Ya, Islam tidak mengharuskan umatnya untuk kaya dan tidak pula mewajibkan umatnya untuk miskin. Yang dituntut oleh Islam hanyalah bahwa manusia itu bertakwa (mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya) dan berakhlak mulia dengan segala keadaan yang ada padanya. Kaya atau miskin hanyalah sebuah keadaan di antara keadaan-keadaan lainnya yang terjadi pada
manusia. Ia bebas nilai sebagaimana
keadaan-keadaan yang lain. Nilai mulia dan hinanya manusia hanya boleh diukur
dari tingkat ketaqwaannya kepada Allah dan bagaimana akhlak yang diterapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Demikianlah yang sesungguhnya ada pada ajaran
Islam.
Bukti Bahwa Islam Tidak Mengharuskan
Umatnya untuk Kaya
Sesungguhnya,
tidak ada satu pun ayat atau hadits yang menyuruh umat Islam untuk kaya. Yang
ada hanyalah ayat atau hadits yang menyuruh orang untuk berusaha/bekerja
(menyuruh berusaha tidak berarti sama dengan menyuruh untuk kaya, karena tidak
semua orang yang berusaha akan pasti menjadi kaya). Yang ada pula hanyalah ayat
atau hadits yang mengatur bagaimana semestinya seseorang dalam berusaha
(seperti harus jujur, tidak boleh mengurangi timbangan, tidak boleh berpraktek
riba, dan lain sebagainya). Dan yang ada pula hanyalah ayat atau hadits yang
mengatur atau memberi bimbingan bagaimana semestinya seseorang apabila ia
kaya (seperti harus berzakat, bersedekah, membantu ini dan itu, jangan
sombong, jangan bermewah-mewah, dan lain sebagainya).
Tidak ada
ulama-ulama masa lalu, yang tak diragukan lagi kualitas keilmuan dan
ketakwaannya, baik yang ahli tafsir maupun yang ahli hadits, yang pernah membuat
suatu kesimpulan atau pernyataan bahwa Islam menyuruh umatnya untuk kaya.
Silakan geledah kitab-kitab tafsir atau kitab-kitab hadits karya ulama-ulama
zaman dulu tersebut, Anda tidak akan pernah mendapatkan satu pun kesimpulan
atau pernyataan yang seperti itu dari mereka.
Omongan bahwa
Islam menyuruh umatnya untuk kaya hanyalah kita dapati di zaman ini, zaman yang
disinyalir merupakan zaman di mana ilmu agama dan ketaqwaan para manusianya
telah banyak yang rusak, zaman di mana yang banyak hanyalah orang yang pandai
berpidato saja sedangkan yang pantas disebut ulama sudah amat sedikit. Dari
yang amat sedikit itu pun hanya sedikit pula yang patut dinilai sebagai ulama
yang benar, jujur, dan saleh.
Omongan tersebut (bahwa
Islam menyuruh umatnya untuk kaya) adalah tafsiran yang diada-adakan saja (atau
berdasarkan akal pikiran semata saja) atas sebuah ayat atau hadits tertentu tanpa
merujuk kepada pendapat ulama-ulama yang berkompeten terhadap maksud atau makna
dari ayat atau hadits tersebut. Misalnya, saya pernah mendengar seseorang
mengatakan dengan berapi-api di sebuah tempat pidatonya, “Islam mewajibkan
umatnya untuk kaya karena Islam menyuruh umatnya untuk membayar zakat,”. Ini
pendapat yang keliru. Ayat yang mewajibkan tentang zakat telah ada dari dulu
dan tentunya telah amat diketahui oleh para ulama. Tapi tak pernah ada seorang ulama
pun yang berbicara seperti itu ketika membahas ayat-ayat yang berkenaan dengan
zakat. Karena zakat tidak diwajibkan kepada semua umat Islam. Zakat hanya diwajibkan
kepada orang-orang Islam tertentu yang hartanya telah memenuhi syarat-syarat
tertentu pula. Ucapan seperti di atas hanya menunjukkan kebodohan atau
kelancangan dan kesembronoan si pengucapnya saja tentang ajaran Islam.
