Wednesday, 21 December 2016

Korban Menjaga Natalan Mati Syahid?



Foto: Kiai Idrus Ramli
 Sebagian orang ada yang berasumsi bahwa jika seorang Muslim mengamankan acara natalan di gereja, lalu terkena bom oleh teroris, maka ia berarti mati syahid. Asumsi ini sungguh sangat tidak benar. Kegiatan ibadah kaum non Muslim dalam pandangan agama Islam adalah kesyirikan dan kekafiran. Tidak ada dosa yang lebih besar daripada kesyirikan dan kekafiran.

Kalau ia dikatakan mati syahid karena mengikuti perintah atasan, maka perlu diketahui bahwa mengikuti perintah atasan harus sesuai dengan ajaran agama. Perintah yang melanggar agama, tidak boleh diikuti. Apabila mengikuti perintah yang melanggar agama tersebut, maka ia akan menanggung resikonya di dunia dan akhirat. Dalam hadits shahih diriwayatkan:

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ:
 بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً فَاسْتَعْمَلَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ، فَغَضِبَ، فَقَالَ: أَلَيْسَ أَمَرَكُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُطِيعُونِي؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ: فَاجْمَعُوا لِي حَطَبًا، فَجَمَعُوا، فَقَالَ: أَوْقِدُوا نَارًا، فَأَوْقَدُوهَا، فَقَالَ: ادْخُلُوهَا، فَهَمُّوا وَجَعَلَ بَعْضُهُمْ يُمْسِكُ بَعْضًا، وَيَقُولُونَ: فَرَرْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ النَّارِ، فَمَا زَالُوا حَتَّى خَمَدَتِ النَّارُ، فَسَكَنَ غَضَبُهُ، فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ
 «لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ»
Ali radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus suatu pasukan. Lalu mengangkat seorang laki-laki dari kaum Anshar sebagai
pemimpin dan memerintahkan mereka untuk menaatinya. Lalu laki-laki itu marah. Ia berkata: “Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kalian untuk menaatiku?” Mereka berkata: “Iya.” Ia berkata: “Kumpulkan kayu bakar untukku.” Lalu mereka mengumpulkannya. Ia berkata: “Bakar kayu bakar ini.” Mereka membakarnya. Ia berkata: “Masuklah kalian ke dalam kayu bakar ini.” Lalu mereka bermaksud memasukinya dan sebagian saling menahan yang lainnya untuk memasuki kobaran api itu. Mereka berkata: “Kami mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena lari dari panasnya api.” Mereka terus bertahan tidak memasuki kobaran api hingga akhirnya api itu padam. Lalu kemarahan laki-laki itu berhenti. Kemudian berita itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu baginda bersabda: “Seandainya mereka memasuki kobaran api itu, maka mereka tidak akan keluar dari api itu hingga hari kiamat. Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah. Ketaatan hanyalah dalam kebaikan.” Hadits shahih riwayat al-Bukhari [4340] dan Muslim [1840].

Dalam hadits di atas, jelas sekali bahwa mengikuti perintah atasan itu hanya berlaku dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Sedangkan mengikuti perintah pemimpin dalam perbuatan kemaksiatan, meskipun pemimpin tersebut diangkat oleh seorang Nabi, hukumnya haram dan tidak boleh. Kalaupun ia mengikuti, tetap mendapat resiko di dunia dan akhirat.

Kaitannya dengan perintah menjaga gereja, sebelum kami ketengahkan pernyataan para ulama tentang hukum berkaitan dengan kegiatan natalan di gereja, di sini kami akan memberikan perumpamaan.

Seandainya ada seseorang diperintahkan menjaga acara perjudian, lalu ia terkena bom oleh teroris, apakah ia dianggap mati syahid? Jelas kematiannya tidak dianggap mati syahid, akan tetapi mati konyol.

Seandainya ia diperintahkan untuk menjaga lokalisasi pelacuran, lalu terkena bom oleh teroris, apakah ia mati syahid? Jelas kematiannya tidak dianggap mati syahid, akan tetapi mati konyol.

