tidak bernilai syirik.
Akan tetapi kalau dalam
bahasa Arab, tidak begitu. Kata “amat penyantun” dengan kata “Maha Penyantun”,
sama-sama diungkapkan dengan kata rauf (رَءُوْف).
Sedangkan kata “amat penyayang” dan kata “Maha Penyayang”, sama-sama
diungkapkan dengan kata rohim (رَحِيْم).
Sehingga untuk menentukan syirik atau tidaknya, benar-benar bergantung kepada
keyakinan atau i’tiqad yang terdapat di dalam hati orang yang bersangkutan.
Orang yang mendengar tidak bisa menentukan langsung atau memvonis langsung
apakah si penyebutnya itu syirik atau tidak.
Contoh: Ketika si D,
misalnya, menyebut kalimat: زَيْدٌ رَحِيْمٌ, maka si pendengar atau si pembaca tidak akan bisa langsung menentukan
apakah si D itu bermaksud mengatakan bahwa Zaid itu Maha Penyayang (sehingga
bernilai syirik), atau sekedar menyatakan bahwa Zaid itu amat penyayang
(sifat penyayangnya amat menonjol atau lebih besar jika dibandingkan dengan
orang lain) sehingga tidak bernilai syirik. Sebab kedua arti itu mungkin untuk
kalimat tersebut. Jadi nilai syirik atau tidaknya kalimat tersebut, benar-benar
bergantung kepada maksud atau keyakinan yang ada di hati si D ketika menyebut
atau menuliskannya.
Di sinilah saya rasa permasalahannya sehingga
kadang-kadang ada sebagian orang yang salah paham dan menuduh-nuduh syirik
terhadap tulisan atau syair-syair ulama Arab yang memuji-muji Rasulullah saw.
Padahal sang ulama itu hanya memuji Rasulullah dengan sifat-sifat yang pantas
dan memang ada pada beliau saw seperti sifat rauf dan rahim tadi.
Tetapi karena sifat-sifat tersebut juga ada pada Allah swt dan si penuduh ini
bodoh tentang ilmu tauhid dan syirik yang benar, maka ia sembrono dan berani
saja menuduh-nuduh sang ulama itu telah melakukan kesyirikan.
Sesungguhnya istilah “Tauhid Asma wa Sifat” itu sudah
bagus. Hanya saja sayang, dalam sebagian pemahaman atau konsepnya, ternyata
mereka mengalami kekurangan atau kekeliruan.
6) Mengadakan tandingan bagi Allah
Allah berfirman: “ ...karena itu, janganlah kamu
mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah padahal kamu mengetahui” (QS.
al-Baqarah: 22)
Ibnu Mas’ud pernah bertanya kepada Rasulullah saw:
“Ya Rasulullah, dosa apakah yang paling besar di sisi
Allah?
Rasul menjawab: “Engkau menjadikan tandingan bagi
Allah padahal Dia lah yang telah menciptakanmu?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh mengadakan tandingan bagi Allah, misalnya,
adalah sebagaimana yang tergambar dalam hadits berikut:
Ada seseorang yang berkata kepada Nabi: “Atas kehendak
Allah dan kehendakmu”. Maka Nabi bersabda: “Apakah engkau akan menjadikan aku
tandingan bagi Allah? Katakanlah: ‘atas kehendak Allah saja’” (HR. Ibnu Majah
dan lainnya)
Bagaimana hubungannya dengan apa yang telah dijelaskan
pada poin nomer 1 (di bagian 1 dari tulisan ini) bahwa bukankah menyebutkan
kalimat majazi itu dibolehkan?
Benar, kita telah menerangkan bahwa menyebut kalimat
yang bernilai majazi itu diperbolehkan selama ia sesuai dengan apa yang
terlihat atau diketahui secara zahir. Akan tetapi hendaknya janganlah kalimat
majazi itu disebutkan mengiringi kalimat yang bernilai hakiki, karena akan
menimbulkan kerancuan dan kebingungan terutama bagi pendengar yang masih awam
tingkat pemahaman ilmu tauhidnya. Dengan kata lain, dikhawatirkan kalimat yang
benilai majazi itu akan juga dianggap bernilai hakiki sehingga terkesan
menjadikan tandingan bagi Allah swt.
Jadi, kalau Anda sudah mengatakan misalnya: “Istri
saya yang membuat kue ini tadi pagi” (kalimat yang bernilai majazi), janganlah
kemudian Anda iringi kalimat itu dengan kalimat hakiki: “dan juga Allah”
walaupun di dalam keyakinan Anda jelas perbedaannya akan yang mana yang hakiki
dan yang mana yang majazi. Sebab hal itu tidak perlu dan memang akan
menimbulkan kesan mengadakan tandingan bagi Allah.
