Alkisah,
seorang ibu menegur anaknya (yang telah berkeluarga) yang baru saja
meninggalkan usaha dagangnya dan lebih memilih menjadi pengamen.
Ibu: “Kenapa kau memilih menjadi pengamen, Nak?
Bukankah sudah bagus kau berdagang di pasar meskipun kecil-kecilan?”
Anak: “Lebih enak mengamen, Bu. Gak perlu mikirin
modal. Yang penting ada gitar, ada suara[1]. Pendapatannya juga lebih besar
daripada berdagang. Aku bisa dapat ratusan ribu per hari. Sedangkan berdagang,
yah ... sepi, Bu. Capek menunggu dan melayani pembeli. Kadang-kadang, sudah
menawar, tidak jadi beli lagi. Capek, Bu!”
Ibu: “Tetapi, meskipun capek dan penghasilannya
mungkin sedang lebih kecil, berdagang itu adalah sebuah usaha, Nak. Sebuah
pekerjaan. Sedangkan mengamen itu, bukan pekerjaan. Mengamen itu mengemis.
Meminta-minta. Hanya bedanya, engkau mengemis sambil menyanyi. Itu saja. Jadi
jangan pernah kau berpikir bahwa mengamen itu sama mulianya dengan berdagang.
Tidak. Mengamen itu meminta-minta. Dan meminta-minta itu adalah kehinaan”.
Anak: “Jadi, Ibu tidak senang kalau aku mengamen?”
Ibu: “Tidak, anakku. Ibu lebih bangga bila kau
tetap berdagang. Ibu tidak pernah membesarkanmu untuk menjadi peminta-minta.
Apalagi kau masih kuat dan sehat seperti ini. Kau masih mampu untuk bekerja. Orang
yang masih mampu untuk bekerja, tidak halal meminta-minta. HARAM, anakku.
Meminta-minta itu hanya halal bagi orang yang sedang terpaksa dan tidak
memiliki jalan lain. Kau masih punya jalan lain. Kau masih bisa berdagang.
Kenapa kau memilih menjadi peminta-minta seperti itu”.
Anak: ”Tapi penghasilannya jauh lebih kecil jika
dibandingkan dengan mengamen, Bu. Dengan berdagang, aku hanya bisa mencukupi
kebutuhan-kebutuhan pokok saja. Tak ada kelebihan yang bisa kutabung untuk bisa
... yah sedikit merasakan kemewahan seperti orang-orang lain lah. Bisa beli
ini, beli itu”.
Ibu: ”Dengar, anakku. Banyak orang yang
kehidupannya jauh lebih buruk darimu. Jangankan kemewahan, untuk makan dan
minum sehari-hari saja pun susah. Lihatlah itu di wilayah-wilayah yang terlibat
peperangan. Segalanya serba sulit. Kau harus bersyukur. Meskipun tidak kaya,
atau tidak bisa bermewah-mewah, tetapi hidupmu tergolong cukup. Betul kan?!
Kalau ternyata tidak cukup, berarti ada hal-hal yang harus kau perbaiki dalam
hidupmu. Jangan malah meninggalkan hal-hal yang sudah benar dan beralih kepada
hal-hal yang tidak benar. Jangan malah meninggalkan berdagang dan justru
memilih menjadi peminta-minta alias pengamen”.
Anak: “Memangnya apa yang harus kuperbaiki jika
ternyata kebutuhanku dan anak-istriku tidak cukup, Bu?”
Ibu: “Allah telah berjanji di dalam Alquran[2] bahwa
barangsiapa yang bertawakkal kepada-Nya, akan Dia cukupi segala kebutuhannya.
Barangsiapa yang bertaqwa kepada-Nya akan Dia berikan jalan keluar dari segala
kesulitan. Jadi kalau kau merasa tidak cukup, atau sering mengalami kebuntuan
di dalam masalah-masalahmu, maka periksalah: mungkin ketaqwaanmu selama ini
kurang kepada-Nya. Mungkin ada perintah-perintah-Nya yang tidak kau perhatikan.
Mungkin ada larangan-larangan-Nya yang gampang saja engkau langgar. Mungkin
pula rasa tawakkal/kepasrahanmu kepada-Nya masih kurang. Kau masih banyak ragu
kepada-Nya dan lebih percaya kepada jaminan atau kemampuan dari makhluk-makhluk-Nya.
Padahal tak ada satu pun makhluk yang memiliki kemampuan. Semua kemampuan dan
kekuasaan ada di tangan-Nya. Makhluk-makhluk itu hanyalah benda-benda tak
berdaya yang digerak-gerakkan oleh-Nya. Lalu kenapa kau lebih percaya kepada
makhluk-makhluk-Nya daripada kepada-Nya? Itulah yang harus kau periksa dan
perbaiki.
Kemudian
secara teknis atau strategi berusaha juga mungkin ada yang kurang. Mungkin
lokasi berdagangmu yang kurang tepat. Atau mungkin barang daganganmu yang harus
ditukar dulu agar sesuai dengan kebutuhan dan selera pasar saat ini. Itulah Ibu
rasa yang harus kau pikirkan. Bukan malah beralih aktivitas menjadi pengamen”.
Anak: “Ya, Bu. Mungkin Ibu benar. Aku akan
mempertimbangkannya kembali. Tetapi untuk beberapa hari ini, mungkin aku akan
masih tetap mengamen, Bu. Aku masih malas untuk berdagang”.