Demikian pula seandainya ia ditugaskan menjaga kegiatan natalan, lalu mati terkena bom oleh teroris, apakah ia mati syahid? Jelas kematiannya tidak dianggap mati syahid, akan tetapi ia mati konyol. Mengapa korban yang mati ketika menjaga kegiatan natalan, tidak dianggap mati syahid, dan justru dianggap mati konyol? Karena acara ritual natalan adalah kemungkaran dan kesyirikan dalam pandangan Islam. Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi berkata:

وَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: مَنْ بَنَى بِأَرْضِ الْمُشْرِكِيْنَ وَصَنَعَ نَيْرُوْزَهُمْ وَمَهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوْتَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Abdullah bin Umar berkata: “Barangsiapa yang membangun rumah di daerah orang-orang musyrik, mengadakan acara nairuz (tahun baru) mereka dan acara festival mereka, dan menyerupai mereka hingga meninggal dunia, maka ia dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat.”

وَقَدْ شَرَطَ عَلَيْهِمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنْ لاَ يُظْهِرُوْا أَعْيَادَهُمْ فِيْ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَإِذَا كَانُوْا مَمْنُوْعِيْنَ مِنْ إِظْهَارِ أَعْيَادِهِمْ فِيْ بِلاَدِنَا، فَكَيْفَ يَسَعُ الْمُسْلِمَ فِعْلُهَا؟ هَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ طَمْعَهُمْ وَقُلُوْبَهُمْ فِيْ إِظْهَارِهَا، وَإِنَّمَا مُنِعُوْا مِنْ ذَلِكَ لِمَا فِيْهِ مِنَ الْفَسَادِ، إِمَّا لأَنَّهُ مَعْصِيَةٌ، وَإِمَّا لأَنَّهُ شِعَارُ الْكُفْرِ. وَالْمُسْلِمُ مَمْنُوْعٌ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ.
“Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu telah mensyaratkan kepada mereka (orang-orang Nasrani) untuk tidak menampakkan hari raya mereka di negeri-negeri kaum Muslimin. Apabila mereka dilarang menampakkan hari raya mereka di negeri-negeri kami, bagaimana mungkin seorang Muslim merasa senang melakukannya? Hal ini termasuk hal yang menguatkan keinginan dan hati mereka untuk menampakkannya. Mereka dilarang menampakkan karena dalam hari raya tersebut terdapat kerusakan, adakalanya karena berupa kemaksiatan dan adakalanya karena merupakan syiar kekafiran. Seorang Muslim dilarang dari semua hal tersebut.”

وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اِجْتَنِبُوْا أَعْدَاءَ اللهِ فِيْ دِيْنِهِمْ، فَإِنَّ السُّخْطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ.
“Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Jauhilah musuh-musuh Allah dalam acara keagamaan mereka. Karena sesungguhnya murka Allah akan turun kepada mereka.”

فَمُوَافَقَتُهُمْ فِيْ أَعْيَادِهِمْ مِنْ أَسْبَابِ سُخْطِ اللهِ تَعَالَى لأَنَّهُ إِمَّا مُحْدَثٌ وَإِمَّا مَنْسُوْخٌ.
“Menyesuaikan diri dengan mereka dalam acara-acara hari raya mereka termasuk sebab murka Allah ta’ala. Karena adakalanya hari raya tersebut perkara yang diada-adakan dan adakalanya karena telah dihapus.”

