Mungkin kelompok Wahabi/Salafi
merasa
“paling nyunnah” (paling mengikuti Nabi)
di dalam segala hal selama ini. Tetapi masalahnya,
apakah benar mereka seperti itu (apakah benar mereka selama ini selalu mengikuti
Nabi)?
Mengaku-ngaku
atau merasa-rasa sih boleh-boleh saja, dan mungkin bisa dilakukan oleh semua
orang. Tetapi masalahnya, apakah pengakuan/perasaan kita itu diakui/dibenarkan
oleh pihak-pihak yang berkompeten, berwenang, atau bahkan oleh pribadi yang
bersangkutan?
Mengaku-ngaku
atau merasa paling dekat dengan Pak Bupati, misalnya. Mungkin boleh saja dan
bisa dilakukan semua orang. Tetapi masalahnya, apakah pihak-pihak yang
berwenang ataupun Pak Bupati sendiri mengakui perasaan atau pengakuan tersebut? Belum tentu.
Nah,
pihak Wahabi/Salafi mungkin merasa paling mengikuti Nabi di dalam segala hal,
termasuk di dalam masalah bid’ah. Mereka gampang saja menuduh-nuduh bid’ah atau
sesat terhadap amal-amal yang dilakukan oleh kaum muslimin yang bukan kelompok
mereka (seperti yasinan, maulid Nabi, tahlilan, dan lain sebagainya). Alasan
klasiknya dari dulu cuma satu: amal tersebut tidak pernah dilakukan atau dicontohkan
oleh Nabi saw. Sementara Nabi sendiri, adakah mencontohkan sikap yang demikian
itu? Maksudnya, adakah Nabi Muhammad saw
selalu langsung menyalahkan amalan sahabat-sahabatnya alias menganggapnya
bid’ah apabila amalan tersebut tidak pernah dicontohkan atau dilakukan oleh beliau?
Sebuah
kisah kecil berikut ini akan memberikan gambaran kepada Anda bagaimana jawaban dari pertanyaan di atas.
Rasulullah
saw pernah mengutus seorang sahabat, katakanlah namanya si A (penulis belum pernah
menemukan keterangan tentang nama orang/sahabat tersebut) untuk menjadi imam di
dalam sebuah pasukan. Pasukan tersebut shalat diimami oleh si A.
Tetapi
anehnya, si A ini selalu membaca surah Al-ikhlash (qul huwallohu ahad) di dalam
setiap kali mengimami kaumnya. Tentu saja surah tersebut di baca di rakaat
pertama dan kedua setelah Alfatihah sesuai dengan tatacara di dalam salat.
Perbuatan
selalu membaca surah Al-Ikhlas di dalam shalat
ini, tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah
saw. Rasulullah kalau salat mengimami jama’ahnya, surah yang dibaca oleh beliau
biasanya berbeda-beda atau berganti-ganti. Selain tidak pernah mencontohkan,
beliau juga tidak pernah menyuruh atau menganjurkan sahabatnya untuk selalu
membaca sebuah surat tertentu di dalam shalat.
Maka
diceritakanlah perbuatan si A ini kepada Rasulullah saw. Kira-kira, andaikata Rasulullah saw itu sama dengan orang-orang wahabi, atau dengan bahasa lain, andaikata pemahaman
tentang bid’ah itu adalah benar seperti yang diterapkan oleh kaum wahabi/salafi
selama ini kepada kaum muslimin, maka apakah yang akan atau semestinya
dilakukan oleh Rasulullah saw terhadap sahabatnya,
si A tersebut?
Mungkin
kaum Wahabi/Salafi menduga bahwa Rasulullah saw akan
langsung memanggil atau menegur si A itu. Semestinya Rasul saw akan
mengatakan kepada si A: “Wahai si A, kenapa kamu melakukan bid’ah? Kenapa kamu
melakukan sesuatu yang tidak pernah aku contohkan di dalam agama ini? Apakah
kamu tidak takut siksa neraka? Setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat
itu di dalam neraka. Oleh karena itu, kamu
harus berhenti dari mengerjakannya!!!”
Bukankah
semestinya begitu yang akan dilakukan oleh Rasulullah saw kepada si A andaikata
benar bahwa kaum wahabi/salafi selama ini mengikuti Rasulullah saw?
Ternyata
bukan itu yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Rasulullah tidak menyuruh menegur atau menyalahkan si A tersebut. Rasulullah hanya memerintahkan kepada sahabat
yang menceritakannya, agar bertanya kepada si A: “Kenapa dia melakukan hal itu”.
سَلُوْهُ لِأَيِّ
شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ؟
(tanyalah kepadanya kenapa dia melakukan hal itu?)
Setelah ditanyakan kepada si A,
si A menjawab:
لِأَنَّهَـا صِفَةُ
الرَّحْمنِ فَأَنَا أُحِبُّ اَنْ اَقْرَأَ بِهَـا
(Karena surah tersebut mengandung sifat Ar-Rahman,
maka aku suka membaca surah tersebut)
Setelah diketahui alasannya, maka diceritakanlah alasan tersebut kepada Rasulullah saw. Setelah mengetahui
alasan itu, kira-kira apa sikap yang yang akan diambil oleh Rasulullah saw?