Ibu: “Okelah, tapi jangan kelamaan. Kalau kau
merasa nasehat Ibu ini benar, sebaiknya cepat kau turuti. Jangan sampai
terlambat”.
Sang
anak tidak lagi menjawab ucapan ibunya itu. Namun sebagaimana yang telah ia
ucapkan, keesokan harinya, dan sekian hari setelahnya, ternyata si anak tetap
saja masih mengamen dan belum mau berdagang. Hingga akhirnya, tibalah hari yang
naas itu.
***
(Lokasi:
di rumah si anak):
Istri:
“Aduh, Kang!!! Astaghfirullohal ‘azim. Kenapa Kang?! Kenapa kepalamu berlumuran
darah seperti ini?! Astaghfirullohal ‘azim!”.
Suami: “Aku ... aku tadi berkelahi dengan seorang
penghuni rumah. Dia memukul kepalaku dengan sepotong besi hingga berdarah-darah
seperti ini”.
Istri: “Kenapa? Apa masalahnya kok bisa sampai
berkelahi seperti itu?!”
Suami:
“Ya ... aku rasa memang aku yang memulai masalah. Orang itu sudah mengucapkan
“maaf” kepadaku agar aku segera lewat saja dari rumahnya itu. Tapi aku tetap
saja mengamen di depan pintunya itu. Aku melakukan seperti itu karena sudah
terbiasa dan pengalaman. Cukup sering cara itu berhasil membuat penghuni rumah
memberikan uang walaupun sepertinya dengan rasa kesal dan terpaksa. Tapi
ternyata hari ini aku gagal dan sial. Orang itu merasa tersinggung dan merasa
ditodong olehku. Dia memakiku: “Elu ngamen atau nodong sih?! Lewat sono, lewat!
Udah gue bilang ‘maaf’, ‘maaf’, dari tadi, masih gonjrang-gonjreng aja luh di
depan pintu gue!”
Mendengar
itu, aku juga jadi emosi dan membalas ucapannya:
“Ah,
ama duit gopek aja, pelit lu. Dasar!”
“Eh,
terserah gue dong mau ngasih ape kagak. Emang duit elu?! Kenapa lu pake bilang-bilang
gue pelit begitu?! Cari gara-gara lu?! Kalo nggak pergi juga, awas, gue hajar
beneran lu entar” ucap orang itu.
“Eh, Mas,
terserah gue juga dong mau pergi atau kagak. Emangnya kaki gue, kaki elu”
jawabku pula.
Selepas
jawabanku itu, ternyata benar. Dia tidak hanya sekedar mengancam. Dia
membuktikan ucapannya. Dia hantam aku berkali-kali dengan sepotong besi yang
kebetulan sedang ada di dekatnya. Aku melawan. Kami berkelahi hingga akhirnya
orang-orang datang memisahkan. Setelah memisahkan, para warga menyalahkan aku
dan menyuruhku untuk segera pergi. Ya, aku sadar. Memang aku yang bikin
gara-gara. Kenapa aku tidak segera pergi saja ketika tuan rumah sudah bilang
“maaf” secara baik-baik kepadaku”.
Istri: “Mungkin ini teguran untukmu, Kang. Bukankah
beberapa hari yang lalu ibumu sudah menasehati untuk segera berhenti mengamen
dan mulai kembali berdagang. Tapi kau masih saja mengamen dan terus
mengulur-ulur waktu. Aku sebenarnya juga lebih setuju kamu terus berdagang,
Kang, daripada mengamen. Betul kata Ibu. Mengamen itu bukan bekerja, tetapi
meminta-minta. Tidak halal meminta-minta kecuali bagi orang yang sedang
terpaksa. Kamu bukan orang yang sedang terpaksa, Kang, karena kamu masih
memiliki jalan lain. Kamu masih bisa berdagang. Itu jalan untukmu. Kenapa masih
saja bersikeras untuk mengamen?!”
Suami: “Iya. Kau betul istriku. Insya Allah aku tak
akan mengamen lagi. Aku akan kembali berdagang kalau sudah pulih nanti”.
Waktu
berlalu. Beberapa saat kemudian, azan Maghrib terdengar berkumandang. Sang
suami ingin segera salat. Tapi tiba-tiba seorang pengamen datang di depan
rumahnya.
Sang
suami berujar di dalam hati: “Astaghfirullohal azim. Orang ini lebih parah lagi
daripada aku. Hari sudah Maghrib begini kok masih saja mengamen?!
Astaghfirullohal ‘azim”.
“Maaf
ya, Bang. Lewat aja dulu ya” ujar sang suami kepada si pengamen sambil
memegangi kepalanya yang sudah dibalut perban.
Walhamdulillahi
Robbil ‘alamin.
======
[1]
Di zaman sekarang, ada juga pengamen yang menggunakan ondel-ondel, membawa rekaman
musik sambil memakai topeng/menjadi badut. Ada juga yang dengan membawa sound
sistem besar. Ada yang dengan menggunakan angklung atau lain-lain. Apapun itu
semua, itu hanyalah perbedaan alat. Status mereka tetap saja mengamen. Dan
mengamen, bukanlah bekerja, melainkan meminta-minta.
[2]
Di antaranya lihat surat ath-Thalaq (65) ayat 2-3.
(Maltusiro/Media
Muslim)
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...