Kematian selalu datang dengan berbagai wajah. Tapi ia
hanya tersenyum kepada para pemberani.
* * *
Saya tidak mengenal Mbok Patmi.
Ketika tiba di kantor YLBHI, larut malam 20 Maret
kemarin, yang saya lakukan adalah langsung menuju lantai tiga. Bergabung dengan
diskusi yang sedang berlangsung. Sesekali menyapa beberapa orang yang saya
kenal, menghisap rokok dan selebihnya menyimak.
Lantai dasar gedung penuh dan cenderung sesak. Selain
mereka yang sedang protes, ada para relawan dan mereka yang datang menunjukkan
solidaritas. Salah satu ruang pertemuan di lantai bawah diubah menjadi kamar.
Masih segar di ingatan bagaimana nada semangat Merah
Johansyah bicara soal kejahatan finansial Bank Mandiri. Juga suara-suara lain
yang menawarkan diri berbagi peran. Mereka kelelahan, tapi semangat jelas masih
ada. Ini campuran sulit. Apalagi jika kondisi fisikmu telah digerus beberapa
hari sebelumnya. Mata mereka buktinya.
Di salah satu sudut, Sobirin, Direktur Yayasan
Desantara, bahkan tampak seperti mayat hidup. Tubuhnya bersandar di dinding
dengan kelopak mata yang menggantung setengah. Ia tampak seperti tahanan di
Guantanamo yang baru saja keluar dari ruang interogasi.
Di sampingnya, duduk Dhyta Caturani. Sepasang kakinya
masih terpasung. Dari balik kacamata, saya bisa menerka bahwa Dhyta kurang
tidur. Tapi ia masih tersenyum, sesekali ikut menanggapi diskusi dan bertahan
hingga pembicaraan benar-benar selesai.
Sebelah kiri saya, Ali Nursahid juga duduk dengan
berselonjor. Wajahnya mengingatkan saya dengan potret para romusha di masa
kolonialisme Jepang. Juga ada Eggy Yunaedi, Muh. Azka Fahriza, Ndaru, Ical dan
mereka lain yang saya jumpai di aksi #DipasungSemen jilid pertama.
Hampir setahun lalu. Tepatnya, sebelas bulan lampau. Ini jenis reuni paling konyol yang sebenarnya cenderung saya hindari. Bertemu lagi karena kondisi masyarakat di mana masing-masing kami bersolidaritas justru tak kunjung membaik.
Usai diskusi, saya segera bergeser ke lantai bawah.
Bersama tiga orang kawan lagi, ada hal yang harus kami obrolkan. Saat diskusi,
Joko Prianto, tiba-tiba muncul. Ia baru bangun. Tersenyum salah tingkah persis
seperti anak SD yang kedapatan lelap di dalam kelas. Mengaku hanya bersandar
dan menutup mata sejenak di tengah jadwal jaga peserta aksi pasung semen, ia
tiba-tiba lelap untuk beberapa saat sebelum akhirnya terjaga.
Kami lalu bersalaman. Jabat tangannya erat. Masih
seperti biasanya. Penuh keyakinan. Ali Nursahid mencandainya. Lelucon terasa
begitu penting di periode melelahkan seperti ini. Masa di mana dua puluh jam
terasa kurang, dan dini hari terasa lebih panjang dan perih di sudut mata.
Di momen seperti ini, tidur lelap adalah kemewahan.
* * *
Saya tidak mengenal Mbok Patmi.
Tapi di ingatan saya mengenai perjuangan Kendeng
menolak berdirinya pabrik semen selama ini didominasi wajah-wajah perempuan.
Wajah-wajah penuh semangat, penuh cinta, penuh harapan, penuh senyum.
Wajah-wajah yang dapat digunakan oleh kita meneropong masa depan.
Mbok Patmi pasti adalah salah satu di antaranya.
April 2015, perempuan-perempuan ini datang ke depan
Istana Presiden. Mengusung lesung dan membunyikannya. Mengirimkan tanda bahaya
ke Presiden dengan cara yang mereka ketahui.
Bahwa ekstraksi karst bukan hanya menghancurkan sawah
sebagai lumbung pangan. Tapi juga mengancam cadangan air yang tidak hanya
mengairi lahan pertanian, juga menjadi sumber air minum bagi warga di desa-desa
sekitar. Akses terhadap air bersih gratis yang diwariskan turun temurun sejak
masa leluhur mereka beratus tahun lampau.
Membunyikan lesung adalah upaya menjangkau telinga
presiden yang di tahun sebelumnya baru terpilih. Ia yang terpilih dengan
tumpukan janji-janji. Aksi ini berlangsung setelah sebulan sebelumnya, menyerbu
UGM. Para petani mengkritik para ilmuwan di kampus Gadjah Mada yang
menggadaikan diri dengan fatwa ilmiah palsu untuk membela pabrik semen.
Setahun kemudian, di bulan yang sama. Sembilan
perempuan datang dengan harapan yang makin menebal bahwa rencana pembangunan
pabrik semen harus dihentikan. Mereka tiba dengan perumpamaan. Menyemen kaki
sebagai tanda bahasa bagaimana tubuh akan tersiksa jika pegunungan Kendeng
tetap dihancurkan. Bahwa tidak ada tuntutan lain dari para petani dan sedulur
Kendeng selain berhentinya rencana penambangan karst untuk operasi semen.
Aksi #DipasungSemen kali pertama dicibir luas warga
kota.