Di masa
Rasulullah s.a.w., ada ahli suffah. Ahli Suffah adalah tamu-tamu Islam
yang terdiri dari sahabat-sahabat Nabi s.a.w. yang amat miskin. Saking
miskinnya, sampai-sampai mereka sering menahan lapar karena tak memiliki
sesuatu pun untuk dimakan. Bahkan tak jarang, ada di antara mereka yang
tersungkur saat salat berjama’ah bersama Nabi karena tak kuat lagi menahan
lapar[1]. Tapi
pernahkah Nabi menyuruh mereka untuk mengubah keadaan mereka yang seperti itu?
Pernahkah Nabi menyuruh mereka untuk berubah menjadi kaya? Tak pernah sama
sekali, Saudaraku. Justru yang ada adalah hadits yang menerangkan bahwa setelah
selesai salat, Nabi saw mendekati mereka dan bersabda: “Andaikan kalian
mengetahui pahala yang disediakan Allah, niscaya kalian akan meningkatkan
kemiskinan dan kelaparan” (H.R. Tirmidzi. Bisa ditemukan di antaranya pada Terjemah
Riyadhus Shalihin jilid I, hal. 488, penerbit Pustaka Amani-Jakarta, cet.
IV, thn. 1999).
Nabi tak pernah
mencela para ahli suffah yang miskin-miskin itu. Bahkan sebaliknya, beliau amat
menghormati dan memuliakan mereka. Nabi sering menjamu mereka makan dan minum
serta menyuruh pula para sahabat untuk menjamu mereka sesuai dengan kemampuan
masing-masing.
Sebaliknya, para
ahli suffah tersebut, meskipun mereka dalam kondisi miskin yang sedemikian
rupa, mereka tetap menjaga akhlak dan kehormatan diri mereka. Mereka tidak suka
meminta-minta. Mereka rido, sabar, dan tidak mengeluh atas kemiskinan mereka.
Mereka juga tidak merasa minder bila bertemu dengan orang-orang kaya.
Yang patut
diingat, mereka miskin pastilah bukan karena malas bekerja, tapi karena
faktor-faktor lain yang dibenarkan oleh agama. Karena jika mereka malas,
pastilah Rasulullah s.a.w. sudah menegur mereka karena Islam tidak membenarkan
sikap kemalasan.
Selain ahli
suffah, ada juga sahabat Nabi yang lain yang tergolong miskin. Abu Hurairah
r.a., misalnya. Abu Hurairah mengaku, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain
Dia. Aku sering menekan rongga perutku ke tanah karena lapar. Juga sering
mengikatkan batu di perutku karena lapar.” (H.R. Bukhari). “Sungguh aku pernah
jatuh pingsan di antara mimbar Rasulullah s.a.w. dan jalan yang menuju ke bilik
Aisyah r.a., kemudian seseorang mendatangiku dan menginjakkan kakinya ke leherku.
Ia menyangka bahwa aku gila. Padahal aku tidak gila, hanya saja terlalu lapar.”
(H.R. Bukhari).
Sedemikianlah
keadaan miskinnya Abu Hurairah. Tapi pernahkah Rasulullah
mendorong-mendorongnya untuk mengubah nasib agar menjadi kaya? Jika Islam memang
menyuruh umatnya untuk kaya, niscaya akan ditemui hadits-hadits yang mendorong
para ahli suffah atau orang-orang semacam Abu Hurairah untuk segera mengejar
kekayaan.
Bahkan Anda—yang
menyangka bahwa Islam menyuruh umatnya untuk kaya—pasti malah akan tercengang
jika Anda mau menggeledah secara seksama kitab-kitab hadits Nabi saw. Mengapa?
Karena ternyata banyak hadits Nabi saw itu yang isinya justru terkesan
mendukung atau memuji kemiskinan. Bukan satu atau dua hadits, bukan empat atau
lima, tapi baaanyak. Mungkin puluhan atau bahkan ratusan (saya belum pernah
menghitungnya secara pasti).
Di antara yang
banyak itu, empat hadits bisa saya cantumkan di sini:
Pertama,
Nabi saw bersabda,
“Aku menengok ke surga dan aku melihat penghuninya kebanyakan orang-orang
miskin” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kedua,
Rasulullah saw
bersabda, “Orang-orang miskin akan masuk surga 500 tahun lebih dulu daripada
orang-orang kaya.” (H.R. Tirmidzi).