Seandainya Rasulullah saw itu sama dengan kaum
wahabi/salafi, atau dengan kata lain, andaikata benar bahwa kaum wahabi/salafi
itu selama ini mengikuti Rasulullah saw di dalam masalah bid’ah, maka
semestinya sikap yang diambil oleh Rasulullah saw adalah mengatakan: “Tidak
peduli!!! Apapun alasannya, itu adalah bid’ah, karena tidak pernah aku lakukan
atau aku ajarkan. Suruh dia berhenti dari bid’ahnya itu. Setiap bid’ah itu
sesat, dan setiap yang sesat itu di neraka!!”
Semestinya begitu kan sikap yang diambil oleh
Rasulullah saw kalau seandainya masalah bid’ah ini sama seperti apa yang dipahami
oleh kaum wahabi/salafi selama ini?
Tetapi, ternyata: TIDAK
Sikap yang diambil oleh Rasulullah saw adalah
mengatakan:
أَخْبِرُوْهُ إِنَّ
اللّهَ تَعَلَى يُحِبُّهُ
(“kabarkan kepadanya bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala
mencintainya”)
Luar biasa, dan di luar
dugaan kaum wahabi. Ternyata Rasulullah bukan hanya tidak menegur si A. Bukan
hanya tidak menyesat-nyesatkannya. Bukan hanya tidak mengancam si A dengan
neraka. Bahkan Rasulullah memerintahkan: “kabarkan kepadanya bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala mencintainya”.
Pernahkah terpikir hal ini oleh
kaum-kaum wahabi/salafi?
Begitulah kisah kecil yang pernah terjadi di zaman Rasulullah saw terkait masalah bid’ah. Masalah ini adalah masalah agama, bukan masalah dunia. Jadi, bid’ahnya adalah bid’ah agama, bukan bid’ah dunia.
Masalah ini juga bukan “maslahah mursalah”. Tapi
hanya sekedar amal yang berfadhilah. Maka jelas salah-lah kaum wahabi/salafi yang hanya memperkecil pembolehan bid’ah itu pada sekitar
hal-hal yang mengandung maslahah mursalah saja.
Maka, semestinya, kalau benar kaum wahabi/salafi
itu mengikuti Rasulullah saw, maka ketika ada seseorang yang melakukan suatu
amal fadhilah yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw, semestinya yang
dilakukan adalah bertanya: “Kenapa engkau melakukan hal itu, wahai saudaraku?” Ketika alasan yang disebutkan oleh si pelaku sudah dapat dibenarkan oleh syariat, maka stoplah mulutmu dari
menuduh-nuduh bid’ah kepada saudaramu itu.
Semoga dapat menjadi pelajaran bagi kaum wahabi
salafi.
Cerita tersebut terdapat di dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di antaranya, bisa ditemukan di dalam kitab Riyadus Shalihin karya Imam Nawawi dalam bab “Tanda-Tanda Kecintaan Allah Ta’ala Kepada Hambanya”.
Cerita tersebut terdapat di dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di antaranya, bisa ditemukan di dalam kitab Riyadus Shalihin karya Imam Nawawi dalam bab “Tanda-Tanda Kecintaan Allah Ta’ala Kepada Hambanya”.
Berikut terjemahan hadits tersebut menurut versi sebuah
buku terjemahan:
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw
mengutus seseorang untuk mengimami salat pada suatu pasukan. Dalam salatnya, ia
selalu menutup bacaannya dengan ucapan: “QUL HUWALLOHU AHAD” (Surat Al-Ikhlas).
Ketika pulang, mereka menceritakan hal yang demikian itu kepada Rasulullah saw.
Beliau bersabda: “Tanyakan kepadanya, mengapa ia berbuat demikian?” Mereka pun
menanyakannya, dan orang itu menjawab: “Karena ayat itu mengandung sifat Zat
yang Maha Pemurah, maka saya senang membacanya”. Setelah disampaikan kepada
Rasulullah saw, beliau bersabda: “Beritahukan kepadanya, bahwa Allah Ta’ala
mencintainya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan teks haditsnya adalah
sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَة أَنَّ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَا تِهِمْ
فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّه أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ
اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَ ي شَيْءٍ يَصْنَعُ
ذَلِكَ فَسَألَوْهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ فَأنَا أُحِبُّ أَنْ
أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أخبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّه
(رواه البخاري و مسلم)
Bismillahirrahmanirrahim
ReplyDeleteAfwan, terdapat banyak tuduhan terhadap salafi ini, tapi tentunya tidak setiap tuduhan benar.
Secara tidak langsung penulis menyatakan salafi langsung membid'ahkan orang tanpa bertanya
Ini merupakan kesalahan sebab tentunya mereka membid'ahkan dengan dasar. Dalil dalil nya juga tidak asal pilih Niat mereka membid'ahkan pun demi menjalani suatu agama yang lurus.
Mengenai kisah diatas, tentunya tidak masalah seseorang menyukai satu surah namun asal tidak menspesialkan, dengan mengesampingkan surah lainnya.
ReplyDeleteBeda cerita dengan tahlilan dll. Cakupan nya juga berbeda. Shalat itu merupakan ibadah yang jelas semua setuju wajib dilakukan. Dan persoalan surah al ikhlas itu hanya sebagian kecil dari shalat tersebut. Nah beda dengan tahlilan, karena tahlilan terpisah dari ibadah lainnya sehingga seperti ibadah baru. Inilah yang dikhawatirkan
Dalam pelaksanaan tahlilan pun, do'a do'a nya cenderung dibacakan secara cepat, padahal tuntunan nabi pun setau saya harus tartil.