Tapi
yuk, mari kita merenung sebentar. Ada apa di balik fenomena pemimpin yang zalim
ini? Kenapa Allah izinkan seorang pemimpin yang zalim menjadi penguasa pada
suatu kaum? Ternyata jawabannya adalah karena kesalahan dan dosa-dosa dari kaum
itu sendiri.
Pemimpin
adalah gambaran dari rakyatnya.
Ini
adalah ungkapan yang telah teruji kebenarannya, sesuai dengan firman-firman
Allah di Al-Quran, dan memang telah Allah buktikan pada setiap masa dari
generasi-generasi manusia.
Fir’aun
adalah pemimpin yang zalim. Tapi tahukan Anda apa kata Allah tentang Fir’aun di
Al-Quran? Perhatikan surat Az-Zukhruf ayat 54=
“Maka
(Fir’aun) dengan perkataan itu telah mempengaruhi kaumnya, sehingga mereka
patuh kepadanya. Sungguh, mereka adalah kaum yang fasik” (QS.
Az-Zukhruf/43: 54)
Perhatikanlah.
Ternyata Fir’aun naik menjadi pemimpin adalah di tengah-tengah kaum yang fasik.
Pemimpin adalah gambaran dari rakyatnya.
Terbukti ketika Allah utus Nabi Musa kepada mereka,
mereka banyak sekali membantah dan menyusahkan Nabi Musa. Disuruh ini, malah
melakukan itu. Dikasi ini, malah meminta yang itu. Begitulah keadaan Bani
Israil, rakyat di mana Allah izinkan Fir’aun naik untuk berkuasa memimpin dan
menindas mereka.
Seorang lelaki menulis sepucuk surat kepada Muhammad
bin Yûsuf. Ia mengadukan perihal kekejaman para pemimpinnya. Muhammad bin Yusuf
membalas surat itu dengan mengatakan, “Suratmu telah saya terima, dimana kau
menceritakan tentang keadaan kalian saat ini, padahal tidak sepantasnya pelaku
maksiat mengingkari akibat perbuatannya. Menurut hemat saya, keadaan kalian
seperti ini tidak lain karena disebabkan oleh dosa-dosa kalian, wassalam.’
Hajjaj
bin Yusuf adalah seorang pemimpin yang terkenal zalim. Bahkan ia haus darah dan
tidak segan-segan membunuh rakyatnya. Imam Hasan al-Bashri berkata: “Coba
kalian hitung jumlah mayat yang dibunuh oleh al-Hajjaj secara zalim. Jumlahnya
mencapai 120.000 mayat” (Kitab As-Siyar 4/434).
Tetapi
jangan lupa. Ketika ada orang yang marah dan mengajak rakyat memberontak kepada
Hajjaj, Hasan al-Bashri malah melarang dan berkata:
“Al-Hajjaj adalah hukuman dari Allah atas kalian yang
belum pernah ada sebelumnya. Janganlah kalian merespon hukuman Allah ini dengan
pedang! Namun sambutlah hukuman ini dengan bertaubat kepada Allah dan tunduk
kepada-Nya! Bertaubatlah kalian, niscaya kalian akan terpelihara darinya!”
(kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad 7/164).
Kenapa
Imam Hasan al-Bashri bisa berkata seperti itu? Ini tidak lepas tentunya dari
pemahaman beliau yang mendalam tentang maksud firman-firman Allah di Al-Quran.
Salah-satunya adalah pemahaman tentang makna ayat:
“Dan
musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri ...”
(QS. Asy-Syura/42: 30)
Tak
dapat dipungkiri bahwa keberadaan pemimpin yang zalim adalah suatu bentuk
musibah bagi rakyatnya. Banyak rakyat yang menderita karena pemimpin yang zalim.
Tetapi jangan lupa, musibah itu terjadi adalah karena perbuatan tangan
rakyatnya sendiri. Kenapa mereka mau memilih pemimpin yang zalim? Kenapa mereka
tidak mau mendengarkan perkataan dan nasehat-nasehat dari para ulama dalam
segala hal? Kenapa mereka berani menentang ayat-ayat Allah selama ini? Maka
terimalah musibah sebagai hukuman Allah atas perbuatan-perbuatan mereka yang
salah itu.
“Dan
demikianlah kami jadikan sebagian orang-orang zalim itu “wali” bagi sesamanya
karena apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-An’am/6: 129)
Kata
“wali” bisa berarti teman setia, pelindung, atau pemimpin.
Jadi,
dengan adanya pemimpin yang zalim di tengah-tengah kita, maka hendaknya
masing-masing kita mengkoreksi perbuatan-perbuatan kita selama ini. Sudahkah
kita patuh kepada hukum-hukum Allah di dalam segala hal? Kezaliman atau dosa
apakah yang selama ini telah kita buat? Mari kita temukan dan lalu
memperbaikinya.
“Allah
tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu kaum selama kaum itu belum mengubah
apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’du/13: 11)
Artinya,
pemimpin yang zalim akan tetap ada jika rakyatnya tidak mau mengubah perilaku
zalim yang ada pada diri-diri mereka. Pemimpin adalah gambaran dari rakyatnya.
Jika
mau pemimpin yang amanah, maka rakyat yang bersangkutan harus berusaha untuk
selalu bersikap amanah. Jika mau pemimpin yang jujur, maka rakyat juga harus berusaha
untuk selalu bersikap jujur. Jika mau mendapat pemimpin yang patuh kepada
hukum-hukum Allah, maka rakyat juga harus berusaha untuk selalu patuh kepada
hukum-hukum Allah di dalam segala hal. Di dalam urusan pribadi, urusan
ekonomi, urusan rumah-tangga. Di rumah,
di tempat kerja, di pasar, dan lain sebagainya.
“Dan
Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami selama mereka sabar dan meyakini ayat-ayat Kami” (QS.
As-Sajdah/32: 24)
Ya,
itulah syaratnya untuk bisa mendapatkan pemimpin yang baik, yaitu: sabar dan
meyakini ayat-ayat Kami (ayat-ayat Allah).
SABAR
dalam berpegang teguh kepada hukum-hukum Allah. Sabar di dalam menegakkan
kebenaran. Sabar di dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan
larangan-larangan-Nya.
Ditambah
lagi dengan YAKIN. Yakin terhadap kebenaran firman-firman Allah. Yakin terhadap
janji-janji-Nya. Yakin terhadap segala ucapan Rasul-Nya saw.
Maka,
jika dua hal itu terpenuhi (sabar dan yakin), akan naiklah kemudian
pemimpin-pemimpin yang baik. Pemimpin-pemimpin yang amanah. Yang sayang
terhadap rakyatnya. Berjuang dan berbuat untuk kepentingan rakyat. Untuk
kesejahteraan rakyat. Insya Allah.
Tapi
jika rakyatnya tak mau peduli dengan segala perbuatannya selama ini. Tak mau
mengkoreksi dan memperbaiki diri. Tak peduli dengan aturan-aturan Allah. Halal
atau haram tetap saja dihantam. Lalu mengharapkan naiknya pemimpin-pemimpin
yang baik? Saya rasa Anda semua harus bersiap untuk kecewa. Harapan Anda
mungkin hanya akan menjadi mimpi dan angan-angan belaka.
Karena
itu, mari dipikirkan dan dilaksanakan benar-benar. Mari bangkit dan sadar demi
keamanan dan kesejahteraan kita bersama. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. (Buya
Amin/Media Muslim)
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...