Demikian pula sebaliknya. Kalau Anda sedang mengatakan
sebuah kalimat yang bernilai hakiki, maka janganlah Anda iringi kalimat itu dengan
kalimat yang bernilai majazi. Sebab juga dapat menimbulkan kerancuan pemahaman
bagi yang mendengarnya dan terkesan mengadakan tandingan bagi Allah.
Contoh, kalau Anda sudah mengucapkan: “Yang memberi
makan ikan-ikan di kolam ini adalah Allah” (ini kalimat hakiki), janganlah Anda
iringi pula dengan kalimat majazi: “dan juga saya”. Sebab akan menimbulkan
kerancuan dan dapat menyebabkan terjerumus ke dalam mengadakan tandingan bagi
Allah.
Dalam tafsir Ibnu
Katsir diterangkan bahwa termasuk menjadikan tandingan bagi Allah adalah
ucapan: “Demi Allah dan demi hidupmu serta demi hidupku, wahai fulan”.
7) Meyakini
bahwa ada sesuatu yang wujud, atau dapat berbuat, atau memberi pengaruh secara
merdeka dari Allah (artinya, terlepas dari kehendak, pengetahuan, atau izin dan
kekuasaan Allah)
Tidak ada sesuatu pun
yang terlepas dari kehendak, pengetahuan, ataupun dari izin dan kekuasaan
Allah. Tidak ada satupun. Baik manusia atau jin. Baik setan atau malaikat. Baik
makhluk hidup atau benda mati. Baik yang bergerak atau diam. Semuanya selalu
berada di dalam kekuasaan Allah. Semuanya selalu berada di dalam pengetahuan
dan pengawasan Allah. Semuanya terjadi dan ada (ataupun tiada) dengan izin,
kehendak, dan kekuasaan Allah swt.
Bahkan yang sebenarnya
adalah: tak ada makhluk yang bisa berbuat, tak ada makhluk yang bisa
berpengaruh, bahkan tak ada makhluk yang wujud (sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bagian 1 di poin nomer 1 tentang pandangan tauhid).
Yang berbuat sebenarnya
hanya Allah. Yang berpengaruh sebenarnya hanya Allah. Karena yang wujud
sebenarnya hanya Allah.
Maka tak ada
sesungguhnya obat yang dapat menyembuhkan. Yang menyembuhkan hanya Allah. Tak
ada api yang dapat membakar. Yang membakar hanya Allah. Tak ada pisau yang
melukai. Yang melukai hanya Allah. Dan begitulah seterusnya pada berbagai hal.
Alam tak punya kekuatan apa-apa. Yang punya kekuatan hanyalah Allah. Bahkan
mereka tak satupun yang wujud. Yang wujud sesungguhnya hanyalah Allah.
Oleh karena itu, jika
meyakini bahwa ada sesuatu yang wujud selain Allah saja sudah tergolong syirik,
maka apakah lagi jika meyakini bahwa ada
suatu benda atau makhluk yang dapat terlepas/merdeka dari Allah? Tentu lebih
besar lagi nilai syiriknya.
Allah berfirman: “Sungguh
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. al-Baqarah: 20)
Saya rasa hal ini sudah
cukup jelas dan tidak perlu lagi untuk diterangkan secara lebih panjang lebar.
Demikianlah
perkara-perkara syirik yang harus kita ketahui. Semua yang di atas itu adalah syirik
besar yang dapat menghapuskan semua amal manusia yang bersangkutan dan
menyebabkan dia keluar dari Islam jika ia mati di dalamnya (mati sebelum
bertaubat darinya, bagi yang pernah melakukan atau terjerumus).
Di samping itu, masih
ada lagi yang dinamakan dengan syirik kecil, yakni beramal-ibadah kepada
Allah tetapi bukan karena Allah, alias riya’ (beramal karena
mengharapkan balasan atau pujian dari orang lain/makhluk). Syirik kecil ini
tidak mengeluarkan orang dari Islam, akan tetapi juga berbahaya dan juga harus
dihindari. Sebab amal-ibadah yang dilakukan dengan riya’ itu tidak akan
berpahala alias tidak diterima oleh Allah swt.
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Maukah
aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang menurutku lebih aku
khawatirkan menimpamu dibandingkan Al-Masih Ad-Dajjal?’
Para
sahabat menjawab: “Ya, mau, ya Rasulallah”
Beliau
melanjutkan: “Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri melakukan
shalat, dia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada orang yang
memperhatikannya”. (H.R. Ahmad)
Semoga risalah kecil
ini dapat dipahami dan bermanfaat. Walhamdulillahi Robbil alamin.
(Buya Amin/Media
Muslim)
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...