Ketiga,
Nabi saw
bersabda, “Aku berdiri di depan pintu surga, dan kebanyakan orang yang
memasukinya adalah orang-orang miskin. Sedangkan orang-orang kaya masih
ditahan, hanya saja, mereka yang termasuk penghuni neraka, telah diperintahkan
untuk masuk ke neraka.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dan keempat,
Rasulullah saw
bersabda, “Demi Allah, tidaklah kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap
kalian. Tetapi aku khawatir jika kekayaan dunia ini dihamparkan atas kalian
sebagaimana yang pernah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu
kalian akan berlomba-lomba pada kekayaan itu sebagaimana mereka telah
berlomba-lomba. Dan kemudian harta kekayaan itu akan membinasakan kalian
sebagaimana ia telah membinasakan mereka pula.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Akan lebih tercengang
lagi jika Anda membuka hadits-hadits yang menceritakan tentang keadaan hidup
Nabi saw sendiri bersama para keluarganya. Keadaan mereka ternyata jauh dari
kaya. Bahkan saya juga sangsi untuk dapat menyebutnya sederhana. Anda
akan bisa menilainya sendiri nanti, apakah kehidupan Nabi itu lebih tepat untuk
dibilang sederhana atau justru miskin.
Hadits yang
menceritakan tentang keadaan hidup Nabi s.a.w. bersama keluarganya itu banyak,
dan cukuplah saya cantumkan satu contoh saja di sini, karena artikel ini sudah
cukup panjang. Keadaan hidup dan rumah tangga Nabi s.a.w.—yang saya rasa lebih
pantas untuk disebut miskin—rencananya akan saya bahas dalam sebuah
artikel khusus di blog ini agar lebih jelas dan gamblang.
Sebuah hadits
yang menggambarkan bagaimana kemiskinan yang dialami atau dipraktekkan oleh
Nabi s.a.w. bersama para keluarganya adalah sebagai berikut:
Aisyah berkata,
“Keluarga Muhammad s.a.w. tidak pernah kenyang dalam dua malam berturut-turut
dengan roti gandum sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain dikatakan, “Keluarga Muhammad s.a.w. tidak pernah kenyang
dalam tiga malam berturut-turut dengan makanan yang terbuat dari gandum, sejak
beliau menetap di Madinah sampai meninggal dunia”.
Maksud hadits tersebut
di atas adalah: Nabi bersama keluarganya tidak pernah merasa kenyang dalam tiga
malam berturut-turut. Dengan kata lain, dalam tiga hari berturut-turut, selalu
saja ada malam di mana Rasululullah s.a.w. bersama keluarganya merasakan
kelaparan karena tidak adanya sesuatu untuk dimakan. Kalaupun ada yang dimakan,
makanan mereka biasanya hanyalah roti kasar yang terbuat dari gandum. Hal
demikian terus terjadi selama bertahun-tahun, yaitu sejak mereka tinggal di
Madinah sampai Nabi s.a.w. meninggal dunia.
Coba perhatikan,
keadaan hidup yang seperti demikian di atas kira-kira lebih pantas untuk
disebut miskin atau sederhana? Keadaan hidup yang dalam tiga hari
berturut-turut selalu tidak lepas dari ancaman kelaparan, dan itu terjadi
selama bertahun-tahun sampai beliau saw meninggal dunia, dapatkah disebut
sebagai kehidupan yang sederhana, apalagi kaya?
Demikianlah di
antara dalil-dalil yang membuktikan bahwa Islam tidak menyuruh apalagi
mewajibkan umatnya untuk kaya. Kalau Islam menyuruh umatnya untuk kaya, maka
semestinya hadits-hadits tersebut di atas, atau sejarah-sejarah hidup di atas
tidak akan pernah ada dalam dunia Islam. Tapi nyatanya, semua itu ada. Hal
tersebut membuktikan dengan jelas bahwa Islam tidak mengharuskan umatnya untuk
kaya.
Insya Allah, akan
disambung pada bagian ke-2.
-Rujukan utama artikel ini adalah kitab hadits Riyadus Salihin karya Imam An-Nawawi.
-Artikel ini ditulis dan disusun oleh
Buya Amin.
***to
be continued***
No comments:
Post a Comment
Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...