وَكَمَا لاَ يَحِلُّ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِيْ أَعْيَادِهِمْ، فَلاَ يُعَانُ الْمُسْلِمُ الْمُتَشَبِّهُ بِهِمْ فِيْ ذَلِكَ، كَمَا لاَ يَحِلُّ بَيْعُ الْعِنَبِ لِمَنْ يَعْصِرُهَا خَمْراً. وَمَنْ صَنَعَ فِيْ أَعْيَادِهِمْ دَعْوَةً لَمْ يُجَبْ إِلَيْهَا، وَمَنْ أَهْدَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ هَدِيَّةً فِي هَذِهِ اْلأَعْيَادِ مُخَالَفَةَ الْعَادَةِ، وَهِيَ مِمَّا فِيْهِ تَشَبُّهٌ بِهِم، لَمْ تُقْبَلْ هَدِيَّتُهُ.
“Sebagaimana tidak halal menyerupai mereka dalam hari raya mereka, maka seorang Muslim yang menyerupai mereka tidak boleh dibantu atau ditolong. Sebagaimana tidak halal menjual anggur pada orang yang akan memerasnya menjadi minuman keras. Barangsiapa yang membuat undangan dalam hari raya mereka, maka tidak boleh dikabulkan. Barangsiapa dari kaum Muslimin memberikan hadiah pada hari raya mereka yang menyalahi kebiasaan, dan hadiah tersebut termasuk yang mengandung penyerupaan dengan mereka, maha hadiahnya tidak boleh diterima” (Al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi, al-Amr bil-Ittiba’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtida’, hlm 52).

Kesimpulan dari paparan di atas:
1) Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu melarang orang-orang Nasrani untuk menampakkan acara hari raya mereka di negeri-negeri Muslim.
2) Umat Islam tidak boleh menyerupai orang-orang Nasrani dalam acara hari raya keagamaan mereka. Karena apabila umat Islam menyerupai mereka, akan menguatkan keinginan dan hati mereka untuk menampakkannya di negeri Muslim.
3) Umat Islam tidak boleh membantu seorang Muslim yang menyerupai acara hari raya keagamaan orang-orang Nasrani. Jika membantu kaum Muslim yang menyerupai kaum Nasrani dilarang, sudah barang tentu membantu acara keagamaan kaum Nasrani, lebih dilarang lagi.
4) Umar bin al-Khaththab melarang kaum Muslimin mendekati orang-orang Nasrani dalam acara keagamaan mereka, karena murka Allah akan turun kepada mereka.
5) Acara keagamaan non Muslim adalah acara kemungkaran, bukan acara ibadah yang diakui oleh Islam.

Syaikh Muhammad Hasanain Makhluf al-Maliki, Mufti Mesir yang telah lampau berkata:

هَذَا حُكْمُ اللهِ تَعَالَى فِيْ مُوَالاَةِ غَيْرِ الْمُسْلِمِيْنَ بِالْمَعْنَى الَّذِيْ بَيَّنَّاهُ، فَمَا بَالُكَ بِإِعَانَتِهِمْ فِيْمَا يُرِيْدُوْنَ وَمُسَاعَفَتِهِمْ فِيْمَا يَبْتَغُوْنَ بِبَذْلِ النَّفْسِ وَالْمَالِ وَهُوَ إِعْزَازٌ لَهُمْ وَوَفْرَةٌ فِيْ قُوَّتِهِمْ وَنَمَاءٌ فِيْ أَمْوَالِهِمْ وَبَسْطَةٌٌ فِيْ سُلْطَانِهِمْ
“Ini adalah hukum Allah ta’ala dalam hal menjadikan non Muslim sebagai teman setia dengan makna yang telah kami jelaskan. Maka bagaimana dengan menolong mereka dalam apa yang mereka kehendaki dan membantu mereka dalam apa yang mereka inginkan dengan mengorbankan jiwa dan harta, padahal demikian itu memuliakan kepada mereka, menyempurnakan terhadap kekuatan mereka, mengembangkan harta mereka dan meluaskan kekuasaan mereka.” (Syaikh Muhammad Hasanain Makhluf, al-Qaul al-Mubin fi Hukm al-Mu’amalah baina al-Ajanib wa al-Muslimin, juz 1 hlm 110).