Terutama mereka yang sejak awal tidak mengikuti
bagaimana perjuangan ini dirintis, bertahan secara swadaya dan berhasil
meluaskan solidaritasnya. Orang-orang yang bicara soal ancaman amputasi kaki
sembilan perempuan yang memasung diri di depan istana, tapi matanya tak mampu
melihat amputasi total kehidupan generasi di kehidupan mendatang. Sinisme yang
lahir akibat ketidakmampuan membaca bagaimana hidup bergerak, dipertaruhkan dan
dipertahankan dengan gagah berani.
Mereka menuduh bahwa perempuan-perempuan pemberani
yang memasung kaki sedang dimanfaatkan segelintir orang. Tuduhan yang datang
karena ketidakpahaman apa itu kemerdekaan dan bagaimana berjuang
mempertahankannya. Mulut-mulut itu berlomba merendahkan perjuangan memasung
kaki di depan istana tanpa sadar bahwa yang mereka hina adalah akal sehat
mereka sendiri.
Cibiran terhadap #DipasungSemen kali pertama
menyadarkan saya satu hal. Hampir mustahil menjelaskan soal-soal perjuangan
mempertahankan tanah kepada mereka yang memiliki ukuran otak tak sempurna. Yang
besarnya jauh lebih kecil dari punya simpanse.
Aksi ini selesai di hari ketiga ketika Teten Masduki
dan Pratikno--dua pejabat setara menteri, datang dan berjanji atas nama
presiden. Bahwa pesan mereka sampai dengan selamat meski lambat. Penguasa
memutuskan akan menerima perwakilan para petani di istana di waktu yang akan
diatur kemudian. Pertemuan itu benar terlaksana, meski agak molor.
Di akhir tahun lalu, ketika keputusan Mahkamah Agung
(MA) memenangkan gugatan, mereka berjalan lebih dari seratus kilometer. Berarak
dengan senyum dan penuh semangat menjemput kemenangan.
MA mengabulkan gugatan Peninjauan Kembali (PK) yang
diajukan warga pegunungan Kendeng di Rembang, Jawa Tengah.
Gugatan dicatat atas nama Joko Prianto dan Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI). PK ini mempersoalkan tentang Surat Keputusan (SK)
Gubernur Jawa Tengah terkait izin lingkungan kepada PT Semen Gresik (Persero)
yang kini berganti nama menjadi PT Semen Indonesia. Izin lingkungan bernomor
668/1/17 tahun 2012. Ditandatangani Gubernur Jawa Tengah saat itu, Bibit
Waluyo, pada 7 Juni 2012. MA memutuskan putusan judex facti, dan membatalkan
obyek sengketa (izin lingkungan dan pertambangan PT Semen Indonesia) yang
berlokasi di Rembang.
Tapi menang di jalur hukum, justru tak membuat
penguasa bergeming.
Ganjar Pranowo dengan licik mengakali hukum dan mengeluarkan
ijin lingkungan baru. Artinya, sang Gubernur tetap berkeras bahwa pabrik semen
harus beroperasi. Apapun harganya dan bagaimanapun caranya.
Inilah alasan mengapa para petani kembali ke Jakarta.
Kembali memasung kaki di depan istana dan meminta presiden
mengambil sikap tegas. Menghormati hukum, menghormati tuntutan para sedulur
Kendeng, menyelamatkan lingkungan dan memastikan anak cucu tidak akan mati
berkalang semen. Aksi kali ini tidak lagi hanya sembilan orang dan hanya
perempuan. Hingga Senin, 20 Maret 2017, sudah ada 50 orang, laki-laki dan
perempuan dari berbagai rentang umur, menyemen kaki sebagai bentuk protes.
Sore itu, mereka mendapatkan jawaban dari Kantor Staf
Presiden. Teten Masduki mengundang perwakilan peserta aksi untuk bertemu. Tapi
hasil pertemuan mengecewakan bagi para petani.
Negara sekali lagi, meludahi perjuangan warganya
mempertahankan hidup.
Tapi para sedulur Kendeng enggan mundur. Strategi baru
diluncurkan. Aksi tetap berlanjut dengan sembilan orang perwakilan. Sisanya, akan
kembali pulang ke desa dan terus berjuang.
Mbok Patmi salah satunya. Pasung semen di kakinya
kemudian dibongkar. Meski ia tetap bersikeras untuk tidak pulang dan
melanjutkan aksi di depan istana. Perempuan yang hampir berumur setengah abad
ini tak mau menyerah. Ia tak mau tunduk pada tipu muslihat korporasi dan
negara.
Hingga saat jarum jam baru bergeser kurang dari dua
ratus menit di hari Selasa ketika kabar itu tiba. Mbok Patmi menghembuskan
nafas sebagai martir perjuangan. Serangan jantung merenggutnya.
Karena negara tak kunjung memalingkan wajah.
* * *
Ada selaksa cara untuk mati. Begitu juga hidup. Dan
mereka yang berjuang sepenuh hati ketika hidup, akan dijemput kematian dengan
takzim dan penuh hormat. Saya yakin, kematian tersenyum hormat ketika menjemput
mbok Patmi.
Sumber:
https://m.kumparan.com/andre-barahamin/kematian-yang-tersenyum-hormat
Judul
Asli: Kematian Yang Tersenyum Hormat
Oleh: Andre
Barahamin
Diposkan:
Rabu, 22 Maret 2017
Diakses:
23 Maret 2017
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...