Kesimpulan dari paparan di atas:
1) Membantu orang-orang di luar Islam dalam memenuhi keinginan mereka, berarti memuliakan dan menguatkan mereka.
2) Berpartisipasi dalam kemuliaan dan kekuatan agama mereka hukumnya jelas dilarang dalam agama dan haram dilakukan.
Syaikh Mushthafa al-Suyuthi al-Rahibani al-Hanbali, berkata dalam kitabnya Mathalib Uli al-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, kitab fiqih yang otoritatif dalam madzhab Hanbali sebagai berikut:

(قَالَ: الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ) وَكَذَا مَنْ اعْتَقَدَ أَنْ الْكَنَائِسَ بُيُوتُ اللهِ، أَوْ أَنَّهُ يُعْبَدُ (فِيهَا،) أَوْ أَنْ مَا يَفْعَلُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى عِبَادَةٌ للهِ وَطَاعَةٌ لَهُ وَلِرَسُولِهِ، أَوْ أَنَّهُ يُحِبُّ ذَلِكَ، أَوْ (يَرْضَاهُ) فَهُوَ كَافِرٌ؛ لأَنَّهُ يَتَضَمَّنُ اعْتِقَادُهُ صِحَّةَ دِينِهِمْ، وَذَلِكَ كُفْرٌ (أَوْ أَعَانَهُمْ عَلَى فَتْحِهَا) ؛ أَيْ: الْكَنَائِسِ (وَإِقَامَةِ دِينِهِمْ؛ وَ) اعْتَقَدَ (أَنَّ ذَلِكَ قُرْبَةٌ أَوْ طَاعَةٌ) فَهُوَ كَافِرٌ لِتَضَمُّنِهِ اعْتِقَادَ صِحَّةِ دِينِهِمْ. وَقَالَ: الشَّيْخُ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ مَنْ اعْتَقَدَ أَنْ زِيَارَةَ أَهْلِ الذِّمَّةِ كَنَائِسَهُمْ قُرْبَةٌ إلَى اللهِ؛ فَهُوَ مُرْتَدٌّ، وَإِنْ جَهِلَ أَنَّ ذَلِكَ مُحَرَّمٌ عُرِّفَ ذَلِكَ، فَإِنْ أَصَرَّ صَارَ مُرْتَدًّا؛ لِتَضَمُّنِهِ تَكْذِيبَ قَوْله تَعَالَى: (إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ) [آل عمران: 19].
Syaikh Taqiyyuddin berkata: “Demikian pula orang yang berkeyakinan bahwa gereja itu rumah Allah, atau tempat beribadah, atau bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah ibadah kepada Allah, ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, atau bahwa Allah mencintai perbuatan ibadah mereka, atau meridhainya, maka orang tersebut adalah kafir. Karena hal itu mengandung keyakinan terhadap keabsahan agama mereka. Hal tersebut adalah kekufuran. Atau membantu mereka membuka gereja-gereja dan menegakkan agama mereka dan meyakini bahwa demikian itu adalah qurbah (pendekatan kepada Allah) atau ketaatan, maka ia telah kafir karena mengandung keyakinan terhadap keabsahan agama mereka.” Syaikh berkata di tempat yang lain: “Barangsiapa yang meyakini bahwa kunjungan orang-orang kafir dzimmi ke gereja-gereja mereka adalah mendekatkan diri kepada Allah, maka ia berarti murtad. Apabila ia tidak tahu bahwa keyakinan tersebut diharamkan, maka ia harus diberitahukan. Apabila ia masih bersikeras dengan pendapatnya, maka ia berarti murtad karena mengandung pendustaan terhadap firman Allah: “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam [QS Alu-Imran : 19]” (Syaikh Mushthafa al-Rahibani al-Suyuthi al-Hanbali, Mathalib Uli al-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, juz 6 hlm 281).

Kesimpulan dari paparan di atas:
1) Meyakini keabsahan ibadah orang-orang Yahudi dan Nasrani dan bahwa hal tersebut mendapatkan pahala adalah murtad.
2) Membantu pembukaan gereja baru, membantu tegaknya acara keagamaan kaum Nasrani serta meyakini kebenaran agama mereka adalah murtad dan kafir.

Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, kitab fiqih otoritatif dalam madzhab Hanafi disebutkan:

أَنَّهُ لَوْ سَأَل ذِمِّيٌّ مُسْلِمًا عَلَى طَرِيقِ الْبِيعَةِ لاَ يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَدُلَّهُ عَلَى ذَلِكَ ، لأَِنَّهُ إِِعَانَةٌ عَلَى الْمَعْصِيَةِ ، وَأَيْضًا : مُسْلِمٌ لَهُ أُمٌّ ذِمِّيَّةٌ أَوْ أَبٌ ذِمِّيٌّ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَقُودَهُ إِِلَى الْبِيعَةِ ، وَلَهُ أَنْ يَقُودَهُ مِنَ الْبِيعَةِ إِِلَى الْمَنْزِل.
“Sesungguhnya apabila seorang kafir dzimmi menanyakan kepada seorang Muslim tentang jalan menuju gereja, maka tidak sebaiknya si Muslim menunjukkannya karena hal tersebut berarti menolong pada kemaksiatan. Lagi pula, seorang Muslim yang mempunyai ibu atau ayah beragama kafir dzimmi, maka ia tidak boleh menuntunnya pergi ke gereja. Tetapi ia boleh menuntunnya pulang dari gereja menuju rumahnya.” (Tim para ulama India madzhab Hanafi, al-Fatawa al-Hindiyyah, juz 2, hlm 250).

Kesimpulan dari paparan di atas:
1) Tidak boleh menunjukkan jalan menuju arah gereja yang ditanyakan oleh seorang dzimmi, karena termasuk membantu orang lain dalam kemaksiatan.
2) Tidak boleh menuntun orang tua yang beragama kafir dzimmi untuk pergi ke gereja, karena termasuk menolong orang lain dalam kemaksiatan. Tetapi boleh menuntun orang tua ketika akan pulang dari gereja ke rumah tempat tinggalnya. Wallahu a’lam.

Demikianlah pernyataan para ulama madzhab empat (Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi) berkaitan dengan acara keagamaan di gereja. Semuanya sepakat bahwa kegiatan natalan di gereja termasuk acara kemungkaran. Membantu orang lain dalam melakukan kemaksiatan hukumnya haram, meskipun diperintah oleh atasan.

Sebagian orang yang mungkin mempunyai niatan baik dengan cara menjaga gereja saat natalan menyampaikan beberapa alasan sebagai berikut:

Pertama, dalam piagam Madinah, yaitu perjanjian yang dilakukan antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan komunitas keagamaan lain di Madinah ada perjanjian untuk tidak saling mengganggu antara yang satu dengan lainnya.
Jawaban kami : Betul dalam piagam Madinah ada kesepakatan tidak saling mengganggu. Tetapi perlu diketahui, tidak ada riwayat bahwa umat Islam diperintahkan untuk menjaga atau menjadi petugas keamanan acara hari raya orang-orang Yahudi maupun agama lain di Madinah pada waktu itu.

Kedua, fiqih Umar bin al-Khaththab yang menjamin keamanan gereja-gereja di negeri Syam.
Jawaban kami : Di atas telah kami jelaskan riwayat larangan dari Khalifah Umar bin al-Khaththab untuk mendekati acara keagamaan orang-orang kafir, karena murka Allah akan turun kepada mereka. Khalifah Umar juga melarang orang-orang kafir untuk menampakkan hari raya keagamaan mereka. Sudah barang tentu Khalifah Umar tidak pernah menyuruh umat Islam untuk menjadi petugas keamanan acara natalan di gereja. Mendekati saja dilarang, apalagi menjadi petugas keamanan.

Ketiga, sikap Sultan Shalahuddin al-Ayyubi ketika menaklukkan Palestina dan memberi jaminan keamanan kepada orang-orang Nasrani.
Jawaban kami: Tidak ada riwayat bahwa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi memerintahkan pasukan Muslim untuk menjadi petugas keamanan dalam acara ibadah natalan di gereja. Sultan Shalahuddin al-Ayyubi seorang sultan yang tunduk kepada para ulama madzhab Syafi’i. Wallahu a’lam.

Monggo tulisan ini ditambah dan disempurnakan bagi para alim yang membaca.

Diakses: 21 des 16

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...